Welcome to My Page

IMAN DAN AMAL SOLEH

Senin, 21 Maret 2011

Tasawuf : Jalan menuju Tuhan


oleh Sutarom 'Tarom'


وذ بالله من الشيطان الرجيم

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

لحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد, فيا عباد الله اوصيكم ونفسي الخاطئة المذنبة بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون. وقال الله تعالى في محكم التنزيل بعد أعوذ بالله من الشيطان الرجيم :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (ال عمران :

102)

Marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan...

Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam

Al-Qur’an :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad Saw). Wahai orang-orang beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad) Saw. (Al-Ahzab : 56)

Tasawuf : Jalan menuju Tuhan
Demikian gambaran bagaimana rahasia dan tingginya ajaran tasawuf hingga tidak jalan lain bagi penganut tasawuf jika membuka ajaran tersebut di muka publik kecuali dimusuhi dengan umat yang tidak mengetahui dan mengenal tasawuf.

Sebenarnya kemunculan tasawuf sejalan dengan tabligh Nabi Muhammad saw kepada manusia di Arab.



Namun ajaran tasawuf ini diajarkan Nabi Muhammad khusus kepada beberapa sahabatnya yang memiliki tingkat spiritual yang lebih tinggi dibandingkan dengan sahabat lainnya, seperti Ali kwh, dan sebagainya. Tidak semua sahabat beliau yang diajarkan tentang ajaran tasawuf ini, mengapa? jawabnya adalah bukankah nabi Musa as sebagai simbol eksoteris tidak dapat mengikuti “alur pikir” Khidr, simbol pembawa pesan esoteris. Demikian juga dengan para sahabat nabi, tidak semua dapat menjangkau ketinggian ajaran ini. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa ajaran tasawuf belum banyak diketahui saat itu.



Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa tradisi tasawuf ini sudah ada sejak Nabi saw hidup, misalnya:

1. Nabi Muhammad: Aku adalah orang ‘Arab dengan tanpa huruf ‘ayn (rab), dan Ahmad dengan tanpa huruf mim (ahad). Barang siapa yang yang telah melihatku, maka ia telah melihat Haqq.
2. Dalam suatu riwayat dikisahkan suatu ketika Aisyah memasuki kamarnya. Nabi yang waktu itu di dalam, bertanya: “Siapa kau?”. “Putri Abu Bakar”, jawabnya. “Siapa Abu Bakar?” tanya beliau. Saat itu barulah Aisyah menyadari bahwa Nabi sedang dalam keadaan yang berbeda.
3. Nabi Muhammad: Seandainya Abu Dzar mengetahui apa yang tersembunyi di hati Salman, maka dia pasti bakal membunuhnya.
4. Ali: “Aku mempunyai sejenis pengetahuan dalam batinku, yang bila saja aku membukanya pada orang banyak, niscaya engkau akan gemetar seperti tali panjang yang dijulurkan ke dalam sumur yang amat dalam“. Dalam riwayat lain diriwayatkan melalui Abu Hurairah dengan perbedaan redaksi. Kemungkinan besar Abu Hurairah tidak menyebutkan nama Ali sebagai narasumbernya sebagaimana yang terjadi pada riwayat-riwayat dari Abu Hurairah biasanya.
5. Pada hari Thaif Rasulullah SAW berbicara berdua saja dengan Ali, maka sebagian sahabat berkata “Lama sekali pembicaraan beliau dengan anak pamannya”. Ketika disampaikan pada Rasul, Beliau SAW berkata “Bukan aku yang berbicara dengannya tetapi Allah yang berbicara dengannya”.
6. Suatu hari sesudah menunaikan shalat, Nabi melihat seorang pemuda (Haritsah bin Malik bin Nu’man al-Anshari?) yang lemah dan kurus, wajahnya pucat, matanya cekung serta berjalan gontai dan susah payah. Nabi pun lantas bertanya: “Siapakah engkau?” “Aku telah meraih tingkat keimanan tertentu,” jawabnya. “Apa tanda-tandanya?” tanya Nabi. Dia menjawab, “Keimananku itulah yang membuatku sedih, yang menyebabkanku bangun malam dan membuatku senantiasa haus di siang hari (lantaran puasa). itulah yang membuatku lupa akan segala sesuatu di dunia ini. Aku melihat seolah-olah Arsy Allah ditegakkan untuk menghitung amal-amal manusia yang dikumpulkan di padang mahsyar dan aku termasuk salah seorang di antara mereka. Aku melihat para penghuni surga bergembira dan berbahagia, dan para penghuni neraka sedang diazab dan disiksa. bahkan, sekarang ini, telingaku seakan-akan mendengar gelegak api neraka yang demikian dahsyat.” Nabi pun berpaling kepada sahabat-sahabatnya dan bersabda, “Dia adalah salah seorang yang hatinya telah diterangi Allah dengan cahaya keimanan.” Kemudian beliau menoleh kepada pemuda itu dan bersabda, “Pertahankan keadaanmu seperti sekarang ini, jangan sampai keadaan ini sirna.” Pemuda itu pun menyahut, “Wahai Rasulullah! Tolong doakan aku agar Allah menganugerahkan kesyahidan kepadaku.” Tak lama setelah pertemuan ini, terjadilah peperangan. Pemuda itu kemudian ikut perang dan gugur sebagai syahid.
7. dan berbagai riwayat lainnya seperti percakapan Imam Ali dengan sahabatnya Kumayl tentang Wali Tuhan yang ada di setiap zaman.

Tatkala Nabi saw wafat, Saidina Abu Bakar meneruskan tali estafet spiritual sentral dari Nabi, meskipun sahabat Nabi lain juga meneruskan dakwah Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar memiliki keunggulan yang diakui oleh sahabat-sahabat lain. Abu Bakar bukan hanya memegang kekhalifahan dunia akan tetapi juga kekhalifahan kerohanian. Saidina Ali adalah sahabat Nabi yang juga meneruskan kepemimpinan kerohanian dari Nabi. Keyakinan akan keunggulan dan afdhaliyah Imam Ali as. di atas para sahabat lainnya telah diyakini sebagian sahabat besar seperti Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, al-Miqdad bin al-Aswad, Khabbab, Jabir ibn Abdillah al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqam, dkk.



Hal ini dapat juga dilihat dari hampir semua sanad tarikat menyambung melalui pribadi Ali kwh. satu-satunya sahabat yang pernah berkata “Bertanyalah kepadaku”, bahkan tentang sesuatu sampai hari kiamat. Dalam masa ini tasawuf masih belum begitu kentara atau terekspos dalam sejarah. Kemungkinan riwayat-riwayat tentang tasawuf kalah marak dengan riwayat tentang masalah suksesi kepemimpinan setelah Nabi Muhammad saw wafat, masalah hukum fiqh yang menjadi aspek penting dalam kehidupan umat Islam, dan masalah-masalah lain dalam menyatukan umat Islam yang baru saja ditinggalkan Nabi Muhammad saw. Namun beberapa riwayat yang patut diketahui misalnya riwayat terakhir di atas.



Seiring dengan berjalannya waktu, tasawuf mulai lebih dikenal pada masa para raja dinasti Islam melakukan berbagai kemajuan dalam Islam, mulai dari penyebaran agama Islam, kemajuan ekonomi, penyerapan ilmu pengetahuan, filsafat dan teknologi. Beberapa latar belakang yang memungkinkan tasawuf mulai dikenal misalnya: kebobrokan moral dan spiritual yang marak seiring dengan kemajuan ekonomi dan kemaksiatan yang merajalela. Kekeringan spiritual tersebut semakin bertambah parah sejalan dengan semakin eksisnya ajaran fiqih yang lebih menekankan pada aspek-aspek lahiriyah dan saling menyalahkan dan memusuhi antar pemeluk mazhab. Selain itu masalah lainnya adalah masuknya filsafat dalam tradisi Islam. Wilayah Islam yang semakin luas menjadi jalan masuk bagi filsafat, cara berpikir wilayah lain dalam tradisi pemikiran Islam. Filsafat Yunani, Persia menjadi salah satu bagian ilmu pengetahuan dalam tradisi umat Islam sehingga memunculkan para filosof Muslim dan ahli kalam yang pada akhirnya filsafat menjadi bintang dalam tradisi Islam. Mereka menggunakannya untuk menjawab segala persoalan yang ada, termasuk tentang Tuhan dan masalah yang berhubungan dengan-Nya.



Pertumbuhan tasawuf yang awal masih minim dengan istilah-istilah asing. Semua penjelasan tasawuf masih sederhana. Namun tatkala filsafat mulai masuk dalam tradisi Islam, istilah-istilah asing mulai dimunculkan. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana jalan hidup bertasawuf, menjelaskan ‘perasaan’ para sufi kepada para murid-murid yang baru memulai perjalanan mistik. Tasawuf juga mengajarkan bahwa untuk ‘menjumpai’ Tuhan bukanlah dengan akal filsafat sebagaimana yang marak saat itu. Tasawuf pulalah yang mengisi kekosongan aspek moral spiritual yang tidak diajarkan dalam hukum fikih saat itu yang hanya mengajarkan dan berdebat tentang aspek-aspek lahiriyah semata.



Namun diterimanya tasawuf di tradisi Islam, bukan tanpa aral. Sebagian tokoh, terutama kalangan ulama fikih menganggap tasawuf bukan dari ajaran Islam, tasawuf ajaran sesat, meninggalkan syariat dan sebagainya. Namun semua tuduhan tersebut terbantahkan, banyak ayat-ayat Qur’an yang menunjukkan kebenaran tasawuf. Semua para sufi besar menempatkan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai landasan mereka. Hanya saja mereka, kelompok penentang tasawuf tidak memahami ajaran tersembunyi dalam al-Qur’an sehingga mereka menentang tasawuf. Bukankah Nabi pernah bersabda: “al-Qur’an mempunyai makna lahir dan batin“. Rumi juga menuliskan bahwa: “al-Qur’an adalah pengantin wanita yang memakai cadar dan menyembunyikan wajahnya darimu. Bila engkau membuka cadarnya dan tidak mendapatkan kebahagiaan, itu disebabkan caramu membuka cadar telah menipu dirimu sendiri, sehingga tampak olehmu ia berwajah buruk. Ia mampu menunjukkan wajahnya dalam cara apapun yang disukainya. apabila engkau melakukan apa-apa yang disukainya dan mencari kebaikan darinya, maka ia akan menunjukkan wajah yang sebenarnya, tanpa perlu kau buka cadarnya“.



Mengenai tuduhan bahwa sufi meninggalkan syariat merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Para tokoh sufi memegang syariat dengan kuat, bahkan lebih teguh daripada para penentangnya. Lihatnya saja bagaimana Abu Yazid al-Bustami – yang pernah ekstase dan mengucapkan “Subhani, subhani, Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada lagi tuhan selain Aku, maka menyembahlah kepada-Ku“,- tidak pernah meludah di tanah di dekat Masjid, tidak pernah makan buah melon karena ia tidak tahu bagaimana sunnah Nabi Muhammad saat memakannya, Bahkan salah satu perintah Tuhan yang difirmankan kepadanya, “Untuk keluar dari keakuanmu, ikutilah kekasih kita, Muhammad orang Arab. Lumurilah matamu dengan debu kakinya dan teruslah mengikuti dia

“.



Lihat juga berapa rakaat shalat sunah yang al-Hallaj si Hulul dirikan di dalam penjara sebelum penyalibannya. Bahkan dalam keadaan disalib dan mendekati ajalnya, Al-Hallaj menyuarakan do’a pada Allah, “Wahai Tuhan, mereka semua yang sedang berkumpul di sini adalah hamba-hambamu yang mencoba membunuhku demi kefanatikannya terhadap agama-Mu, dan juga dengan alasan untuk mendekatkan diri mereka kepada-Mu. Oleh karenanya, ampunilah mereka semua. Seandainya Kau singkapkan pengetahuan kepada mereka sebagaimana yang Kau anugerahkan padaku, niscaya mereka tidak akan bertindak sebagaimana yang dilakukannya padaku ini“. Begitu pula dengan Ibn ‘Arabi sang Wahdah Wujud, bukanlah ia penganut mazhab zahiriyah yang hampir selaras dengan madzab Hanbalinya Ibn Taymiyah. Keteguhan memegang syariat ia lakukannya sekalipun dapat membahayakan nyawa diri dan muridnya, seperti diceritakan ketika Ibn ‘Arabi berjalan-jalan dengan para muridnya dan bertemu dengan rombongan khalifah. Ia melarang muridnya memulai salam, – sebagaimana kebiasaan saat itu,- pada rombongan khalifah yang saat itu mengendarai kuda karena menurut sunnah Nabi pengendara kuda harus memulai salam terlebih dahulu kepada pejalan kaki. Diantara amalannya yang diajarkan kepada muridnya, adalah dzikir agung “La ilah illa Allah”, menjaga kelanggengan wudhu, melarang rukhshah (mencari kemudahan dalam hukum) dan sebagainya.

“Tak kenal maka tak sayang“ mungkin pepatah ini pantas ditujukan kepada para penentang tasawuf. Mereka menentang dengan gigih tasawuf karena belum mengenal, mengetahui, memahami bagaimana ajaran tasawuf sesungguhnya. Namun begitu mereka mengetahui maksudnya mereka pasti akan mengikuti dan mengamalkannya. Demikianlah yang terjadi pada para penentang tasawuf, seperti al-Izz ibn Abd Salam. Konon dahulu ia pernah mengatakan ketika ia masih mengingkari komunitas sufi, “Apakah ada jalan lain yang kita punyai selain al-Qur’an dan al-Hadits.” Namun Tuhan menuliskan takdir lain baginya. Ketika berkecamuk peperangan melawan orang-orang eropa di wilayah Manshurah dekat teluk Dimyat, para ulama berkumpul. Saat itu Syaikh Izz al-Din bin Abdul al-Salam, Syaikh Makin al-Din al-Asmar, Syaikh Taqi al-Din bin Daqiq al-Id dan kawan-kawannya membuat satu majelis. Di majelis itu terjadi diskusi yang cukup menarik mengenai kitab al-Risalah al-Qusyairiyah karya al-Qusyairi. masing-masing memberikan komentarnya tentang materi yang terdapat di kitab itu. ketika sedang seru-serunya acara diskusi berlangsung, datanglah syaikh Abu al-Hasan al-Syadzily.



Melihat kedatangan al-Syadzily, mereka memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan itu untuk bertanya kepada al-Syadzily. Salah satu dari mereka berkata, “Kami ingin mendengar dari anda mengenai maksud yang dikandung dari beberapa bagian dalam kitab ini.” al-Syadzily kaget mendengar permintaan itu. Merasa tidak pantas menjawab, al-Syadzily berkata, “Anda semua adalah orang-orang yang mendapat julukan Syaikh al-Islam dan para pembesar ulama zaman ini. Anda semua telah memberikan semua komentar anda, sungguh sudah tidak ada lagi bagi orang seperti ruang untuk mengomentarinya.”



Mereka tetap mendesak al-Syadzily untuk memenuhi permintaan mereka itu. Mereka berkata, “Tidak begitu, justru kami tetap ingin mendengar komentar anda. Silakan berikan komentar anda.” Didesak begitu, al-Syadzily dengan memuji kepada Allah swt, memulai komentarnya. Di sela-sela al-Syadzily memberikan komentarnya, tiba-tiba syaikh Izz al-Din bin Abdul al-Salam menjerit dari dalam kemah dan kemudian keluar memanggil-manggil dengan suara yang keras, “Kemarilah! Kemarilah! Dengarkan semua apa yang dikatakan al-Syadzily. Ini adalah suatu perkataan yang begitu dekat dengan Allah.“
__________

Tasawuf Kok meninggalkan Syari'at ?

Aqidah Islam merupakan aqidah yang sangat jelas membedakan antara dua hal, yaitu dlahir dan batin. Maksudnya adalah antara syari’at (yang merupakan pintu yang harus dimasuki oleh semua orang) dan hakikat (...yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang terpilih). Pemisahan kedua hal ini bukanlah pemisahan yang dipaksakan, tetapi lebih merupakan sesuatu yang sudah semestinya, karena kesiapan manusia itu berbeda-beda dan sebagian mereka ada yang lebih siap untuk mengetahui hakikat.

Kami sering menemui banyak orang yang mengumpamakan syari’at dan hakikat dengan kulit dan isinya atau dengan lingkaran dan titik pusatnya. Syari’at mencakup aspek i’tiqadi (keyakinan), hukum dan aspek sosial-kemasyarakatan, yang kesemuanya tidak bisa dipisahkan dari Islam itu sendiri. Syari’at adalah pintu pertama yang harus dimasuki oleh orang yang mau menempuh jalan tasawuf. Sedangkan hakikat pada dasarnya adalah pengetahuan atau ma’rifat semata. Namun demikian, anda harus mengetahui bahwa ma’rifat inilah yang membuat syari’at memiliki maknanya yang lebih mendalam. Hakikat memberi nilai tambah bagi eksistensi syari’at. Sebenarnya, hakikat – meskipun tidak disadari oleh kebanyakan orang mu’min – adalah “titik pusat”, jika kita umpamakan dengan titik tengah lingkaran.

Syari’at memerintahkan untuk melaksanakan ibadah, sedangkan hakikat mengajarkan tentang penyaksian rubbubiyyah. Syari’at tanpa didukung oleh hakikat tidak akan diterima, begitu juga hakikat tanpa syari’at tidak akan berhasil dicapai. Syari’...at diturunkan untuk mengatur makhluk, sedangkan hakikat memberitahu tentang “perbuatan” Allah Swt. Dengan syari’at, engkau menyembah-Nya dan dengan hakikat, engkau menyaksikan-Nya. Syari’at adalah melaksanakan apa yang Allah Swt perintahkan, sedangkan hakikat menyaksikan apa yang oleh Allah Swt telah ditentukan, disembunyikan dan dinampakkan. Saya pernah mendengar Syiekh Abu ‘Ali al-Daqaq berkata: “Bahwa perkataan iyyaka na’budu adalah manifestasi dari syari’at, sedangkan perkataan iyyaka nasta’in sebagai perwujudan dari hakikat. Ketahuilah bahwa syari’at juga merupakan hakikat, karena syari’at wajib ditaati oleh hakikat. Hakikat juga merupakan syari’at, karena semua ma’rifat tentang-Nya diwajibkan dalam syari’at. Lihat al-Risalah al-Qusyairiyah.

Namun demikian, “batin” tidak hanya hakikat semata tetapi juga mencakup jalan yang bisa membawa kepada hakikat tersebut, yakni tarekat yang bisa mengantarkan seseorang dari syari’at menuju hakikat. Jika kita kembali pada gambar simbolis yang berupa lingkaran dan titik pusatnya, maka tarekat bisa diumpamakan dengan garis yang menghubungkan tepi lingkaran dan titik pusatnya. Semua titik yang ada pada tepi lingkaran adalah awal permulaan garis. Garis-garis ini, yang tidak terbatas jumlahnya, semuanya berakhir pada satu titik pusat yang sama. Itulah tarekat, yang bisa berbeda-beda sesuai dengan perbedaan manusia, sehingga ada yang mengatakan bahwa “Jalan-jalan menuju Allah Swt itu sebanyak nafas anak Adam”.

Meskipun jalan-jalan itu berbeda satu sama lain, tetapi tujuannya adalah sama, yakni satu titik yang sama, hakikat yang sama. Perbedaan-perbedaan yang ada pada titik permulaannya, satu persatu mulai hilang. Pada saat seorang salik sampai pa...da tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi, maka hilanglah sifat-sifat kehambaannya (eksistensi dirinya) – yang pada dasarnya bagaikan penjara bgi ruhaninya. Dia mengalami fana’ atau kehilangan eksistensi dirinya. Yang ada sekarang adalah sifat-sifat rabbani dalam dirinya.

Tarekat dan hakikat adalah dua hal yang menandai tasawuf. Tidak ada madzhab tertentu dalam tasawuf, karena hakikat itu bersifat mutlak. Begitu juga tidak ada aliran tertentu dalam tarekat, karena semua jalan itu menuju pada satu hakikat mutlak, yakni tauhid yang satu. Perlu dicatat, bahwa seorang sufi tidak mungkin mengaku bahwa dirinya seorang sufi, kecuali dia seorang yang bodoh. Dengan mengaku sebagai seorang sufi justeru semakin jelas bahwa dirinya pada hakikatnya adalah bukan seorang sufi. Ini adalah suatu rahasia antara seorang sufi yang sebenarnya dengan Tuhannya. Seseorang hanya diperbolehkan untuk mengaku sebagai seorang mutashawwif, yang merupakan sebutan umum bagi seorang salik pada tingkatan apapun. Sebutan sufi dalam pengertian yang hakiki tidak bisa dilekatkan pada seseorang kecuali ia telah sampai pada tingkatan yang tertinggi.

Mengenai asal usul kata (الصوفي) telah terjadi berbagai perbedaan pendapat. Masing-masing mengemukakan argumentasinya, tetapi tidak ada yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semuanya tidak bisa diterima. Sesungguhnya, kata (الصوفى) sebenarnya hanyalah sebutan simbolis saja. Jika kita ingin mengurai maknanya, maka sebaiknya kita berpegang pada “nilai bilangan” dari huruf-huruf penyusun kata tersebut. Yang jelas, bahwa nilai bilangan dari huruf-huruf pembentuk kata (الصوفى) sebanding dengan nilai bilangan dari huruf-huruf pembentuk kata (الحكيم الالهى). Oleh karena itu, seorang sufi sejati adalah seseorang yang telah sampai pada al-hikmah al-Ilahiyah (pengetahuan tertinggi tentang Tuhan). Dia lah yang al-‘arif billah (yang benar-benar mengetahui atau ma’rifat kepada Allah Swt), karena Allah Swt tidak bisa diketahui kecuali dengan al-hikmah al-Ilahiyah tersebut. Itulah pengetahuan tingkat tertinggi, ma’rifat hakiki atau pengetahuan sejati.

Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang “ditempelkan” pada agama Islam. Tasawuf bukanlah sesuatu yang berasal dari luar Islam. Sebaliknya, tasawuf adalah bagian paling substantif dari agama Islam. Isl...am tanpa tasawuf akan menjadi kurang maknanya, yakni kurang dalam hal ketinggiannya, karena tasawuf berbicara tentang “titik pusat”. Oleh karena itu, adalah keliru, jika ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari tradisi di luar Islam, seperti Yunani, India maupun Persia. Pendapat-pendapat tersebut bertentangan dengan istilah tasawuf itu sendiri yang memiliki keterkaitan erat dengan bahasa Arab. Jika ada persamaan antara tasawuf dengan sesuatu yang menyerupainya dalam budaya atau tradisi lain, maka itu adalah hal yang wajar, dan tidak perlu dianggap bahwa tasawuf “meminjam” unsur non Islam. Hal ini karena, selama hakikat itu bersifat tunggal, maka substansi semua aqidah adalah satu juga, meskipun berbeda bentuk luarnya.

Kita tidak perlu memberikan perhatian yang lebih untuk mendiskusikan asal-usul kata tasawuf, yang ternyata terus berlanjut di kalangan sejarawan tasawuf, khususnya tentang kapan kepastiannya kata tasawuf itu mulai ada. Kadangkala sesuatu itu telah ada sebelum ia memiliki nama atau sebutan yang khusus untuknya. Adakalanya sesuatu itu telah ada dengan nama yang lain dan adakalanya juga sesuatu itu tidak perlu untuk dinamai. Oleh karena itu, penjelasan yang benar persoalan tersebut adalah sebagai berikut;

Sesungguhnya sunnah telah memberikan petunjuk yang sangat jelas bahwa syari’at dan hakikat bersumber langsung pada ajaran Rasulullah Saw, dan pada kenyataannya, semua tarekat yang benar berpegang teguh pada silsilah (mata rantai) yang terus... bersambung sampai kepada Rasulullah Saw. Sesungguhnya tasawuf berasal dari Arab-Islam, sebagaimana dengan al-Qur’an – yang menjadi sumber langsung ajaran tasawuf – juga Arab-Islam. Jika tasawuf melandaskan ajaran-ajarannya pada al-Qur’an, maka bisa dipastikan bahwa tasawuf belum diketemukan sebelum al-Qur’an difahami, ditafsiri dan direnungkan. Dari al-Qur’an lah memancar sumber kebenaran atau hakikat yang pada kenyataannya adalah makna terdalam dri al-Qur’an itu sendiri. Pertama kali, al-Qur’an ditafsirkan dari tinjauan bahasa dan logika. Sedangkan tafsir al-Qur’an yang bersifat sufistik, yang merenungkan makna al-Qur’an secara mendalam dan komprehensip, membutukan waktu yang lama. Jika al-Qur’an adalah sumber syari’at dan hakikat, maka antara syari’at dan hakikat tidak ada pertentangan apapun. Bagaimana mungkin keduanya bisa bertentangan, sedangkan sumbernya adalah satu? Bagaimana terjadi pertentangan, sedangkan hakikat harus berdiri di atas syari’at?

TASAWUF DAN GUGURNYA KEWAJIBAN SYARI’AT

Kita sering menemukan adanya provokator dalam setiap bidang kehidupan, baik dalam bidang keagamaan, politik, keilmuan bahkan dalam bidang tasawuf itu sendiri. Tujuan para provokator tersebut sangat jel...as, yakni memperoleh keuntungan materiil dengan jalan pintas. Agar agama, ilmu pengetahuan maupun tasawuf tidak menjadi suatu yang disalahfahami, maka kita perlu menjelaskan bagaimana para provokator menyembunyikan wajahnya.

Agama dan ilmu pengetahuan memiliki kebenaran dan karakteristiknya sendiri yang sangat jelas, sehingga bisa menjadi “alat ukur” untuk mengungkap berbagai kebohongan dan kebatilan yang telah dilontarkan oleh para pendusta. Begitu juga dengan tasawuf.

Kami kemukakan hal di atas, karena berkaitan dengan apa yang pernah kami dengar berkaitan dengan adanya bid’ah dlalalah (bid’ah yang sesat) yang telah meresap dalam sebagian hati orang-orang yang belum mendalami agama secara khusus dan tasawuf secara umum.

Bid’ah ini memandang bahwa seseorang yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat tertentu, ia dibebaskan dari kewajiban syari’at, sehingga ia boleh meninggalkan shalat, zakat, haji dan lain-lain yang telah menjadi kewajiban seorang muslim.

Iro...nisnya, pandangan tersebut pertama kali dimunculkan oleh mereka yang menggeluti bidang hukum dan syari’at. Mereka mengaku bahwa dirinya telah sampai pada tingkat ma’rifat tasawuf yang tertinggi dan sampai pada satu kondisi yang menurut anggapan mereka sudah tidak diwajibkan lagi menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at.

Ketika saya melacak sumber “ma’rifat” mereka, maka anda pasti akan sangat heran, karena sumber pengetahuan mereka tidak lain adalah ruh-ruh yang sengaja mereka hadirkan – yang menurut mereka – melalui perantaraan tubuh seseorang. Ruh-ruh tersebut memberikan informasi kepada mereka mengenai berbagai persoalan ghaib dan lain-lain.

Perbuatan bid’ah yang berupa “menghadirkan ruh” telah bgitu tersebar dan populer di kalangan mereka. Kegiatan tersebut telah menjadi “agama” mereka. Dalam pandangan mereka, informasi yang diberikan ruh tersebut mengalahkan kedudukan al-Qur’an dan Sunnah.

Lebih ironis lagi, mereka justeru mengaku sebagai pengamal ajaran tasawuf. Mereka menganggap diri mereka sebagai tokoh sufi, orang ‘arif dan orang yang memperoleh ilham. Bahkan ada yang sudah keterlaluan karena mengaku sebagai seorang wali.... Ada juga yang mengaku sebagai seorang rasul. Bahkan ada yang berani mengaku bahwa dirinya adalah Isa (‘alaihi salam), kemudian ada juga yang mengaku sebagai Nabi Muhammad Saw.

Yang lebih keterlaluan lagi, ada yang bahwa “kemanusiaan” yang ada dalam dirinya telah lenyap dalam sekejap, kemudian mengaku kepada para pengikutnya bahwa “Tuhan telah menyatu dengan dirinya”. Semua pengakuan orang tersebut selalu diperkuat dan didukung oleh ruh yang dihadirkannya. Ruh tersebut selalu membenarkan apa yang dikatakan orang tersebut. Maha benar Allah Swt, karena Dia memberikan perumpamaan tentang orang yang berhubungan dengan jin dan berpaling dari jalan kebenaran.
“Dan ada beberapa orang laki-laki di antara manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” Qs. Al-Jin; 6).

Mungkin anda akan bertanya: “Apakah ada hubungan antara menghadirkan ruh dengan tasawuf?” Jawaban ahli tasawuf tentang hal itu sangat jelas, bahwa antara menghadirkan ruh dengan tasawuf sama sekali tidak memiliki keterkaitan, justeru sebali...knya, keduanya saling bertentangan. Para ahli tasawuf menganggap bahwa menghadirkan ruh termasuk perbuatan pembodohan, karena hal itu sama saja dengan bekerja sama dengan jin dan syaitan. Allah Swt berfirman tentang hal itu.

