Welcome to My Page

IMAN DAN AMAL SOLEH

Selasa, 22 Maret 2011

PENYEBARAN ISLAM DI TANAH JAWA


9 = Songo (dalam bahasa jawa)
"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan

Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,

Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis

bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan

darah juga dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik

Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga

sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel.

Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak

Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah

sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di

tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-KudusMuria

di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual

yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai

bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan

dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa

itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan

Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan.

Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya

masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati

kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya

Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol

penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga

berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan

Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta

dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding

yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam.

Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi

Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari

Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan

nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha



Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama

kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari

seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di

Tuban.

Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta.

Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok

Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas

masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal

Daha.

Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur

kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang

kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama

Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan

Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat

sulit.

Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean.

Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat

Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.

Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran

ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin,

tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang

yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.

Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan

Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan

kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara

populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahumembahu

dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.

Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah

satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr

(wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut.

Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah

Fansuri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu,

dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang,

dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang

mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati"

adalah salah satu karya Sunan Bonang.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai

membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan

memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-

Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi

(peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).



Sunan Ampel

Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan

Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden

Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri,

diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah

Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya

(kota Wonokromo sekarang).

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M

bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di

Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik.

Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati,

yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia

dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan

Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus)

hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia

pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk

menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun

mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada

pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di

wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden

Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa

dan Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan

pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang

mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon).

Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak

menggunakan narkotik, dan tidak berzina."

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat

Masjid Ampel, Surabaya.



Sunan Drajat

Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia

bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar

Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M.

Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke

pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog --pesisir

Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat

berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem

Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak

banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara

berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah

suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang

lapar/beri pakaian pada yang telanjang'.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka

menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anakanak

yatim-piatu dan fakir miskin.

Sunan Giri

Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri

lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang

menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa

kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya--seorang putri raja

Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian

dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak

berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia

meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden

Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia

membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa,

bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga

sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri

mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan.

Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri

Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah

melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima

militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak

lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-

Tanah Jawa.

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya,

Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang

kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau,

seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke

Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal

dari Minangkabau.

Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang

pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa.

Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi

Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun

syarat dengan ajaran Islam.

Sunan Gunung Jati

Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati.

Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti

Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima

wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya

adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya

adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari

Palestina.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia

sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas

restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai

Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin

pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran

untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga

mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan

antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke

Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten

tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.

Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung

Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung

Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Sunan Kalijaga

Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir

sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -

keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya

Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah

nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden

Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga

yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan

Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati.

Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai

(kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli

dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia

mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan

Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran

Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang

pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu)

yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan

Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik

(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika

diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil

mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya

kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni

ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju

takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi

Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini

sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar

adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di

antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,

Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan

Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

Sunan Kudus

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah

(adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan

Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di

Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah

tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun

meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara

penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari

pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol

Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan

pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi

yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid

mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja

menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di

halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan

sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar

penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang

berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat

tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara

berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang

tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah

Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan

Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi

Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat

Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur

melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.



Maulana Malik Ibrahim

(Wafat 1419)

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan

lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah

Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah

Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi.

Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan

Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan

Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama

Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand.

Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina

Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun

sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah

Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri.

Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah

ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang.

Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih

berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah

daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung.

Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik

Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib,

kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar

kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat

bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari

tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang

saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419

M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa

Timur.



Sunan Muria

Ia putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana

Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama

Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18

kilometer ke utara kota Kudus.

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga.

Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah

sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.

Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan

bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan

Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah

betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua

pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus

dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti



Wallahu'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar