Welcome to My Page

IMAN DAN AMAL SOLEH

Senin, 21 Maret 2011

KENAPA KITA HARUS BERMAZHAB DAN TAQLID PADA ULAMA (untuk membuka mata kita, jadikan pelajaran, bukan perdebatan)

DIBACA SAMPAI HABIS, JANGAN SETENGAH-SETENGAH YA. :)



KENAPA KITA HARUS BERMADZAB DAN TAQLID PADA ULAMA?



Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba – yazhabu – zihaaban . Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut.Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita maksudkan di sini adalah mazhab fiqih. Adapula yang memberikan pengertian mazhab fiqih adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’.

Nashiruddan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah serta orang-orang yang sefaham dengannya melontarkan kritik kepada orang-orang yang bertaqlid dan menyatakan bahwa taqlid dalam agama adalah haram. Mereka juga mengkategorikan pemikiran madzhab Abu Hanifah, madzhab asy-Syafi’i dan madzhab-madzhab lain yang berbeda-beda dalam mencetuskan hukum setara dengan ta’addud asy-syari’ah (syariat yang berbilangan) yang terlarang dalam agama. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha‘ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah. )

Mereka juga tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa madzhab empat adalah bid’ah yang di munculkan dalam agama dan hasil pemikiran madzhab bukan termasuk dari bagian agama. Bahkan ada juga yang mengatakan dengan lebih ekstrim bahwa kitab para imam-imam (kitab salaf) adalah kitab yang menjadi tembok penghalang kuat untuk memahami al-Qur’an maupun Sunnah dan menjadikan penyebab mundur dan bodohnya umat.

Namun yang aneh dan lucu, justru mereka kerap kali mengutip pendapat-pendapat ulama yang bertaqlid seperti: Izzuddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu Hazm, Syah Waliyullah ad-Dihlawi, Qadhi Husain, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, adz-Dzahabi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, as-Suyuthi, al-Khathib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Rusyd, al-Bukhari dan lain-lain. Padahal diri mereka berkeyakinan bahwa ulama-ulama di atas adalah orang yang salah memilih jalan karena telah bertaqlid dan menghalalkannya.

Lalu jika begitu, sebandingkah seorang al-Albani dengan ulama-ulama di atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya sehingga dia mengharamkan taqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga akan masuk neraka karena melakukan dosa bertaqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga bodoh tentang al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah menurut mereka? Sebuah pertanyaan yang tidak butuh jawaban, akan tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik yang berlebihan.

Jika di amati dengan seksama, orang-orang yang menolak taqlid sebenarnya juga sering bertaqlid. Mereka mengambil hadits dari Shahih al-Bukhari dan Muslim misalnya serta mengatakan bahwa haditsnya shahih karena telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits terkenal yaitu al-Bukhari dan Muslim. Bukankah hal tersebut juga bagian dari bertaqlid dalam bidang hadits? Bukankah juga, al-Bukhari adalah salah satu ulama pengikut madzhab (asy-Syafi’i)? Kenapa mereka ingkar sebagian dan percaya sebagian? Lalu ketika mereka mengikuti pemikiran Nashiruddin al-Albani, al-Utsaimin, Ibnu baz dan lain-lain dengan sangat fanatik dan sangat berlebihan, di namakan apa?

Menurut orang-orang yang anti taqlid bahwa orang Islam harus berijtihad dan mengambil hukum langsung dari al-Qur’an dan Sunnah tanpa bertaqlid sama sekali kepada siapapun. Pemahaman seperti ini muncul akibat dari kebodohan mereka memahami dalil al-Qur’an dan Sunnah serta lupa dengan sejarah Islam terdahulu (zaman Shahabat). Mereka juga tidak pernah berfikir bahwa mewajibkan umat Islam berijtihad sendiri sama dengan menghancurkan agama dari dalam, karena hal itu, tentu akan membuka pintu masuk memahami hukum dengan ngawur bagi orang yang tidak ahlinya (tidak memenuhi kriteria mujtahid).

Yang sangat lucu di zaman sekarang, terutama di Indonesia, banyak orang yang membaca dan mengetahui isi al-Qur’an dan Hadits hanya dari terjemah-terjemah, lalu mereka dengan lantang menentang hasil ijtihad ulama (mujtahid) dan ulama-ulama salaf terdahulu dan bahkan mengatakan juga, mereka semua sesat dan ahli neraka. Bukankan hal itu malah akan menjadi lelucon yang tidak lucu? Lagi-lagi bodoh menjadi faktor penyebab ingkar mereka.

Sedangakan menurut ulama, seseorang dapat menjadi seorang mujtahid (punya kapasitas memahami hukum dari teks al-Qur’an maupun Hadits secara langsung) harus memenuhi kriteria berikut: handal dibidang satu persatu (mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan kata musytarak (sekutuan) dari yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah huruf dalam disiplin ilmu Nahwu), mengetahui ma’na-ma’na huruf istifham (kata tanya) dan huruf syarat, handal di bidang isi kandungan al-Qur’an, asbab nuzul (latar belakang di turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-Qur’an yang dirubah atau di ganti), muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak dan muqayyad, fahwa al-Khithab, khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum mukhalafah. Serta juga handal di bidang hadits Rasulallah baik di bidang dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat, tanggap fikir terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-kriteria di atas tidak terpenuhi, maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid.

Kami tidak pernah mengatakan bahwa pintu gerbang ijtihad telah tertutup, karena kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka sampai hari kiyamat. Namun secara realita, siapakah sekarang ini ulama yang mampu masuk derajat mujtahid seperti asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Adakah doktor-doktor syari’at zaman sekarang yang dapat disejajarkan dengan ulama-ulama pengikut madzhab seperti Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar dan lain-lain? Jika tidak ada yang dapat di sejajar dengan mereka, lalu kenapa tiba-tiba mereka mendakwahkan diri berijtihad?

ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasar:

1. Dalil Al-Qur’an Q.S. an-Nahl: 43:

فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kalian semua kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.”

Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbath [menggali hukum]) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

senada dengan ayat diatas didalam Qur`an surat At-Taubah ayat 122;

فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.( 122)





2. Ijma’

Maksudnya, sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulallah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semua adalah ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tapi mereka ada yang memiliki kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah semua sahabat. Di antaranya juga ada mustafti atau muqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat golongan ini jumlahnya sangat banyak.

Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.





3. Dalil akal

Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya ada dua, yaitu: antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid.

Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama sehingga pekerjaan dan profesi ma’isyah pastinya akan terbengkalai. Klimaksnya dunia ini rusak. Maka tidak salah kalau Dr. al-Buthi memberi judul salah satu kitabnya dengan “Tidak bermadzhab adalah bid’ah yang paling berbahaya yang dapat menghancurkan agama”.

Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid. (Allamadzhabiyah hlm. 70-73, Takhrij Ahadits al-Luma’ hlm. 348. ) Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah:



1. Wajib bagi orang yang tidak mampu ber-istinbath dari Al-Qur’an dan Hadits.

2. Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriah sudah tidak ada ulama yang memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri dan lain-lain.

Lalu menjawab perkataan empat imam madzhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan ulama-ulama, bahwa larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu berijtihad dari Al-Qur’an dan Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. (Al-Mizan al-Kubra 1/62. )

Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam al-Ahkam yang mengharamkan taqlid, karena haram yang dimaksudkan menurut beliau adalah untuk orang yang ahli ijtihad sebagaimana disampaikan al-Buthi ketika menjawab musykil dalam kitab Hujjah Allah al-Balighah [1/157-155] karya Waliyullah ad-Dihlawi yang menukil pendapat Ibnu Hazm tentang keharaman taqlid. ( Al-la Madzhabiyyah hlm. 133 dan ‘Iqdul Jid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hlm. 22. )

Dalam keyakinan orang-orang yang bermadzhab, antara taqlid dan ittiba’ (mengikuti pendapat ulama) adalah sama. Dan itu tidak pernah ditemukan bahasa atau istilah yang membedakannya. Namun, menurut orang-orang yang anti taqlid, meyakini adanya perbedaan antara dua bahasa tersebut sehingga jika mereka mengikuti pendapat ulama, seperti mengikuti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain maka menurut mereka, itu adalah bagian dari ittiba’ dan bukan taqlid. Karena menurut pehaman mereka, taqlid adalah mengikuti imam madzhab yang akan selalu diikuti, meski imam madzhab tersebut salah atau bisa di sebut taqlid buta. Sedangkan ittiba’ tidaklah demikian. Sebuah statemen dangkal dan tidak berdasar sama sekali.

Mengenai masalah perbedaan dua kata diatas, pernah terjadi dialog antara Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dengan seseorang tamu yang datang kepada belaiau. Tamu tersebut berkeyakinan seperti di atas bahwa ada perbedaan antara taqlid dan ittiba’. Kemudian Dr. al-Buthi menantang tamu tersebut untuk membuktikan apa perbedaan antara dua kata tersebut, apakah secara bahasa atau ishtilah dengan di persilahkan mengambil referensi dari kitab lughat ata kamus bahasa Arab. Namun, tamu tersebut tidak mampu membuktikan pernyataannya tersebut.

Sama seperti apa yang dilakukan oleh Dr. Al-Buthi, kami juga menantang orang-orang yang mengharamkan taqlid lalu mereka juga mengambil pendapat Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain dalam tulisan dan pidato-pidato mereka, apakah hal itu termasuk taqlid atau ittiba’? Jika mereka mengatakan bukan taqlid, maka klaim tersebut perlu di buktikan secara ilmiyyah bukan asal bicara untuk membodohi umat.



Lebih jelasnya lihat kitab al-Lamadzhabiyyah, sebuah karya apik yang menolak kebathilan orang-orang yang anti-madzhab dengan argumen-arguman yang kuat. Termasuk di dalamnya terdapat catatan perdebatan yang terjadi antara Nashiruddin al-Albani dengan Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi.



http://www.facebook.com/notes/muhammad-al-islam/kenapa-kita-harus-bermazhab-dan-taqlid-pada-ulama-untuk-membuka-mata-kita-jadika/200870303266080

1 komentar:

  1. jujur, artikel ini sangat menarik
    orang sok hebat mengatakan bahwa ia langsung belajar dan bersumber dari Al-Qur'an dan Hadist, tanpa melalui maszhab.
    padahal lihat saja kapasitas keilmuannya tidak memenuhi syarat untuk mengkajinya langsung

    BalasHapus