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta” (Qs. Al-Syu’ara; 221-223).

Allah Swt juga berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk” (Qs. Al-Zuhruf; 36-37).

Tujuan tulisan kami di sini hanyalah untuk menjelaskan pandangan tasawuf tentang “gugurnya kewajiban-kewajiban syari’at”. Persoalan ini sering dianggap bukan sebagai sesuatu yang bid’ah (mengada-ada) oleh mereka yang mengaku sebagai orang sufi di era modern ini. Sesungguhnya, persoalan tersebut merupakan kesesatan yang telah ada sejak lama dan telah muncul di tengah-tengah masyarakat, kemudian dianggap sebagai salah satu dasar ajaran tasawuf. Suatu anggapan yang sangat keliru dan ditentang oleh tokoh-tokoh sufi yang sejati kapanpun dan di manapun mereka berada.

Yang pasti, jika ada beberapa problem atau permasalahan, maka yang menjadi rujukan dalam penyelesaiannya adalah mereka yang benar-benar menguasai bidang permasalahan tersebut. Oleh karena itu, ketika kami merujuk pada tokoh-tokoh tasawuf ya...ng tidak lagi diragukan kredibilitasnya, baik mereka yang hidup di masa lalu maupun di era modern sekarang ini, semuanya sangat mengingkari dan menentang pendapat di atas. Mereka menganggap bahwa gagasan tentang “gugurnya kewajiban syari’at” merupakan gagasan atau pendapat yang menyesatkan, penuh kebohongan dan tidak sejalan dengan ajaran agama secara umum.Kami akan membicarakan tentang pendapat sebagian ahli tasawuf klasik mengenai persoalan tersebut.

Abu Yazid al-Busthami pernah berkata kepada salah seorang temannya: “Marilah kita sama-sama melihat seorang lelaki yang mengaku dirinya sebagai seorang wali” – dan dia memang dikenal ke-zuhud-annya. Kemudian, ketika laki-laki tadi keluar dari rumahnya dan memasuki masjid, dia membuang ludahnya ke arah kiblat. Melihat kejadian tersebut, Abu Yazid langsung bergegas meninggalkannya dan tidak memberi salam kepadanya, lalu beliau berkata: “Laki-laki tadi tidak bisa mengamalkan akhlaq Rasulullah Saw, bagaimana mungkin pengakuannya (sebagai seorang wali) bisa dipercaya?”

Abu Yazid al-Busthami juga pernah berkata: “Kalian jangan tertipu, jika kalian melihat seseorang yang memiliki karamah -meski dia bisa terbang di udara-, sampai kalian melihat bagaimana orang tersebut melaksanakan perintah dan meninggalkan ...larangan Allah Swt, menjaga dirinya dari hudud (hukum pidana Allah Swt) dan bagaimana dia melaksanakan syari’at Allah Swt.”

Sahl al-Tusturi mengatakan tentang pinsip-prinsip dasar tasawuf: “Dasar-dasar tasawuf itu adalah tujuh, yaitu berpegang teguh pada al-Qur’an; meneladani Sunnah Nabi Muhammad Saw; memakan makanan yang halal; menahan diri dari menyakiti (orang lain); menjauhi maksiyat; senantiasa bertaubat; dan memenuhi segala yang telah menjadi kewajibannya”.

Al-Junaid, seorang tokoh dan Imam para sufi, berkata – sebagaimana dikutip oleh al-Qusyairi: “Barang siapa yang tidak menghafal al-Qur’an dan tidak menulis hadits, maka janganlah ia mengikuti jalan tasawuf ini, karena ilmu kami ini berasal dari dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah.” Beliau menambahkan: “Ilmu kami ini selalu diperkuat dengan hadits Rasulullah Saw”. Beliau juga berkata: “Pada dasarnya jalan tasawuf itu tertutup bagi semua orang, kecuali bagi mereka yang memilih jalan yang ditempuh Rasulullah Saw, mengikuti sunnahnya dan terus tetap berada di jalannya.”

Pernah ada seorang laki-laki yang menuturkan tentang ma’rifat di hadapan al-Junaid dengan berkata: “Ahli ma’rifat kepada Allah Swt akan sampai pada satu kondisi dimana ia bisa meninggalkan perbuatan baik apapun dan ber-taqarrub¬ kepada Alla...h Swt”. Mendengar perkataan orang tersebut, al-Junaid berkata: “Itulah pendapat sekelompok orang yang menyatakan tentang ‘gugurnya amal perbuatan’, dan hal ini, menurutku, merupakan suatu kesalahan atau dosa yang sangat besar. Bahkan orang yang mencuri dan bezina masih lebih baik keadaannya daripada orang yang mengatakan pendapat tersebut”.

Jika kita menengok pada Imam al-Ghazali, maka kita akan melihat bahwa beliau menyatakan pendapatnya dengan tegas, jelas dan kuat argumentasinya. “Ketahuilah, bahwa orang yang menempuh perjalanan menuju Allah Swt itu sangat sedikit jumlahnya, namun mereka yang mengaku-aku sangat banyak jumlahnya. Kami ingin anda mengetahui seorang salik yang sebenarnya, antara lain; semua amal perbuatannya yang bersifat ikhtiyari selalu selaras dengan aturan-aturan syari’at, baik keinginannya, aktualisasinya maupun performansinya. Karena tidak mungkin bisa menmpuh jalan tasawuf, kecuali setelah ia benar-benar menjalankan syari’at. Tidak ada orang yang akan sampai (pada tujuan tasawuf), kecuali mereka yang selalu mengamalkan amalan-amalan sunah. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seseorang yang meremehkan kewajiban-kewajiban syari’at bisa sampai (pada tujuan tasawuf tersebut)?”

Jika anda bertanya: “Apakah kedudukan salik akan sampai pada suatu tingkatan di mana ia boleh meninggalkan sebagian yang menjadi kewajiban syari’atnya dan atau melakukan sebagian perbuatan yang dilarang oleh syari’at, sebagaimana pendapat s...ebagian syeikh yang menggampangkan persoalan tersebut?”

Jawabanku: “Ketahuilah, bahwa pendapat tersebut merupakan bentuk tipuan dan kebohongan yang nyata, karena orang-orang sufi sejati mengatakan: ‘Jika engkau melihat seseorang yang dapat terbang di atas udara dan berjalan di atas air tetapi dia melakukan satu hal yang bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah bahwa dia adalah syaitan’.”

Selanjutnya, kita sampai pada pendapat Abi Hasan al-Syadzali yang mengatakan: “Jika kasyf-mu bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka berpeganglah kepada al-Qur’an dan Sunnah dan abaikanlah kasyf-mu itu, lalu katakan pada dirimu sendiri; sesungguhnya Allah Swt telah memberikan jaminan tentang kebenaran al-Qur’an dan Sunnah kepadaku, tetapi Allah Swt tidak memberikan jaminan kepadaku tentang kebenaran kasyf, ilham dan musyahadah kecuali setelah dikonfirmasikan dengan al-Qur’an dan Sunnah”.

Orang-orang sufi mengikuti semua petunjuk yang berupa nash al-Qur’an dan Sunnah, baik Sunnah qauliyah (perkataan Nabi) maupun Sunnah ‘amaliyah (perbuatan Nabi). Mereka pasti sangat menyadari akan kebenaran sejarah bahwa Rasulullah Saw adalah contoh ideal dalam segala hal hingga akhir hayatnya.

Itulah beberapa pendapat dari kalangan sufi klasik. Sebagai penutup, kami kutipkan sebuah hadits Nabi Muhammad Saw. Beliau pernah ditanya tentang sekelompok orang yang meninggalkan amal perbuatan atau kewajiban agama, tetapi mereka ber-husnu al-dzan (berprasangka baik) kepada Allah Swt. Rasulullah Saw menjawab: “Mereka itu bohong, kalau mereka itu berprasangka baik, tentu baik pula amal perbuatan mereka”.
________

Rabithah adalah semacam party yang intinya :Kewajiban Mendirikan Partai Islam

Hukum mendirikan partai Islam adalah wajib. Hanya saja wajibnya bukanlah wajib ’ain, melainkan wajib kifayah. Artinya jika di tengah umat Islam sudah ada satu part...ai Islam yang mampu menjalankan tugasnya, berarti gugurlah kewajiban seluruh umat Islam. Jika di tengah umat tak ada satu pun partai Islam, maka berdosalah seluruh umat Islam. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2010, hal. 104).

Dalilnya adalah firman Allah SWT :
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS Ali ‘Imran : 104).

Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, ayat ini merupakan perintah untuk membentuk sebuah kelompok (jamaah) dari kalangan kaum muslimin (minal muslimin), yang melaksanakan dua tugas, yaitu menyeru kepada kebajikan (Islam), dan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Mengapa demikian? Sebab kata “min” pada frase “minkum” adalah “min” yang berarti “sebahagian” (li at-tab’idh). Bukan “min” yang berfungsi untuk menjelaskan jenis (li bayan al-jins). Jadi artinya adalah “hendaklah ada sebuah jamaah di antara kaum muslimin”, dan bukan “hendaklah kaum muslimin menjadi satu jamaah/umat.” (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 103).

Penjelasan ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama yang mengartikan “min” pada frase “minkum” adalah “min” yang berarti “sebahagian” (li at-tab’idh). (Lihat Tafsir Al-Jalalain, I/181; Tafsir Al-Qurthubi, IV/165).

Hal ini mengandung implikasi bahwa hukum mendirikan sebuah jamaah yang melaksanakan dua tugas seperti tersurat dalam ayat tersebut, adalah fardhu kifayah.

Perlu dicermati, yang fardhu kifayah bukan hukum amar ma’ruf dan nahi munkarnya, melai...nkan hukum mendirikan jamaah, yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Imam Ibnu Katsir menegaskan fardhu ‘ainnya amar ma’ruf nahi munkar ketika beliau menafsirkan QS Ali Imran : 104,”Yang dimaksud dengan ayat ini adalah hendaknya ada segolongan dari umat ini yang melaksanakan tugas ini, meski tugas ini wajib atas setiap-tiap individu umat sesuai kemampuannya masing-masing.” (Tafsir Ibnu Katsir, I/391).

Syaikh Yasin bin Ali dalam masalah ini menegaskan pendapat senada, “Hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu ‘ain, bukan fardhu kifayah.” Alasannya menurut beliau antara lain perintah amar ma’ruf nahi munkar seringkali dibarengkan dengan amal-amal yang hukumnya fardhu ‘ain, seperti sholat dan zakat. Misalnya firman Allah dalam QS Al-Hajj : 41 dan QS At-Taubah : 71. (Yasin bin Ali, Min Ahkam Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar, hal. 24).

Jadi hukum amar ma’ruf nahi munkar berbeda dengan hukum mendirikan jamaah yang melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Yang disebut pertama hukumnya fardhu ‘ain, sedang yang kedua fardhu kifayah.

Yang juga penting disinggung di sini, bolehkah partai Islam jumlahnya lebih dari satu (ta’addud al-ahzab)? Para ulama berbeda pendapat menjadi dua versi, masing-masing dengan dalilnya. Pertama, ada yang mengharamkan, seperti Syaikh Shofiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam kitabnya Al-Ahzab as-Siyasiyah fi Al-Islam. Juga Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dalam kitabnya Jama’ah Wahidah Laa Jama’at. Mereka inilah yang seringkali mengecam berbagai gerakan dan kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh dengan istilah “hizbiyyah”, yaitu maksudnya fenomena bergolong-golongan di tengah umat.

Kedua, ada yang membolehkan, ini pendapat mayoritas ulama kontemporer. Seperti Sa’id Hawa dalam kitabnya Jundullah, Muhammad ‘Imarah dalam kitabnya Al-Harakah al-Islamiyah Harakah Mustaqbaliyah, Adnan Ali Ridha an-Nahwi dalam kitabnya Bina’... al-Ummah al-Wahidah, dan sebagainya. (Lihat Abdul Hamid al-Ja’bah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 187-189).

Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah boleh hukumnya ada lebih dari satu partai Islam (ta’addud al-ahzab). Alasan beliau, karena ayat QS Ali ‘Imran : 104 tidaklah berbunyi “waltakun minkum ummah wahidah” (hendaklah ada di antara kamu satu jamaah saja), tapi bunyinya adalah “waltakun minkum ummah” (hendaklah ada di antara kamu satu jamaah).

Jadi, boleh di tengah umat satu partai dan boleh pula ada lebih dari satu partai, selama partai yang adalah partai Islam, bukan yang lain. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 108; M. Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf al-Nas, hal.127-130).

Partai Islam

Seperti telah diterangkan di muka, masalah keanggotaan merupakan satu identitas pokok partai Islam. Sebuah partai Islam tidak boleh menerima keanggotaan non muslim, berdasarkan firman Allah SWT QS Ali ’Imran : 104 di atas.

Berdas...arkan ayat tersebut, Syaikh Abdul Hamid Al-Ja’bah berkata,”Kata “minkum” [di antara kamu] pada ayat di atas melarang sebuah kelompok atau partai dari keanggotaan non Islam, dan membatasi keanggotaannya pada muslim saja.” (Abdul Hamid Al-Ja’bah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 120; lihat juga Yasin bin Ali, Min Ahkam Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar, hal. 64; M. Abdullah al-Mas’ari, Muhasabah al-Hukkam, hal. 33).

Selain itu terdapat berbagai dalil yang menegaskan amar ma’ruf nahi munkar adalah ciri khas umat Islam, bukan umat non muslim. Misalnya QS Ali ‘Imran : 110 dan QS At-Taubah : 71. Jadi hanya umat Islam sajalah yang akan mampu menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar, umat non Islam tidak. Mungkinkah kita berharap non muslim mampu mendakwahkan wajibnya sholat, zakat, dan puasa, padahal dia sendiri tidak mempercayai wajibnya perbuatan-perbuatan itu? Tidak mungkin, bukan? Maka, Syaikh Ziyad Ghazzal mengatakan anggota partai Islam wajib orang muslim. Tak boleh non muslim. Sebab tugas amar ma’ruf nahi munkar telah mengharuskan keislaman anggotanya. (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, hal. 46).

Namun perlu ditambahkan, meski keanggotaan non muslim dilarang dalam partai Islam, bukan berarti Islam mengharamkan partisipasi politik dari non muslim warga negara Khilafah (ahludz dzimmah). Partisipasi politik mereka tetap dapat disalurka...n melalui saluran-saluran yang dibenarkan syariah, misalnya lewat Majelis Umat. Partai politik bukan satu-satunya saluran untuk menyampaikan aspirasi atau kritik.

Menurut Ziyad Ghazzal dalam kitabnya Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah hal. 29-30, ada 4 (empat) saluran untuk menyampaikan aspirasi atau kritik kepada penguasa. Pertama, partai politik. Kedua, Majelis Umat. Ketiga, Mahkamah Mazhalim. Keempat, Media massa.

Misi Partai Islam

Misi partai Islam adalah melakukan aktivitas politik Islam, yaitu melakukan koreksi atau pengawasan kepada penguasa (muhasabah al-hukkam), atau memperoleh kekuasaan melalui jalan umat. (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 103).

Dalilnya juga QS Ali ’Imran : 104 di atas. Redaksi amar ma’ruf nahi munkar dalam ayat tersebut adalah redaksi yang bermakna umum. Termasuk di dalamnya adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada para penguasa. Atau yang diistilahkan dengan muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa). Jelas ini adalah aktivitas politik. Bahkan, kata Imam Taqiyuddin an-Nabhani, ini adalah aktivitas politik paling penting.

Maka dari itu, ayat ini di samping memerintahkan secara fardhu kifayah untuk membentuk sebuah jamaah, juga menjelaskan karakter atau misi jamaah tersebut, yaitu karakter sebagai sebuah partai politik. (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 109).

Namun demikian, cara partai Islam dalam mengoreksi penguasa wajib berupa cara yang damai. Tidak dibolehkan menggunakan cara kekerasan, misalnya dengan mengangkat senjata. Sabda Nabi SAW :
من حمل علينا السلاح فليس منا

“Barangsiapa mengangkat pedang kepada kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR Bukhari dan Muslim).

Syaikh Ziyad Ghazzal menjelaskan, hadis tersebut telah melarang penggunaan senjata untuk mengoreksi penguasa. Senjata dalam hadis ini bersifat mutlak, yaitu meliputi senjata apa pun, seperti senjata tajam, senjata api, bom, dan sebagainya. Dikecualikan jika Khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, misalnya membolehkan judi, maka penggunaan senjata dibolehkan. (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, hal. 44)

“Semoga Allah swt menjadikan anda dan kami sebagai golongan orang-orang yang membenarkan wali Allah swt, dan meyakini karamah-karamah atas anugerah dan karunia-Nya.”

Insya' Allah hati bisa terobati dengan belajar ilmu tasawuf ,kesombongan karena harta , ilmu , kecantikan , ketampanan insya , Allah bisa menyadari bahwa kita sebenarnya tidak punya apa-apa semua yang ada di jagat raya ini milik Allah SWT .

"Ya Allah, aku berlindung kpd-Mu dari azab jahannam, & azab kubur, & fitnah kehidupan & kematian & dari jahatnya fitnah Al-Masih Ad-Dajjal" (HR Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar