http://www.4shared.com/account/dir/gKbqb-cG/_online.html?rnd=28
Link biasa:
http://www.4shared.com/document/v7Ze09Wu/Al_Ghazali_-_Kimia_Kebahagiaan.html
http://www.4shared.com/file/avnGlWN6/Futuuhul_Ghaib_-_Sheikh_Abdul_.html
http://www.4shared.com/document/5cRbMlqX/Kisah_Pemuda_Arab_Yang_Menimba.html
http://www.4shared.com/document/oZ-hISra/Kitab_Safinatun_Najah.html
http://www.4shared.com/file/N_Omf7cP/Majmu_Syarif_Besar.html
http://www.4shared.com/file/5r6WA_BU/Majmu_Syarif_Kecil.html
http://www.4shared.com/document/kboMwqz9/Maksud_Hidup_Ummat_Akhir_Zaman.html
http://www.4shared.com/file/lyCq83Z2/Maulana_Saad.html
http://www.4shared.com/document/cgyX3gSL/Melepas_Kedok_Jamaah_Tablig.html
http://www.4shared.com/document/ljjHid4P/Mengapa_Khuruj_3_Hari_40_Hari_.html
http://www.4shared.com/file/v2d3ZHTu/Menolak_bala_dengan_sedekah.html
http://www.4shared.com/file/Z6b-ur_m/Misteri_Panjang_Umur.html
http://www.4shared.com/file/VwS77RU2/Misykaatul_Anwar_-_Imam_Al-Gha.html
http://www.4shared.com/file/GlOg4AXL/Munthakhab_Ahadist_Ilmu_dan_Dz.html
http://www.4shared.com/file/R3XjtnIm/Munthakhab_Ahadist_Kalimah__Ta.html
http://www.4shared.com/file/-1EUJuRa/Munthakhab_Ahadist_Shalat.html
http://www.4shared.com/file/KtxlQMsI/Munyatul_Mushalli.html
http://www.4shared.com/file/W9hV1IlL/Muqaddam.html
http://www.4shared.com/file/_WrKs1ym/Mutiara_Dakwah_31.html
http://www.4shared.com/file/WkE8y0-9/Nahjul_Balaghah.html
http://www.4shared.com/document/geUpxOJ9/Penjelasan_tentang_keluar_4_bu.html
http://www.4shared.com/document/5flSNZQX/Perbedaan_Dakwah_Jemaah_Tablig.html
http://www.4shared.com/file/6z9RmS66/Pikir_sesaat_untuk_agama_10.html
http://www.4shared.com/file/G5uNeM5y/Sirr_Al_Asrar_-_Sheikh_Abdul_Q.html
http://www.4shared.com/document/xe5whFLP/Syarah_Al_Hikam.html
http://www.4shared.com/file/9i7FOV3X/Tafsir_Jalalain.html
http://www.4shared.com/document/vTtPXfku/Tesis_Fadhail_Amal.html
http://www.4shared.com/document/SV0obEdy/UNTUK_MU_WAHAI_ISTRIKU.html
http://www.4shared.com/file/k0Kud6Ky/Wirid_dan_doa_selepas_solat.html
Tag HTML - untuk situs dan blog:
Futuuhul Ghaib - Sheikh Abdul Qadir Al jailani.exe
Majmu Syarif Besar.rar
Majmu Syarif Kecil.rar
Maulana_Saad.rar
Menolak bala dengan sedekah.rar
Misteri Panjang Umur.rar
Misykaatul Anwar - Imam Al-Ghazali...exe
Munthakhab Ahadist Ilmu dan Dzikir.rar
Munthakhab Ahadist Kalimah Tayyibah.rar
Munthakhab Ahadist Shalat.rar
Munyatul Mushalli.rar
Muqaddam.rar
Mutiara Dakwah 3.1.rar
Nahjul Balaghah.exe
Pikir sesaat untuk agama 1.0.rar
Sirr Al Asrar - Sheikh Abdul Qadir Al jailani.exe
Tafsir Jalalain.exe
Wirid dan doa selepas solat.rar
Kode IMG Code untuk forum
Kode IMG v2 (gunakan kode ini jika yang pertama gagal)
[URL=http://www.4shared.com/document/v7Ze09Wu/Al_Ghazali_-_Kimia_Kebahagiaan.html][IMG]http://dc244.4shared.com/img/v7Ze09Wu/0.25450469281914945/Al_Ghazali_-_Kimia_Kebahagiaan.pdf[/IMG][/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/avnGlWN6/Futuuhul_Ghaib_-_Sheikh_Abdul_.html]Futuuhul Ghaib - Sheikh Abdul Qadir Al jailani.exe[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/document/5cRbMlqX/Kisah_Pemuda_Arab_Yang_Menimba.html][IMG]http://dc223.4shared.com/img/5cRbMlqX/0.038211798448987144/Kisah_Pemuda_Arab_Yang_Menimba.pdf[/IMG][/URL]
[URL=http://www.4shared.com/document/oZ-hISra/Kitab_Safinatun_Najah.html][IMG]http://dc136.4shared.com/img/oZ-hISra/0.30314901046566545/Kitab_Safinatun_Najah.pdf[/IMG][/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/N_Omf7cP/Majmu_Syarif_Besar.html]Majmu Syarif Besar.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/5r6WA_BU/Majmu_Syarif_Kecil.html]Majmu Syarif Kecil.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/document/kboMwqz9/Maksud_Hidup_Ummat_Akhir_Zaman.html][IMG]http://dc223.4shared.com/img/kboMwqz9/0.9470759694630285/Maksud_Hidup_Ummat_Akhir_Zaman.pdf[/IMG][/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/lyCq83Z2/Maulana_Saad.html]Maulana_Saad.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/document/cgyX3gSL/Melepas_Kedok_Jamaah_Tablig.html][IMG]http://dc93.4shared.com/img/cgyX3gSL/0.8091898871585177/Melepas_Kedok_Jamaah_Tablig.pdf[/IMG][/URL]
[URL=http://www.4shared.com/document/ljjHid4P/Mengapa_Khuruj_3_Hari_40_Hari_.html][IMG]http://dc299.4shared.com/img/ljjHid4P/0.6591120015290047/Mengapa_Khuruj_3_Hari_40_Hari_.pdf[/IMG][/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/v2d3ZHTu/Menolak_bala_dengan_sedekah.html]Menolak bala dengan sedekah.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/Z6b-ur_m/Misteri_Panjang_Umur.html]Misteri Panjang Umur.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/VwS77RU2/Misykaatul_Anwar_-_Imam_Al-Gha.html]Misykaatul Anwar - Imam Al-Ghazali...exe[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/GlOg4AXL/Munthakhab_Ahadist_Ilmu_dan_Dz.html]Munthakhab Ahadist Ilmu dan Dzikir.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/R3XjtnIm/Munthakhab_Ahadist_Kalimah__Ta.html]Munthakhab Ahadist Kalimah Tayyibah.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/-1EUJuRa/Munthakhab_Ahadist_Shalat.html]Munthakhab Ahadist Shalat.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/KtxlQMsI/Munyatul_Mushalli.html]Munyatul Mushalli.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/W9hV1IlL/Muqaddam.html]Muqaddam.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/_WrKs1ym/Mutiara_Dakwah_31.html]Mutiara Dakwah 3.1.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/WkE8y0-9/Nahjul_Balaghah.html]Nahjul Balaghah.exe[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/document/geUpxOJ9/Penjelasan_tentang_keluar_4_bu.html][IMG]http://dc299.4shared.com/img/geUpxOJ9/0.7891053513305091/Penjelasan_tentang_keluar_4_bu.pdf[/IMG][/URL]
[URL=http://www.4shared.com/document/5flSNZQX/Perbedaan_Dakwah_Jemaah_Tablig.html][IMG]http://dc299.4shared.com/img/5flSNZQX/0.8502340846376882/Perbedaan_Dakwah_Jemaah_Tablig.pdf[/IMG][/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/6z9RmS66/Pikir_sesaat_untuk_agama_10.html]Pikir sesaat untuk agama 1.0.rar[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/G5uNeM5y/Sirr_Al_Asrar_-_Sheikh_Abdul_Q.html]Sirr Al Asrar - Sheikh Abdul Qadir Al jailani.exe[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/document/xe5whFLP/Syarah_Al_Hikam.html][IMG]http://dc223.4shared.com/img/xe5whFLP/0.6352081741448669/Syarah_Al_Hikam.pdf[/IMG][/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/9i7FOV3X/Tafsir_Jalalain.html]Tafsir Jalalain.exe[/URL]
[URL=http://www.4shared.com/document/vTtPXfku/Tesis_Fadhail_Amal.html][IMG]http://dc136.4shared.com/img/vTtPXfku/0.8865321610077592/Tesis_Fadhail_Amal.pdf[/IMG][/URL]
[URL=http://www.4shared.com/document/SV0obEdy/UNTUK_MU_WAHAI_ISTRIKU.html][IMG]http://dc136.4shared.com/img/SV0obEdy/0.160307345006784/UNTUK_MU_WAHAI_ISTRIKU.pdf[/IMG][/URL]
[URL=http://www.4shared.com/file/k0Kud6Ky/Wirid_dan_doa_selepas_solat.html]Wirid dan doa selepas solat.rar[/URL]
“Barangsiapa yang mengerjakan amal soleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguh-nya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: An-Nahl: 97)
Rabu, 30 Maret 2011
Selasa, 22 Maret 2011
Nabi Isa As Adalah Seorang Muslim
oleh Muhammad Iqbal Al-abror
Nabi ISA a.s tidak pernah mengajarkan aqidah trinitas kepada ummatnya. Sehingga siapapun yang mengaku sebagai pengikut Nabi Isa namun dirinya beraqidah trinitas, maka pengakuannya itu hanyalah OMONG KOSONG alias DUSTA BESAR. Alloh berfirman:
() Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku 2 orang tuhan selain Allah?’” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (untuk mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib. () Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan) nya yaitu: ‘Sembahlah Allah, Robbku dan Robb kalian’, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maa-idah ayat 116-117)
“Sungguh telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putera Maryam’, padahal Al-Masih (sendiri) berkata: ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Robbku dan Robb kalian’ Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Maa’idah ayat 72)
“Sungguh kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah salah satu dari (tuhan) yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Maa’idah ayat 73)
Lagi pula, seandainya Nabi Isa mengajarkan trinitas (sekali lagi ini seandainya) dan itu dianggap sebagai sesuatu yang benar, maka otomatis para Nabi lainnya salah lantaran mereka telah mengajarkan sesuatu yang berbeda dari apa yang diajarkan oleh Nabi Isa yakni aqidah tauhid; padahal mereka (para Nabi) itu sama-sama utusan Alloh. Mana mungkin ada Nabi yang salah ajarannya! Nah, secara logika saja sudah tidak mungkin jika Nabi Isa itu mengajarkan aqidah trinitas!!
Jadi yang diserukan/didakwahkan oleh para Nabi itu intinya sama yakni tauhid alias Islam. Lebih jelas Nabi saw. bersabda: “.para Nabi itu ibarat saudara seayah, ibunda mereka berbeda-beda sedang agama mereka sama (yakni Islam, tauhid –pent.).” (Shahih Bukhari, kitab Ahaditsul Ambiya’ Hadits No. 3187).
Nabi ISA a.s tidak pernah mengajarkan aqidah trinitas kepada ummatnya. Sehingga siapapun yang mengaku sebagai pengikut Nabi Isa namun dirinya beraqidah trinitas, maka pengakuannya itu hanyalah OMONG KOSONG alias DUSTA BESAR. Alloh berfirman:
() Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku 2 orang tuhan selain Allah?’” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (untuk mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib. () Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan) nya yaitu: ‘Sembahlah Allah, Robbku dan Robb kalian’, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maa-idah ayat 116-117)
“Sungguh telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putera Maryam’, padahal Al-Masih (sendiri) berkata: ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Robbku dan Robb kalian’ Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Maa’idah ayat 72)
“Sungguh kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah salah satu dari (tuhan) yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Maa’idah ayat 73)
Lagi pula, seandainya Nabi Isa mengajarkan trinitas (sekali lagi ini seandainya) dan itu dianggap sebagai sesuatu yang benar, maka otomatis para Nabi lainnya salah lantaran mereka telah mengajarkan sesuatu yang berbeda dari apa yang diajarkan oleh Nabi Isa yakni aqidah tauhid; padahal mereka (para Nabi) itu sama-sama utusan Alloh. Mana mungkin ada Nabi yang salah ajarannya! Nah, secara logika saja sudah tidak mungkin jika Nabi Isa itu mengajarkan aqidah trinitas!!
Jadi yang diserukan/didakwahkan oleh para Nabi itu intinya sama yakni tauhid alias Islam. Lebih jelas Nabi saw. bersabda: “.para Nabi itu ibarat saudara seayah, ibunda mereka berbeda-beda sedang agama mereka sama (yakni Islam, tauhid –pent.).” (Shahih Bukhari, kitab Ahaditsul Ambiya’ Hadits No. 3187).
DZIKIR YANG SANGAT DISUKAI ALLAH SWT
oleh Sutarom 'Tarom'
وذ بالله من الشيطان الرجيم
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
لحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد, فيا عباد الله اوصيكم ونفسي الخاطئة المذنبة بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون. وقال الله تعالى في محكم التنزيل بعد أعوذ بالله من الشيطان الرجيم :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (ال عمران : 102)
..
Marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan...
Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad Saw). Wahai orang-orang beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad) Saw. (Al-Ahzab : 56)
DZIKIR YANG SANGAT DISUKAI ALLAH SWT
Dzikir adalah ibadah yang sangat mulia. Di antara fadilahnya adalah bisa lebih menenangkan jiwa. Fadilah lainnya pun amat banyak. Di antara dzikir yang bisa dirutinkan setiap saat, dibaca agar lisan terus basah dengan dzikrullah adalah empat kalimat mulia, yaitu
(1) subhanallah,
(2) alhamdulillah,
(3) laa ilaha illallah,
(4) Allahu akbar”.
Berikut beberapa hadits yang membicarakan keutamaan dzikir tersebut:
Pertama:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَحَبُّ الْكَلاَمِ إِلَى اللَّهِ أَرْبَعٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ. لاَ يَضُرُّكَ بَأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ
Dari Samuroh bin Jundub, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Ada empat ucapan yang paling disukai oleh Allah: (1) Subhanallah, (2) Alhamdulillah, (3) Laa ilaaha illallah, dan (4) Allahu Akbar. Tidak berdosa bagimu dengan mana saja kamu memulai” (HR. Muslim no. 2137).
Kedua:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
Dari Abu Hurairah, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
'Sesungguhnya membaca “subhanallah walhamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan Allah Maha Besar)” adalah lebih aku cintai daripada segala sesuatu yang terkena sinar matahari." (HR. Muslim no. 2695).
Al Munawi rahimahullah mengatakan, “Segala sesuatu yang dikatakan antara langit dan bumi, atau dikatakan lebih baik dari sesuatu yang terkena sinar matahari atau tenggelamnya, ini adalah ungkapan yang menggambarkan dunia dan seisinya.”[1]
Dari sini menunjukkan bahwa keempat kalimat tersebut lebih baik daripada dunia seisinya.
Ketiga:
عَنْ أُمِّ هَانِئٍ بِنْتِ أَبِى طَالِبٍ قَالَ قَالَتْ مَرَّ بِى ذَاتَ يَوْمٍ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى قَدْ كَبِرْتُ وَضَعُفْتُ - أَوْ كَمَا قَالَتْ - فَمُرْنِى بِعَمَلٍ أَعْمَلُهُ وَأَنَا جَالِسَةٌ. قَالَ « سَبِّحِى اللَّهَ مِائَةَ تَسْبِيحَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ رَقَبَةٍ تُعْتِقِينَهَا مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاحْمَدِى اللَّهَ مِائَةَ تَحْمِيدَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ فَرَسٍ مُسْرَجَةٍ مُلْجَمَةٍ تَحْمِلِينَ عَلَيْهَا فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَكَبِّرِى اللَّهَ مِائَةَ تَكْبِيرَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ بَدَنَةٍ مُقَلَّدَةٍ مُتَقَبَّلَةٍ وَهَلِّلِى اللَّهَ مِائَةَ تَهْلِيلَةٍ - قَالَ ابْنُ خَلَفٍ أَحْسِبُهُ قَالَ - تَمْلأُ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ يَوْمَئِذٍ لأَحَدٍ عَمَلٌ إِلاَّ أَنْ يَأْتِىَ بِمِثْلِ مَا أَتَيْتِ بِهِ
Dari Ummi Hani' binti Abu Thalib dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melewatiku pada suatu hari, lalu saya berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, saya sudah tua dan lemah, maka perintahkanlah kepadaku dengan amalan yang bisa saya lakukan dengan duduk." Beliau bersabda: "Bertasbihlah kepada Allah seratus kali, karena itu sama dengan kamu membebaskan seratus budak dari keturunan Isma'il. Bertahmidlah kepada Allah seratus kali karena itu sama dengan seratus kuda berpelana yang memakai kekang di mulutnya, yang kamu bawa di jalan Allah. Bertakbirlah kepada Allah dengan seratus takbir karena ia sama dengan seratus unta yang menggunakan tali pengekang dan penurut. Bertahlillah kepada Allah seratus kali." Ibnu Khalaf berkata; saya mengira beliau bersabda: "Karena ia memenuhi di antara langit dan bumi, dan pada hari ini tidaklah amalan seseorang itu diangkat kecuali akan didatangkan dengan semisal yang kamu lakukan itu." (HR. Ahmad 6/344. )
Keempat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا عَلَى الأَرْضِ رَجُلٌ يَقُولُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ إِلاَّ كُفِّرَتْ عَنْهُ ذُنُوبُهُ وَلَوْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang di muka bumi ini mengucapkan: Laa ilaha illallah, wallahu akbar, subhanallah, wal hamdulillah, wa laa hawla wa laa quwwata illa billah, melainkan dosa-dosanya akan dihapus walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Ahmad 2/158, sanadnya hasan)
Kelima:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَقِيتُ إِبْرَاهِيمَ لَيْلَةَ أُسْرِىَ بِى فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَقْرِئْ أُمَّتَكَ مِنِّى السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ عَذْبَةُ الْمَاءِ وَأَنَّهَا قِيعَانٌ وَأَنَّ غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
Dari Ibnu Mas'ud, ia berkata, Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam bersabda, "Aku pernah bertemu dengan Ibrahim pada malam ketika aku diisra`kan, kemudian ia berkata, ‘Wahai Muhammad, sampaikan salam dariku kepada umatmu, dan beritahukan kepada mereka bahwa Surga debunya harum, airnya segar, dan surga tersebut adalah datar, tanamannya adalah kalimat: Subhaanallaahi wal hamdu lillaahi laa ilaaha illaahu wallaahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Maha Besar).” (HR. Tirmidzi no. 3462.)
Keenam:
« إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى مِنَ الْكَلاَمِ أَرْبَعاً سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ فَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ عِشْرِينَ حَسَنَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ عِشْرِينَ سَيِّئَةً وَمَنْ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ فَمِثْلُ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَمِثْلُ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ كُتِبَتْ لَهُ ثَلاَثُونَ حَسَنَةً وَحُطَّ عَنْهُ ثَلاَثُونَ سَيِّئَةً
Dari Abu Sa'id Al Khudri dan Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah memilih empat perkataan: subhanallah (Maha suci Allah) dan alhamdulillah (segala puji bagi Allah) dan laa ilaaha illa allah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan Allahu akbar (Allah maha besar). Barangsiapa mengucapkan subhaanallah, maka Allah akan menulis dua puluh kebaikan baginya dan menggugurkan dua puluh dosa darinya, dan barangsiapa mengucapkan Allahu Akbar, maka Allah akan menulis seperti itu juga, dan barangsiapa mengucapkan laa Ilaaha illallah, maka akan seperti itu juga, dan barangsiapa mengucapkan alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin dari relung hatinya maka Allah akan menulis tiga puluh kebaikan untuknya dan digugurkan tiga puluh dosa darinya." (HR. Ahmad 2/302. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya shahih)
Maksud Dzikir Empat Kalimat Mulia
Yang dimaksud bacaan tasbih (subhanallah = Maha Suci Allah) adalah menyucikan Allah dari segala kekurangan yang tidak layak bagi-Nya.
Yang dimaksud bacaan tahmid (alhamdulillah = segala puji bagi Allah) adalah menetapkan kesempurnaan pada Allah dalam nama, shifat dan perbuatan-Nya yang mulia.
Yang dimaksud bacaan tahlil (laa ilaha illallah = tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) adalah berbuat ikhlas dan mentauhidkan Allah serta berlepas diri dari kesyirikan.
Yang dimaksud bacaan takbir (Allahu akbar = Allah Maha Besar) adalah menetapkan keagungan atau kebesaran pada Allah Ta’ala dan tidak ada yang melebihi kebesarannya.[2]
Empat kalimat mulia tersebut bisa berfaedah jika bukan hanya di lisan, namun direnungkan maknanya di dalam qolbu, dalam hati yang paling dalam.
Semoga amalan yang sederhana ini bisa jadi rutinitas kita sehingga lisan ini selalu basah dengan dzikrullah, dzikir pada Allah.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ
اللهم إني أعوذبك بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
"Ya Allah, aku berlindung kpd-Mu dari azab jahannam, & azab kubur, & fitnah kehidupan & kematian & dari jahatnya fitnah Al-Masih Ad-Dajjal" (HR Muslim)
وذ بالله من الشيطان الرجيم
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
لحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد, فيا عباد الله اوصيكم ونفسي الخاطئة المذنبة بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون. وقال الله تعالى في محكم التنزيل بعد أعوذ بالله من الشيطان الرجيم :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (ال عمران : 102)
..
Marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan...
Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad Saw). Wahai orang-orang beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad) Saw. (Al-Ahzab : 56)
DZIKIR YANG SANGAT DISUKAI ALLAH SWT
Dzikir adalah ibadah yang sangat mulia. Di antara fadilahnya adalah bisa lebih menenangkan jiwa. Fadilah lainnya pun amat banyak. Di antara dzikir yang bisa dirutinkan setiap saat, dibaca agar lisan terus basah dengan dzikrullah adalah empat kalimat mulia, yaitu
(1) subhanallah,
(2) alhamdulillah,
(3) laa ilaha illallah,
(4) Allahu akbar”.
Berikut beberapa hadits yang membicarakan keutamaan dzikir tersebut:
Pertama:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَحَبُّ الْكَلاَمِ إِلَى اللَّهِ أَرْبَعٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ. لاَ يَضُرُّكَ بَأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ
Dari Samuroh bin Jundub, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Ada empat ucapan yang paling disukai oleh Allah: (1) Subhanallah, (2) Alhamdulillah, (3) Laa ilaaha illallah, dan (4) Allahu Akbar. Tidak berdosa bagimu dengan mana saja kamu memulai” (HR. Muslim no. 2137).
Kedua:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
Dari Abu Hurairah, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
'Sesungguhnya membaca “subhanallah walhamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan Allah Maha Besar)” adalah lebih aku cintai daripada segala sesuatu yang terkena sinar matahari." (HR. Muslim no. 2695).
Al Munawi rahimahullah mengatakan, “Segala sesuatu yang dikatakan antara langit dan bumi, atau dikatakan lebih baik dari sesuatu yang terkena sinar matahari atau tenggelamnya, ini adalah ungkapan yang menggambarkan dunia dan seisinya.”[1]
Dari sini menunjukkan bahwa keempat kalimat tersebut lebih baik daripada dunia seisinya.
Ketiga:
عَنْ أُمِّ هَانِئٍ بِنْتِ أَبِى طَالِبٍ قَالَ قَالَتْ مَرَّ بِى ذَاتَ يَوْمٍ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى قَدْ كَبِرْتُ وَضَعُفْتُ - أَوْ كَمَا قَالَتْ - فَمُرْنِى بِعَمَلٍ أَعْمَلُهُ وَأَنَا جَالِسَةٌ. قَالَ « سَبِّحِى اللَّهَ مِائَةَ تَسْبِيحَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ رَقَبَةٍ تُعْتِقِينَهَا مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاحْمَدِى اللَّهَ مِائَةَ تَحْمِيدَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ فَرَسٍ مُسْرَجَةٍ مُلْجَمَةٍ تَحْمِلِينَ عَلَيْهَا فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَكَبِّرِى اللَّهَ مِائَةَ تَكْبِيرَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ بَدَنَةٍ مُقَلَّدَةٍ مُتَقَبَّلَةٍ وَهَلِّلِى اللَّهَ مِائَةَ تَهْلِيلَةٍ - قَالَ ابْنُ خَلَفٍ أَحْسِبُهُ قَالَ - تَمْلأُ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ يَوْمَئِذٍ لأَحَدٍ عَمَلٌ إِلاَّ أَنْ يَأْتِىَ بِمِثْلِ مَا أَتَيْتِ بِهِ
Dari Ummi Hani' binti Abu Thalib dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melewatiku pada suatu hari, lalu saya berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, saya sudah tua dan lemah, maka perintahkanlah kepadaku dengan amalan yang bisa saya lakukan dengan duduk." Beliau bersabda: "Bertasbihlah kepada Allah seratus kali, karena itu sama dengan kamu membebaskan seratus budak dari keturunan Isma'il. Bertahmidlah kepada Allah seratus kali karena itu sama dengan seratus kuda berpelana yang memakai kekang di mulutnya, yang kamu bawa di jalan Allah. Bertakbirlah kepada Allah dengan seratus takbir karena ia sama dengan seratus unta yang menggunakan tali pengekang dan penurut. Bertahlillah kepada Allah seratus kali." Ibnu Khalaf berkata; saya mengira beliau bersabda: "Karena ia memenuhi di antara langit dan bumi, dan pada hari ini tidaklah amalan seseorang itu diangkat kecuali akan didatangkan dengan semisal yang kamu lakukan itu." (HR. Ahmad 6/344. )
Keempat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا عَلَى الأَرْضِ رَجُلٌ يَقُولُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ إِلاَّ كُفِّرَتْ عَنْهُ ذُنُوبُهُ وَلَوْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang di muka bumi ini mengucapkan: Laa ilaha illallah, wallahu akbar, subhanallah, wal hamdulillah, wa laa hawla wa laa quwwata illa billah, melainkan dosa-dosanya akan dihapus walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Ahmad 2/158, sanadnya hasan)
Kelima:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَقِيتُ إِبْرَاهِيمَ لَيْلَةَ أُسْرِىَ بِى فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَقْرِئْ أُمَّتَكَ مِنِّى السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ عَذْبَةُ الْمَاءِ وَأَنَّهَا قِيعَانٌ وَأَنَّ غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
Dari Ibnu Mas'ud, ia berkata, Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam bersabda, "Aku pernah bertemu dengan Ibrahim pada malam ketika aku diisra`kan, kemudian ia berkata, ‘Wahai Muhammad, sampaikan salam dariku kepada umatmu, dan beritahukan kepada mereka bahwa Surga debunya harum, airnya segar, dan surga tersebut adalah datar, tanamannya adalah kalimat: Subhaanallaahi wal hamdu lillaahi laa ilaaha illaahu wallaahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Maha Besar).” (HR. Tirmidzi no. 3462.)
Keenam:
« إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى مِنَ الْكَلاَمِ أَرْبَعاً سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ فَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ عِشْرِينَ حَسَنَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ عِشْرِينَ سَيِّئَةً وَمَنْ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ فَمِثْلُ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَمِثْلُ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ كُتِبَتْ لَهُ ثَلاَثُونَ حَسَنَةً وَحُطَّ عَنْهُ ثَلاَثُونَ سَيِّئَةً
Dari Abu Sa'id Al Khudri dan Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah memilih empat perkataan: subhanallah (Maha suci Allah) dan alhamdulillah (segala puji bagi Allah) dan laa ilaaha illa allah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan Allahu akbar (Allah maha besar). Barangsiapa mengucapkan subhaanallah, maka Allah akan menulis dua puluh kebaikan baginya dan menggugurkan dua puluh dosa darinya, dan barangsiapa mengucapkan Allahu Akbar, maka Allah akan menulis seperti itu juga, dan barangsiapa mengucapkan laa Ilaaha illallah, maka akan seperti itu juga, dan barangsiapa mengucapkan alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin dari relung hatinya maka Allah akan menulis tiga puluh kebaikan untuknya dan digugurkan tiga puluh dosa darinya." (HR. Ahmad 2/302. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya shahih)
Maksud Dzikir Empat Kalimat Mulia
Yang dimaksud bacaan tasbih (subhanallah = Maha Suci Allah) adalah menyucikan Allah dari segala kekurangan yang tidak layak bagi-Nya.
Yang dimaksud bacaan tahmid (alhamdulillah = segala puji bagi Allah) adalah menetapkan kesempurnaan pada Allah dalam nama, shifat dan perbuatan-Nya yang mulia.
Yang dimaksud bacaan tahlil (laa ilaha illallah = tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) adalah berbuat ikhlas dan mentauhidkan Allah serta berlepas diri dari kesyirikan.
Yang dimaksud bacaan takbir (Allahu akbar = Allah Maha Besar) adalah menetapkan keagungan atau kebesaran pada Allah Ta’ala dan tidak ada yang melebihi kebesarannya.[2]
Empat kalimat mulia tersebut bisa berfaedah jika bukan hanya di lisan, namun direnungkan maknanya di dalam qolbu, dalam hati yang paling dalam.
Semoga amalan yang sederhana ini bisa jadi rutinitas kita sehingga lisan ini selalu basah dengan dzikrullah, dzikir pada Allah.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ
اللهم إني أعوذبك بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
"Ya Allah, aku berlindung kpd-Mu dari azab jahannam, & azab kubur, & fitnah kehidupan & kematian & dari jahatnya fitnah Al-Masih Ad-Dajjal" (HR Muslim)
Bolehkah Mengucapkan "Sayyidina" ?
Menambah kata "Sayyid" sebelum menyebut nama Nabi Muhammad adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at. Karena pada kenyataannya Rasulullah adalah seorang Sayyid, bahkan beliau adalah Sayyid al-‘Alamin, penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Salah seorang ulama bahasa terkemuka, ar-Raghib al-Ashbahani dalam kitab Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna “Sayyid” adalah seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum yang dihormati dan dimuliakan (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254).
Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”:
وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران: 39)
“... menjadi pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (QS. Ali ‘Imran: 39)
Nabi Muhammad jauh lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul. Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”. Beliau bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي)
“Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”. (HR. at-Tirmidzi)
Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur.
Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Namun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud)
Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya.
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ
“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad.
Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ
“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).
http://www.kenapatakutbidah.co.cc/2010/12/bolehkah-mengucapkan-sayyidina.html
PENYEBARAN ISLAM DI TANAH JAWA
9 = Songo (dalam bahasa jawa)
"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,
Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis
bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan
darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik
Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga
sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel.
Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak
Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah
sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di
tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-KudusMuria
di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual
yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai
bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan
dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa
itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan
Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan.
Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya
masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati
kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga
berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan
Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta
dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding
yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam.
Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi
Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari
Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan
nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha
Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama
kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari
seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di
Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta.
Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok
Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas
masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal
Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur
kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang
kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama
Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan
Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat
sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean.
Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat
Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran
ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin,
tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang
yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan
Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan
kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara
populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahumembahu
dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah
satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr
(wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut.
Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah
Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu,
dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang,
dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang
mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati"
adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai
membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-
Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi
(peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
Sunan Ampel
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan
Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden
Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri,
diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah
Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya
(kota Wonokromo sekarang).
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M
bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di
Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik.
Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati,
yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia
dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan
Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus)
hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia
pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk
menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun
mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada
pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di
wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden
Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa
dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan
pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang
mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon).
Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotik, dan tidak berzina."
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia
bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar
Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M.
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke
pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog --pesisir
Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat
berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem
Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak
banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara
berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah
suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang
lapar/beri pakaian pada yang telanjang'.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka
menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anakanak
yatim-piatu dan fakir miskin.
Sunan Giri
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri
lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang
menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa
kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya--seorang putri raja
Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian
dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak
berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia
meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden
Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia
membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa,
bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga
sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri
mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan.
Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri
Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah
melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima
militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak
lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-
Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya,
Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang
kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau,
seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke
Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal
dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang
pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa.
Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi
Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun
syarat dengan ajaran Islam.
Sunan Gunung Jati
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati.
Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti
Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima
wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya
adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya
adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari
Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia
sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas
restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran
untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga
mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan
antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten
tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.
Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung
Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung
Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Sunan Kalijaga
Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir
sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -
keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya
Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah
nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga
yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan
Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati.
Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai
(kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli
dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu)
yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni
ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju
takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi
Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini
sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar
adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di
antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan
Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
Sunan Kudus
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah
(adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan
Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di
Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah
tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari
pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi
yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja
menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di
halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan
sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar
penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang
berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara
berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang
tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan
Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi
Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat
Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur
melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Maulana Malik Ibrahim
(Wafat 1419)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan
lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah
Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah
Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi.
Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan
Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan
Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama
Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand.
Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina
Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun
sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah
Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri.
Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah
ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang.
Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih
berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah
daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung.
Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik
Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib,
kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar
kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari
tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419
M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa
Timur.
Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana
Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama
Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18
kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga.
Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah
sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan
bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan
Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah
betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus
dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti
Wallahu'alam
HUSNUDZAN
Jika engkau bertemu dengan seseorang, maka yakinilah bahwa dia lebih baik darimu....Ucapkan dalam hatimu....Bisa jadi kedudukannya di sisi Allah swt jauh lebih baik dan lebih tinggi dariku.
jika bertemu anak kecil, maka ucapkanlah ( dalam hatimu )....Anak ini belum bermaksiat kepada Allah swt, sedangkan diriku telah banyak bermaksiat kepada-Nya. Tentu anak ini jauh lebih baik dariku.
Jika bertemu orang tua, maka ucapkanlah ( dalam hatimu )....Dia telah beribadah kepada Allah swt jauh lebih lama dariku, tentu dia lebih baik dariku.
Jika bertemu dengan seorang yang berilmu, maka ucapkanlah ( dalam hatimu )....Orang ini memperoleh karunia yang tidak akan kuperoleh, mencapai kedudukan yang tidak akan pernah kucapai, mengetahui apa yang tidak kuketahui dan dia mengamalkan ilmunya, tentu dia lebih baik dariku.
Jika bertemu dengan seorang yang bodoh, maka katakanlah ( dalam hatimu )....Orang ini bermaksiat kepada Allah swt karena dia bodoh ( tidak tahu ), sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya padahal aku mengetahui akibatnya. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir umurku dan umurnya kelak. Dia tentu lebih baik dariku.
Jika bertemu dengan orang kafir, maka katakanlah ( dalam hatimu )....Aku tidak tahu bagaimana keadaannya kelak, bisa jadi di akhir usianya dia memeluk agama islam dan beramal saleh. Dan bisa jadi di akhir usia, diriku kufur dan berbuat buruk.
[ Nasehat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani ]
jika bertemu anak kecil, maka ucapkanlah ( dalam hatimu )....Anak ini belum bermaksiat kepada Allah swt, sedangkan diriku telah banyak bermaksiat kepada-Nya. Tentu anak ini jauh lebih baik dariku.
Jika bertemu orang tua, maka ucapkanlah ( dalam hatimu )....Dia telah beribadah kepada Allah swt jauh lebih lama dariku, tentu dia lebih baik dariku.
Jika bertemu dengan seorang yang berilmu, maka ucapkanlah ( dalam hatimu )....Orang ini memperoleh karunia yang tidak akan kuperoleh, mencapai kedudukan yang tidak akan pernah kucapai, mengetahui apa yang tidak kuketahui dan dia mengamalkan ilmunya, tentu dia lebih baik dariku.
Jika bertemu dengan seorang yang bodoh, maka katakanlah ( dalam hatimu )....Orang ini bermaksiat kepada Allah swt karena dia bodoh ( tidak tahu ), sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya padahal aku mengetahui akibatnya. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir umurku dan umurnya kelak. Dia tentu lebih baik dariku.
Jika bertemu dengan orang kafir, maka katakanlah ( dalam hatimu )....Aku tidak tahu bagaimana keadaannya kelak, bisa jadi di akhir usianya dia memeluk agama islam dan beramal saleh. Dan bisa jadi di akhir usia, diriku kufur dan berbuat buruk.
[ Nasehat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani ]
Asas-asas Dakwah
Asas-asas Dakwah
1. Dakwah infirodi/ijtima'i, bukan pertemuan besar-besaran
2. Risau, bukan pikir tinggi-tinggi
3. Gerak (harakah), bukan tulisan (qalam)
4. Persatuan (ittihad), bukan perpecahan (ikhtilaf)
5. Amar Ma'ruf, bukan nahi Mungkar (maaf dengan tambahan dari pendapat diri saya yg dhoif ini: dengan Amar Ma'ruf yang di niat luruskan karena Allah Swt, insya Allah nahi Mungkar pasti bisa dilakukan)
6. Musyawarah (syuro), bukan perintah (amar)
7. Sunyi-senyap (istitar), bukan propaganda/gembar-gembor (isytihar)
8. Kabar Gembira (basyirah), bukan ancaman (nadzirah)
9. Perdamaian (keamanan), bukan peperangan (amarah)
10. Ringkas (ijmal), bukan mendetail (tafsil)
11. Akar (ushul), bukan ranting (furu')
12. Rendah diri (tawadhu), bukan Sombong (ananiah)
13. Diri sendiri (jaal), bukan harta (maal)
Dikutip dari buku dengan judul KHURUJ FIISABILILLAH karya : NADHAR M ISHAQ SHAHAB, terbitan Pustaka Billah
Halaman 56 tentang Asas dan Ushul-Ushul Dakwah
1. Dakwah infirodi/ijtima'i, bukan pertemuan besar-besaran
2. Risau, bukan pikir tinggi-tinggi
3. Gerak (harakah), bukan tulisan (qalam)
4. Persatuan (ittihad), bukan perpecahan (ikhtilaf)
5. Amar Ma'ruf, bukan nahi Mungkar (maaf dengan tambahan dari pendapat diri saya yg dhoif ini: dengan Amar Ma'ruf yang di niat luruskan karena Allah Swt, insya Allah nahi Mungkar pasti bisa dilakukan)
6. Musyawarah (syuro), bukan perintah (amar)
7. Sunyi-senyap (istitar), bukan propaganda/gembar-gembor (isytihar)
8. Kabar Gembira (basyirah), bukan ancaman (nadzirah)
9. Perdamaian (keamanan), bukan peperangan (amarah)
10. Ringkas (ijmal), bukan mendetail (tafsil)
11. Akar (ushul), bukan ranting (furu')
12. Rendah diri (tawadhu), bukan Sombong (ananiah)
13. Diri sendiri (jaal), bukan harta (maal)
Dikutip dari buku dengan judul KHURUJ FIISABILILLAH karya : NADHAR M ISHAQ SHAHAB, terbitan Pustaka Billah
Halaman 56 tentang Asas dan Ushul-Ushul Dakwah
VALENTINE DAYS, STRATEGI JAJAH MUSLIM PALING MURAH
Oleh : Hj. Irena Handono
Pakar Kristologi, Pendiri Irena Center, Pimpinan Umum Gerakan Muslimat Indonesia
P ertengahan bulan Januari hiasan warna pink sudah merebak kemana-mana mulai dari pusat-pusat perbelanjaan, cafe, toko buku, majalah, TV dan pusat-pusat hiburan lain. Di sekolah-sekolah para remaja pun asyik merencanakan acara malam Valentine's Day 14 Februari, yang mereka kenal sebagai hari kasih sayang.
Seolah menjadi keharusan bagi remaja untuk mengikuti acara tersebut, bahkan ada sebuah pandangan tidak mengikutinya adalah "kuper" Dan tak jarang juga orang tua yang justru mensupport melepaskan putra-putrinya untuk mengikuti acara tersebut dengan alasan supaya mereka lebih bergaul dengan sesamanya. Dan menganggap Valentine's Day sama dengan Hari Ibu, Hari Pahlawan atau Hari Kartini. Sebuah peringatan yang tidak mempunyai muatan religius. Benarkah demikian? Apa sesungguhnya Valentine itu?. Dari mana budaya ini berasal? Bagaimana hukumnya bagi seorang muslim mengikuti budaya ini?
Sejarah Valentine's Day
Valentine's Day adalah berasal dari budaya Barat. Siapa Valentine? Tidak ada kepastian siapakah, bahkan sejarah pastinya pun tidak jelas. Ada banyak versi tentang asal perayaan Hari Valentine, yang paling populer adalah kisah SantoValentinus yang hidup di masa Kaisar Claudius II dan kemudian menemui ajalnya pada 14 Februari 269.
Meskipun demikian para sejarawan barat tidak berbeda pendapat mengakui bahwa akar perayaan Valentine adalah berasal dari budaya pagan kuno, budaya kafir yang menyembah banyak dewa-dewi. Menurut budaya ini bulan Februari dikenal sebagai periode cinta dan kesuburan. Periode antara pertengahan Januari hingga pertengahan Februari dalam kalender Athena Kuno disebut sebagai bulan Gamelion, bulan suci memperingati pernikahan Dewa Zeus dan Hera. Sedangkan di Romawi Kuno, 15 Februari dikenal dengan hari raya Lupercalia, hari memperingati dewa Lupercus, sang dewa kesuburan.
Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian yang berlangsung dari tanggal 13 - 18 Februari yang puncaknya adalah tanggal 15. Dua hari pertama (13 dan 14) dipersembahkan untuk Dewi Cinta (Queen of Feverish Love) bernama Juno Februata. Pada hari tersebut para pemuda berkumpul dan mengundi nama-nama gadis yang dikumpulkan dalam sebuah bejana. Tiap pemuda mengambil secara acak satu nama dan gadis yang namanya terambil akan menjadi kekasihnya selama setahun penuh untuk bersenang-senang dan menjadi objek hiburan sang pemuda yang memilihnya. Jika di antara mereka ada kecocokan maka mereka akan melanjutkannya ke pelaminan tapi kalau tidak, maka tahun berikutnya mereka bisa berganti pasangan.
Tanggal 15 Februari puncak peringatan dilakukan dengan cara mempersembahkan korban berupa kambing kepada sang dewa yang dilakukan oleh para pendeta pagan dan kemudian mereka meminum anggur dan berlari-lari di jalan-jalan dalam kota sambil rnembawa potongan kulit domba dan menyentuhkan kepada siapapun yang dijumpai. Saat itu para wanita akan berjejer di sepanjang jalan berebut untuk diusap kulit kambing, mereka percaya bahwa sentuhan kulit kambing tersebut akan membawa keberuntungan dan kesuburan. Suatu acara yang sangat populer di masa itu.
Sinkretisme
Ketika agama Kristen masuk Roma, budaya maksiat seks bebas yang begitu digemari masyarakat ini sulit dijauhkan. Sehingga untuk menarik minat masyarakat terutama remaja agar masuk gereja maka dipertahankanlah tanggal tersebut namun diubah dengan nama-nama orang-orang suci (saint/santo) gereja. Dan pada tahun 496, Paus Gelasius I menetapkan upacara pagan Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine's Day.
Beberapa sumber mengatakan bahwa nama Valentine diambil dari nama seorang pastor yang menentang Kaisar Cladius II yang berujung pada kematiannya. Pastor yang diyakini bernama Valentino ini dengan berani menyatakan bahwa tuhannya adalah Yesus dan menolak menyembah dewa-dewa pagan.
Sehingga siapa sesungguhnya yang diperingati di hari Valentine pun sampai kini tidak ada kesepakatan diantara para sejarawan. Apakah sosok Valentine memang ada atau sekedar dicocok-cocokkan saja sebagai landasan sinkretisme?
Perang Budaya, pendangkalan Akidah
Perang fisik, perang yang di lakukan Amerika di Iraq, Afghanistan, Pakistan adalah upaya untuk menjajah kedua negara tersebut dan memakan biaya sangat sangat mahal. Namun untuk memerangi Indonesia, menguasai kekayaan alamnya, Amerika tidak perlu mengeluarkan biaya yang sedemikian besar. Ada perang yang cukup murah, yakni perang budaya, dengan mendangkalkan aqidah muslim dan menjauhkan muslim dari ajaran Islam.
Dalam Konferensi Misionaris di kota Quds (1935), Samuel Zweimer, seorang Yahudi yang menjabat direktur organisasi misi Kristen, menyatakan, "Misi utama kita bukan menghancurkan kaum Muslim sebagai seorang Kristen... Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, generasi yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi malas dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsu.”
Bukankah ini yang sudah terjadi sekarang? Budaya-budaya hedonisme yang mengumbar kepuasan hawa nafsu seperti Valentine, April Mop, Helloween, Old and New yang kesemuanya bukan berasal dari budaya Islam, bukan berasal dari budaya lokal negeri kita, lebih dikenal oleh remaja muslim.
Industrialisasi Valentine
Perayaan Valentine bukan menjadi sepi namun kian meriah. Masyarakat digiring untuk konsumtif. Lewat kekuatan promosi dan marketingnya yang merambah semua media baik cetak, elektronik maupun internet, Hari Valentine dibuat segemerlap mungkin dan di kampanyekan sebagai hari khusus yang sangat spesial bagi orang yang dikasihi. Dan tentulah para pengusaha yang hanya berorientasi materi tanpa memperdulikan tanggung jawab moral, aqidah umat, hanya berpikir agar dagangan mereka laku terjual. Sehingga terjadilah apa yang disebut sosiolog sebagai industrialisasi agama, dimana perayaan agama oleh kapitalis dibelokkan menjadi perayaan bisnis.
Inilah sesungguhnya strategi yang dilancarkan kaum kafir barat lewat penjajahan budaya. Mengeruk kekayaan alam Indonesia yang mayoritas muslim maka harus mengalahkan muslimnya dahulu. Lewat budaya, umat Islam didangkalkan aqidahnya dijauhkan dari ajaran Islam. Umat Islam dijadikan budak konsumerisme yang diciptakan kaum Kapitalis. Seiring itu isme-isme lain masuk dan menggantikan aqidah Islam. Selanjutnya terciptalah generasi yang sudah tidak mengenal Islam, mereka ini yang sering disebut lebih barat ketimbang barat, lebih Amrik ketimbang Amerika. Maka tak heran juga jika sekian aset negara ini tiba-tiba sudah melayang di tangan asing.
Hukum Rayakan Valentine dalam Islam
Maka untuk menyelamatkan umat, baik sumberdaya maupun aqidah, hendaklah kita kembali pada ajaran Islam secara kaafah. Hendaklah remaja muslim menghindari dan menolak budaya Valentine yang jelas-jelas merupakan budaya kaum kafir pagan serta bagian dari konspirasi mereka. Rasul bersabda: "Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut." (HR Tirmidzi).
Allah SWT dalam Qur'an Surat Al-Maidah ayat 51 melarang umat Islam untuk meniru-niru atau meneladani kaum Yahudi dan Nasrani, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi don Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongon mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zolim."
“Sampaikanlah walaupun hanya satu ayat”
Pakar Kristologi, Pendiri Irena Center, Pimpinan Umum Gerakan Muslimat Indonesia
P ertengahan bulan Januari hiasan warna pink sudah merebak kemana-mana mulai dari pusat-pusat perbelanjaan, cafe, toko buku, majalah, TV dan pusat-pusat hiburan lain. Di sekolah-sekolah para remaja pun asyik merencanakan acara malam Valentine's Day 14 Februari, yang mereka kenal sebagai hari kasih sayang.
Seolah menjadi keharusan bagi remaja untuk mengikuti acara tersebut, bahkan ada sebuah pandangan tidak mengikutinya adalah "kuper" Dan tak jarang juga orang tua yang justru mensupport melepaskan putra-putrinya untuk mengikuti acara tersebut dengan alasan supaya mereka lebih bergaul dengan sesamanya. Dan menganggap Valentine's Day sama dengan Hari Ibu, Hari Pahlawan atau Hari Kartini. Sebuah peringatan yang tidak mempunyai muatan religius. Benarkah demikian? Apa sesungguhnya Valentine itu?. Dari mana budaya ini berasal? Bagaimana hukumnya bagi seorang muslim mengikuti budaya ini?
Sejarah Valentine's Day
Valentine's Day adalah berasal dari budaya Barat. Siapa Valentine? Tidak ada kepastian siapakah, bahkan sejarah pastinya pun tidak jelas. Ada banyak versi tentang asal perayaan Hari Valentine, yang paling populer adalah kisah SantoValentinus yang hidup di masa Kaisar Claudius II dan kemudian menemui ajalnya pada 14 Februari 269.
Meskipun demikian para sejarawan barat tidak berbeda pendapat mengakui bahwa akar perayaan Valentine adalah berasal dari budaya pagan kuno, budaya kafir yang menyembah banyak dewa-dewi. Menurut budaya ini bulan Februari dikenal sebagai periode cinta dan kesuburan. Periode antara pertengahan Januari hingga pertengahan Februari dalam kalender Athena Kuno disebut sebagai bulan Gamelion, bulan suci memperingati pernikahan Dewa Zeus dan Hera. Sedangkan di Romawi Kuno, 15 Februari dikenal dengan hari raya Lupercalia, hari memperingati dewa Lupercus, sang dewa kesuburan.
Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian yang berlangsung dari tanggal 13 - 18 Februari yang puncaknya adalah tanggal 15. Dua hari pertama (13 dan 14) dipersembahkan untuk Dewi Cinta (Queen of Feverish Love) bernama Juno Februata. Pada hari tersebut para pemuda berkumpul dan mengundi nama-nama gadis yang dikumpulkan dalam sebuah bejana. Tiap pemuda mengambil secara acak satu nama dan gadis yang namanya terambil akan menjadi kekasihnya selama setahun penuh untuk bersenang-senang dan menjadi objek hiburan sang pemuda yang memilihnya. Jika di antara mereka ada kecocokan maka mereka akan melanjutkannya ke pelaminan tapi kalau tidak, maka tahun berikutnya mereka bisa berganti pasangan.
Tanggal 15 Februari puncak peringatan dilakukan dengan cara mempersembahkan korban berupa kambing kepada sang dewa yang dilakukan oleh para pendeta pagan dan kemudian mereka meminum anggur dan berlari-lari di jalan-jalan dalam kota sambil rnembawa potongan kulit domba dan menyentuhkan kepada siapapun yang dijumpai. Saat itu para wanita akan berjejer di sepanjang jalan berebut untuk diusap kulit kambing, mereka percaya bahwa sentuhan kulit kambing tersebut akan membawa keberuntungan dan kesuburan. Suatu acara yang sangat populer di masa itu.
Sinkretisme
Ketika agama Kristen masuk Roma, budaya maksiat seks bebas yang begitu digemari masyarakat ini sulit dijauhkan. Sehingga untuk menarik minat masyarakat terutama remaja agar masuk gereja maka dipertahankanlah tanggal tersebut namun diubah dengan nama-nama orang-orang suci (saint/santo) gereja. Dan pada tahun 496, Paus Gelasius I menetapkan upacara pagan Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine's Day.
Beberapa sumber mengatakan bahwa nama Valentine diambil dari nama seorang pastor yang menentang Kaisar Cladius II yang berujung pada kematiannya. Pastor yang diyakini bernama Valentino ini dengan berani menyatakan bahwa tuhannya adalah Yesus dan menolak menyembah dewa-dewa pagan.
Sehingga siapa sesungguhnya yang diperingati di hari Valentine pun sampai kini tidak ada kesepakatan diantara para sejarawan. Apakah sosok Valentine memang ada atau sekedar dicocok-cocokkan saja sebagai landasan sinkretisme?
Perang Budaya, pendangkalan Akidah
Perang fisik, perang yang di lakukan Amerika di Iraq, Afghanistan, Pakistan adalah upaya untuk menjajah kedua negara tersebut dan memakan biaya sangat sangat mahal. Namun untuk memerangi Indonesia, menguasai kekayaan alamnya, Amerika tidak perlu mengeluarkan biaya yang sedemikian besar. Ada perang yang cukup murah, yakni perang budaya, dengan mendangkalkan aqidah muslim dan menjauhkan muslim dari ajaran Islam.
Dalam Konferensi Misionaris di kota Quds (1935), Samuel Zweimer, seorang Yahudi yang menjabat direktur organisasi misi Kristen, menyatakan, "Misi utama kita bukan menghancurkan kaum Muslim sebagai seorang Kristen... Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, generasi yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi malas dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsu.”
Bukankah ini yang sudah terjadi sekarang? Budaya-budaya hedonisme yang mengumbar kepuasan hawa nafsu seperti Valentine, April Mop, Helloween, Old and New yang kesemuanya bukan berasal dari budaya Islam, bukan berasal dari budaya lokal negeri kita, lebih dikenal oleh remaja muslim.
Industrialisasi Valentine
Perayaan Valentine bukan menjadi sepi namun kian meriah. Masyarakat digiring untuk konsumtif. Lewat kekuatan promosi dan marketingnya yang merambah semua media baik cetak, elektronik maupun internet, Hari Valentine dibuat segemerlap mungkin dan di kampanyekan sebagai hari khusus yang sangat spesial bagi orang yang dikasihi. Dan tentulah para pengusaha yang hanya berorientasi materi tanpa memperdulikan tanggung jawab moral, aqidah umat, hanya berpikir agar dagangan mereka laku terjual. Sehingga terjadilah apa yang disebut sosiolog sebagai industrialisasi agama, dimana perayaan agama oleh kapitalis dibelokkan menjadi perayaan bisnis.
Inilah sesungguhnya strategi yang dilancarkan kaum kafir barat lewat penjajahan budaya. Mengeruk kekayaan alam Indonesia yang mayoritas muslim maka harus mengalahkan muslimnya dahulu. Lewat budaya, umat Islam didangkalkan aqidahnya dijauhkan dari ajaran Islam. Umat Islam dijadikan budak konsumerisme yang diciptakan kaum Kapitalis. Seiring itu isme-isme lain masuk dan menggantikan aqidah Islam. Selanjutnya terciptalah generasi yang sudah tidak mengenal Islam, mereka ini yang sering disebut lebih barat ketimbang barat, lebih Amrik ketimbang Amerika. Maka tak heran juga jika sekian aset negara ini tiba-tiba sudah melayang di tangan asing.
Hukum Rayakan Valentine dalam Islam
Maka untuk menyelamatkan umat, baik sumberdaya maupun aqidah, hendaklah kita kembali pada ajaran Islam secara kaafah. Hendaklah remaja muslim menghindari dan menolak budaya Valentine yang jelas-jelas merupakan budaya kaum kafir pagan serta bagian dari konspirasi mereka. Rasul bersabda: "Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut." (HR Tirmidzi).
Allah SWT dalam Qur'an Surat Al-Maidah ayat 51 melarang umat Islam untuk meniru-niru atau meneladani kaum Yahudi dan Nasrani, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi don Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongon mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zolim."
“Sampaikanlah walaupun hanya satu ayat”
Mughni Muhtaj ; Ziarah, Baca Qur'an di Kuburan dan Menghidangkan Makanan
Hukum islam dibagi menjadi 5 hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram.
Oleh Sutarom Tarom
عوذ بالله من الشيطان الرجيم
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
لحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد, فيا عباد الله اوصيكم ونفسي الخاطئة المذنبة بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون. وقال الله تعالى في محكم التنزيل بعد أعوذ بالله من الشيطان الرجيم :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (ال عمران : 102)
..
Marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan...
Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam
Al-Qur’an :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad Saw). Wahai orang-orang beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad) Saw. (Al-Ahzab : 56)
Mughni Muhtaj ; Ziarah, Baca Qur'an di Kuburan dan Menghidangkan Makanan
Mughni Muhtaj (ilaa Ma’rifati Ma’aniy Alfadh al-Minhaj) lil-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib asy-Syarbiniy asy-Syafi’i (w. 977 H).
Ziarah dan Baca Qur'an di Kubur
Ziarah kubur hukumnya sunnah, dan ini telah menjadi kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia. Hingga sebagian merutinkannya mengamalkan amalan sunnah ini pada hari-hari yang memiliki keutamaan. Ulama telah menyebutkan afdlaliyah (keutamaan) ziarah hari Jum’at, maupun hari sebelumnya dan hari setelahnya. Adapun ketika memasuk pekuburan disunnahkan mengucapkan salam seperti berikut :
السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُمْ لَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
atau
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ
Ucapan “InsyaAllah” pada salam diatas mengandung maksud “lit-tabarruk (untuk ngalap berkah)” atau suatu saat akan dikubur ditempat itu juga atau Insyaallah akan mati dalam keadaan Islam. Hendaknya bacalah al-Qur’an diatas kubur karena ini sunnah dan telah dilakukan oleh para salafush shaleh. Dalam kitab Mughniy Muhtaj disebutkan :
“Dan membaca apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an disisi kubur, dan itu sunnah pada area pekuburan, sesungguhnya terdapat pahala bagi orang-orang yang hadir dan mayyit seperti orang yang hadir yang diharapkan untuknya mendapat rahmat. Dan tentang pembahasan pahala bacaan al-Qur’an untuk mayyit, InsyaAllah akan datang bahasannya pada bahasan wasiat. Kemudian (berdoa) untuk mayyit mengiringi bacaan al-Qur’an dengan harapan dikabulkan, karena do’a (orang lain) bermanfaat bagi mayyit, apalagi dilakukan mengiringi bacaan al-Qur’an maka itu lebih dekat untuk dikabulkan. Dan ketika berdo’a menghadap kiblat, namun al-Khurasaniyyun (‘Ulama Khurasan) menganjurkan menghadap wajah mayyit. Mushannif berkata : disunnahkan memperbanyak seperti ziarah dan memperbanyak berdiam di kubur orang-orang kebajikan dan keutamaan (orang-orang shalih)”.[1]
Amalan sunnah ini (yaitu membaca al-Qur’an dikuburan) telah masyhur negeri-negeri kaum Muslimin dan telah menjadi semacam budaya Islami. Oleh karena itu jangan sekali-kali menyamakan budaya yang ada pada kaum Muslimin dengan budaya non-Islam. Dan umat Islam tidak perlu merasa khawatir melakukan ziarah kubur yang disertai membaca al-Qur’an dan berdo’a dikuburan, walaupun seumpama belum mengetahui dalil dengan rinci. Sebab budaya yang berkembang dikalangan kaum Muslimin kalau dikaji akan ketemu landasan atau asas islaminya, berbeda dengan budaya yang berkembang dikalangan non-Islam, tidak pernah memilliki landasan. Seperti itu juga maulid Nabi, shalawatan antara adzan dan iqamah dan lain sebagainya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah sebagaimana tuturkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah didalam al-Adzkar mengatakan :
“Imam asy-Syafi’i dan ashhabnya berkata : disunnahkan agar mereka membaca al-Qur’an disisinya (sisi kubur). Apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’an seluruhnya maka itu hasan (bagus)”. [2]
Menghidangkan Makanan
“disunnahkan bagi tetangga ahlul mayyit dan bagi kerabat-kerabatnya yang jauh walaupun penduduk yang bukan dari negeri mayyit (menyiapkan makanan yang mengeyangkan mereka) yakni ahlul mayyit yang dekat (pada siang dan malam hari) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, telah datang khabar pembunuhan Ja’far : hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sungguh telah datang sesuatu yang menyibukkan mereka”, at-Turmidzi telah menghasankannya dan al-Hakim menshahihkannya. Dan karena yang demikian itu mengandung kebaikan dan kearifan. Al-Isnawiy berkata : ibarat dengan siang dan malam adalah penjelasan apabila kematiannya pada awal malam, maka walaupun mati pada akhir malam maka diqiyaskan agar memasukkan pada malam yang kedua itu juga, terutama apabila mengakhirkan pemakaman di malam itu, dan dianjurkan agar ahlul mayyit dipaksa makan jika membutuhkannya (ketika lapar) agar tidak membuat mereka lemah, karena mungkin saja meninggalkannya ka rena malu atau karena perasaan sedih,.. dan haram ahlul mayyit memberi jamuan kepada wanita yang meratap dan menyebut-menyebut (wallahu a’lam), karena itu membantu kemashiatan, Imam ash-Shabbagh dan yang lainnya telah mengatakannya. Adapun ahlul mayyit mengurusi makanan dan seluruh manusia ( berkumpul) padanya maka itu bid’ah ghairu mustahab, Imam Ahmad dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata : “kami menganggap berkumpul dikediaman ahlul mayyit dan menghidangkan makanan untuk mereka adalah niyahah”.[3]
Faidah :
* Apabila ada kaum muslimin yang meninggal dunia, maka hendaknya membawakan makanan untuk keluarga mereka, sebab ini sunnah. Alhamdulillah, hal semacam ini telah menjadi kebiasaan masyarakat Islam, biasanya mereka membawa seperti beras, gula, uang dan sebagainya untuk ahlul mayyit.
* Ulama mengharamkan an-niyahah dan an-nadb, demikian juga menghidangkan makanan untuk wanita yang melakukan keduanya. Oleh karena itu apabila ada yang melakukan hal demikian, maka hendaknya dicegah dan dinasehati dengan halus.
* Ahlul mayyit (keluarga almarhum) tidak perlu mengurusi makanan (jamuan) untuk perkumpulan manusia, sebab itu dikhawatirkan akan menambah kesibukan mereka. Adapun jika hanya sekedarnya saja maka itu tidak apa-apa, siapa tahu ada diantara mereka yang datang kehausan, atau ada diantara mereka yang berasal dari daerah yang tidak dekat, dan lain sebagainya. Juga tidak apa-apa dalam rangka menghormati tamu yang hadir dan menshadaqahkan hartanya.
* Tidak semua bid’ah itu jatuh pada status hukum haram. Hal ini karena bid’ah sendiri itu bukan status hukum. Status hukum dalam Islam ada 5 yaitu wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Makanya, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut seperti yang dilakukan oleh orang jahil melainkan mereka menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, terkait selaras tidaknya dengan Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar. Sehingga nantinya akan terlihat status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah muharramah”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mubahah” jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mustahabbah” dan jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah wajibah”. Oleh karena itu, tidak semua bid’ah itu terkategori sesat, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya sehingga bid’ah yang selaras dengan sunnah maka itu mahmudah (bagus) sebaliknya yang tidak selaras maka itu madzmubah (buruk). Namun walaupun ada bid’ah yang terkategori sebagai bid’ah madzmumah, tetapi jika diklasifikasikan hukumnya, tidak serta merta jatuh pada status hukum haram, namun bisa saja hanya sebatas makruh. Misalnya seperti perkataan ‘ulama : “bid’ah munkarah yang makruh” dan lain sebagainya.
* Adapun terkait istilah “bid’ah ghairu mustahab” maka yang dimaksud antara mubah dan makruh, bukan haram (berdosa). Namun dalam hal diatas, adalah ibarat mushannif mengenai hukum makruh.
Wallahu A'lam.
ويقرأ) عنده من القرآن ما تيسر، وهو سنة في المقابر فإن الثواب للحاضرين والميت كحاضر يرجى له الرحمة، وفي ثواب القراءة للميت كلام يأتي إن شاء الله تعالى في الوصايا (ويدعو) له عقب القراءة رجاء الإجابة؛ لأن الدعاء ينفع الميت وهو عقب القراءة أقرب إلى الإجابة، وعند الدعاء يستقبل القبلة وإن قال الخراسانيون باستحباب استقبال وجه الميت. قال المصنف: ويستحب الإكثار من الزيارة، وأن يكثر الوقوف عند قبور أهل الخير والفضل
[2]. lihat : al-Adzkar
قال الشافعي والأصحاب: يُستحبّ أن يقرؤوا عنده شيئاً من القرآن، قالوا: فإن ختموا القرآن كلَّه كان حسناً
[3] (2/60)__
و) يسن (لجيران أهله) ولأقاربه الأباعد وإن كان الأهل بغير بلد الميت (تهيئة طعام يشبعهم) أي أهله الأقارب (يومهم وليلتهم) لقوله - صلى الله عليه وسلم - «لما جاء خبر قتل جعفر: اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم» حسنه الترمذي وصححه الحاكم، ولأنه بر ومعروف قال الإسنوي؛ والتعبير باليوم والليلة واضح إذا مات في أوائل الليل، فلو مات في أواخره فقياسه أن يضم إلى ذلك الليلة الثانية أيضا لا سيما إذا تأخر الدفن عن تلك الليلة (ويلح عليهم) ندبا (في الأكل) منه إن احتيج إليه لئلا يضعفوا، فربما تركوه استحياء أو لفرط الحزن، ولا بأس بالقسم إذا عرف الحالف أنهم يبرون قسمه. (ويحرم تهيئته للنائحات) والنادبات (والله أعلم) ؛ لأنها إعانة على معصية قال ابن الصباغ وغيره. أما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فبدعة غير مستحب، روى أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال: كنا نعد الاجتماع على أهل الميت وصنعهم الطعام النياحة
Tidak semua bid’ah itu jatuh pada status hukum haram. Hal ini karena bid’ah sendiri itu bukan status hukum. Status hukum dalam Islam ada 5 yaitu wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Makanya, apabila ada perkara yang ...oleh ulama dianggap bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut seperti yang dilakukan oleh orang jahil melainkan mereka menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, terkait selaras tidaknya dengan Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar. Sehingga nantinya akan terlihat status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah muharramah”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mubahah” jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mustahabbah” dan jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah wajibah”. Oleh karena itu, tidak semua bid’ah itu terkategori sesat, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya sehingga bid’ah yang selaras dengan sunnah maka itu mahmudah (bagus) sebaliknya yang tidak selaras maka itu madzmubah (buruk). Namun walaupun ada bid’ah yang terkategori sebagai bid’ah madzmumah, tetapi jika diklasifikasikan hukumnya, tidak serta merta jatuh pada status hukum haram, namun bisa saja hanya sebatas makruh. Misalnya seperti perkataan ‘ulama : “bid’ah munkarah yang makruh” dan lain sebagainya.
Adapun terkait istilah “bid’ah ghairu mustahab” maka yang dimaksud antara mubah dan makruh, bukan haram (berdosa). Namun dalam hal diatas, adalah ibarat mushannif mengenai hukum makruh.
"Ya Allah, aku berlindung kpd-Mu dari azab jahannam, & azab kubur, & fitnah kehidupan & kematian & dari jahatnya fitnah Al-Masih Ad-Dajjal" (HR Muslim)
Oleh Sutarom Tarom
عوذ بالله من الشيطان الرجيم
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
لحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد, فيا عباد الله اوصيكم ونفسي الخاطئة المذنبة بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون. وقال الله تعالى في محكم التنزيل بعد أعوذ بالله من الشيطان الرجيم :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (ال عمران : 102)
..
Marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan...
Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam
Al-Qur’an :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad Saw). Wahai orang-orang beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad) Saw. (Al-Ahzab : 56)
Mughni Muhtaj ; Ziarah, Baca Qur'an di Kuburan dan Menghidangkan Makanan
Mughni Muhtaj (ilaa Ma’rifati Ma’aniy Alfadh al-Minhaj) lil-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib asy-Syarbiniy asy-Syafi’i (w. 977 H).
Ziarah dan Baca Qur'an di Kubur
Ziarah kubur hukumnya sunnah, dan ini telah menjadi kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia. Hingga sebagian merutinkannya mengamalkan amalan sunnah ini pada hari-hari yang memiliki keutamaan. Ulama telah menyebutkan afdlaliyah (keutamaan) ziarah hari Jum’at, maupun hari sebelumnya dan hari setelahnya. Adapun ketika memasuk pekuburan disunnahkan mengucapkan salam seperti berikut :
السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُمْ لَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
atau
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ
Ucapan “InsyaAllah” pada salam diatas mengandung maksud “lit-tabarruk (untuk ngalap berkah)” atau suatu saat akan dikubur ditempat itu juga atau Insyaallah akan mati dalam keadaan Islam. Hendaknya bacalah al-Qur’an diatas kubur karena ini sunnah dan telah dilakukan oleh para salafush shaleh. Dalam kitab Mughniy Muhtaj disebutkan :
“Dan membaca apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an disisi kubur, dan itu sunnah pada area pekuburan, sesungguhnya terdapat pahala bagi orang-orang yang hadir dan mayyit seperti orang yang hadir yang diharapkan untuknya mendapat rahmat. Dan tentang pembahasan pahala bacaan al-Qur’an untuk mayyit, InsyaAllah akan datang bahasannya pada bahasan wasiat. Kemudian (berdoa) untuk mayyit mengiringi bacaan al-Qur’an dengan harapan dikabulkan, karena do’a (orang lain) bermanfaat bagi mayyit, apalagi dilakukan mengiringi bacaan al-Qur’an maka itu lebih dekat untuk dikabulkan. Dan ketika berdo’a menghadap kiblat, namun al-Khurasaniyyun (‘Ulama Khurasan) menganjurkan menghadap wajah mayyit. Mushannif berkata : disunnahkan memperbanyak seperti ziarah dan memperbanyak berdiam di kubur orang-orang kebajikan dan keutamaan (orang-orang shalih)”.[1]
Amalan sunnah ini (yaitu membaca al-Qur’an dikuburan) telah masyhur negeri-negeri kaum Muslimin dan telah menjadi semacam budaya Islami. Oleh karena itu jangan sekali-kali menyamakan budaya yang ada pada kaum Muslimin dengan budaya non-Islam. Dan umat Islam tidak perlu merasa khawatir melakukan ziarah kubur yang disertai membaca al-Qur’an dan berdo’a dikuburan, walaupun seumpama belum mengetahui dalil dengan rinci. Sebab budaya yang berkembang dikalangan kaum Muslimin kalau dikaji akan ketemu landasan atau asas islaminya, berbeda dengan budaya yang berkembang dikalangan non-Islam, tidak pernah memilliki landasan. Seperti itu juga maulid Nabi, shalawatan antara adzan dan iqamah dan lain sebagainya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah sebagaimana tuturkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah didalam al-Adzkar mengatakan :
“Imam asy-Syafi’i dan ashhabnya berkata : disunnahkan agar mereka membaca al-Qur’an disisinya (sisi kubur). Apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’an seluruhnya maka itu hasan (bagus)”. [2]
Menghidangkan Makanan
“disunnahkan bagi tetangga ahlul mayyit dan bagi kerabat-kerabatnya yang jauh walaupun penduduk yang bukan dari negeri mayyit (menyiapkan makanan yang mengeyangkan mereka) yakni ahlul mayyit yang dekat (pada siang dan malam hari) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, telah datang khabar pembunuhan Ja’far : hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sungguh telah datang sesuatu yang menyibukkan mereka”, at-Turmidzi telah menghasankannya dan al-Hakim menshahihkannya. Dan karena yang demikian itu mengandung kebaikan dan kearifan. Al-Isnawiy berkata : ibarat dengan siang dan malam adalah penjelasan apabila kematiannya pada awal malam, maka walaupun mati pada akhir malam maka diqiyaskan agar memasukkan pada malam yang kedua itu juga, terutama apabila mengakhirkan pemakaman di malam itu, dan dianjurkan agar ahlul mayyit dipaksa makan jika membutuhkannya (ketika lapar) agar tidak membuat mereka lemah, karena mungkin saja meninggalkannya ka rena malu atau karena perasaan sedih,.. dan haram ahlul mayyit memberi jamuan kepada wanita yang meratap dan menyebut-menyebut (wallahu a’lam), karena itu membantu kemashiatan, Imam ash-Shabbagh dan yang lainnya telah mengatakannya. Adapun ahlul mayyit mengurusi makanan dan seluruh manusia ( berkumpul) padanya maka itu bid’ah ghairu mustahab, Imam Ahmad dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata : “kami menganggap berkumpul dikediaman ahlul mayyit dan menghidangkan makanan untuk mereka adalah niyahah”.[3]
Faidah :
* Apabila ada kaum muslimin yang meninggal dunia, maka hendaknya membawakan makanan untuk keluarga mereka, sebab ini sunnah. Alhamdulillah, hal semacam ini telah menjadi kebiasaan masyarakat Islam, biasanya mereka membawa seperti beras, gula, uang dan sebagainya untuk ahlul mayyit.
* Ulama mengharamkan an-niyahah dan an-nadb, demikian juga menghidangkan makanan untuk wanita yang melakukan keduanya. Oleh karena itu apabila ada yang melakukan hal demikian, maka hendaknya dicegah dan dinasehati dengan halus.
* Ahlul mayyit (keluarga almarhum) tidak perlu mengurusi makanan (jamuan) untuk perkumpulan manusia, sebab itu dikhawatirkan akan menambah kesibukan mereka. Adapun jika hanya sekedarnya saja maka itu tidak apa-apa, siapa tahu ada diantara mereka yang datang kehausan, atau ada diantara mereka yang berasal dari daerah yang tidak dekat, dan lain sebagainya. Juga tidak apa-apa dalam rangka menghormati tamu yang hadir dan menshadaqahkan hartanya.
* Tidak semua bid’ah itu jatuh pada status hukum haram. Hal ini karena bid’ah sendiri itu bukan status hukum. Status hukum dalam Islam ada 5 yaitu wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Makanya, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut seperti yang dilakukan oleh orang jahil melainkan mereka menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, terkait selaras tidaknya dengan Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar. Sehingga nantinya akan terlihat status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah muharramah”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mubahah” jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mustahabbah” dan jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah wajibah”. Oleh karena itu, tidak semua bid’ah itu terkategori sesat, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya sehingga bid’ah yang selaras dengan sunnah maka itu mahmudah (bagus) sebaliknya yang tidak selaras maka itu madzmubah (buruk). Namun walaupun ada bid’ah yang terkategori sebagai bid’ah madzmumah, tetapi jika diklasifikasikan hukumnya, tidak serta merta jatuh pada status hukum haram, namun bisa saja hanya sebatas makruh. Misalnya seperti perkataan ‘ulama : “bid’ah munkarah yang makruh” dan lain sebagainya.
* Adapun terkait istilah “bid’ah ghairu mustahab” maka yang dimaksud antara mubah dan makruh, bukan haram (berdosa). Namun dalam hal diatas, adalah ibarat mushannif mengenai hukum makruh.
Wallahu A'lam.
ويقرأ) عنده من القرآن ما تيسر، وهو سنة في المقابر فإن الثواب للحاضرين والميت كحاضر يرجى له الرحمة، وفي ثواب القراءة للميت كلام يأتي إن شاء الله تعالى في الوصايا (ويدعو) له عقب القراءة رجاء الإجابة؛ لأن الدعاء ينفع الميت وهو عقب القراءة أقرب إلى الإجابة، وعند الدعاء يستقبل القبلة وإن قال الخراسانيون باستحباب استقبال وجه الميت. قال المصنف: ويستحب الإكثار من الزيارة، وأن يكثر الوقوف عند قبور أهل الخير والفضل
[2]. lihat : al-Adzkar
قال الشافعي والأصحاب: يُستحبّ أن يقرؤوا عنده شيئاً من القرآن، قالوا: فإن ختموا القرآن كلَّه كان حسناً
[3] (2/60)__
و) يسن (لجيران أهله) ولأقاربه الأباعد وإن كان الأهل بغير بلد الميت (تهيئة طعام يشبعهم) أي أهله الأقارب (يومهم وليلتهم) لقوله - صلى الله عليه وسلم - «لما جاء خبر قتل جعفر: اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم» حسنه الترمذي وصححه الحاكم، ولأنه بر ومعروف قال الإسنوي؛ والتعبير باليوم والليلة واضح إذا مات في أوائل الليل، فلو مات في أواخره فقياسه أن يضم إلى ذلك الليلة الثانية أيضا لا سيما إذا تأخر الدفن عن تلك الليلة (ويلح عليهم) ندبا (في الأكل) منه إن احتيج إليه لئلا يضعفوا، فربما تركوه استحياء أو لفرط الحزن، ولا بأس بالقسم إذا عرف الحالف أنهم يبرون قسمه. (ويحرم تهيئته للنائحات) والنادبات (والله أعلم) ؛ لأنها إعانة على معصية قال ابن الصباغ وغيره. أما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فبدعة غير مستحب، روى أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال: كنا نعد الاجتماع على أهل الميت وصنعهم الطعام النياحة
Tidak semua bid’ah itu jatuh pada status hukum haram. Hal ini karena bid’ah sendiri itu bukan status hukum. Status hukum dalam Islam ada 5 yaitu wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Makanya, apabila ada perkara yang ...oleh ulama dianggap bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut seperti yang dilakukan oleh orang jahil melainkan mereka menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, terkait selaras tidaknya dengan Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar. Sehingga nantinya akan terlihat status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah muharramah”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mubahah” jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah mustahabbah” dan jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah wajibah”. Oleh karena itu, tidak semua bid’ah itu terkategori sesat, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya sehingga bid’ah yang selaras dengan sunnah maka itu mahmudah (bagus) sebaliknya yang tidak selaras maka itu madzmubah (buruk). Namun walaupun ada bid’ah yang terkategori sebagai bid’ah madzmumah, tetapi jika diklasifikasikan hukumnya, tidak serta merta jatuh pada status hukum haram, namun bisa saja hanya sebatas makruh. Misalnya seperti perkataan ‘ulama : “bid’ah munkarah yang makruh” dan lain sebagainya.
Adapun terkait istilah “bid’ah ghairu mustahab” maka yang dimaksud antara mubah dan makruh, bukan haram (berdosa). Namun dalam hal diatas, adalah ibarat mushannif mengenai hukum makruh.
"Ya Allah, aku berlindung kpd-Mu dari azab jahannam, & azab kubur, & fitnah kehidupan & kematian & dari jahatnya fitnah Al-Masih Ad-Dajjal" (HR Muslim)
Kisah orang soleh Nabi Khidir AS
Ketika Nabi Musa AS berkhutbah kepada kaumnya agar ta’at kepada ALLAH. Maka seorang lelaki bertanya : “Siapakah di antara orang-orang ini yang paling pandai ?”, Musa menjawab : “Saya”. Maka ALLAH mencela Musa, karena ia tidak mengatakan ilmu itu dari ALLAH semata-mata, lalu ALLAH berfirman : “Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba di tepi laut yang lebih pandai darimu. Dan untuk menemuinya, kamu ambil seekor ikan kecil dan letakkan di dalam keranjang, maka di manapun kamu kehilangan ikan itu, maka disitulah ia berada”. Kemudian Musa pergi bersama seorang pengikutnya sambil membawa ikan. Ketika Nabi Musa AS tidur beristirahat di tempat pertemuan antara dua laut, maka turunlah hujan, sehingga ikan itu melompat. Bangunlah Nabi Musa AS dan melanjutkan perjalanan, namun budaknya lupa memberitahu bahwa ikan itu hilang. Saat itu Musa AS merasa lapar, dan budaknya teringat akan ikan yang hilang, maka setelah dilaporkan, Musa sangat senang dan berkata “Inilah yang kita cari, mari kita kembali ke tempat di mana ikan itu hilang”. Maka sebelum sampai di tempat yang dituju, Nabi Musa AS bertemu dengan Nabi Khidir AS (orang soleh yang dijanjikan ALLAH kepada Musa). Maka Nabi Musa minta kepada Khidir untuk menemaninya agar dapat menambah ilmu darinya. Namun Khidir AS menjawab bahwa Musa AS tidak akan bisa bersabar jika ia ikut dengannya. Maka Musa AS menjawab “Insya ALLAH aku akan bersabar atas tindakan-tindakanmu dan aku tidak akan menentang urusanmu”. Lalu Khidir AS berkata : “Jika kamu mengikutiku maka aku syaratkan kamu tidak bertanya atas apa yang aku lakukan, karena pada akhirnya aku akan menerangkan rahasia dan sebabnya”. Maka pergilah Musa dan Khidir AS menyusuri tepi laut, ketika itu mereka melihat sebuah kapal dan menumpang kapal itu. Di pertengahan jalan diam-diam Khidir AS melubangi sedikit kapal itu, sehingga Musa AS merasa ngeri melihat perbuatan Khidir tersebut dan berkata “Kenapa kamu merusak kapal yang orang yang telah memberi tumpangan kepada kita ?, kamu telah melakukan perbuatan tercela”. Namun Khidir AS hanya mengingatkan Nabi Musa AS akan perjanjian sebelumnya, maka Musa AS sadar dan minta maaf atas kelupaannya itu. kemudian keduanya meneruskan perjalanan dan bertemu dengan seorang anak kecil sedang bermain dengan teman-temannya. Maka Khidir AS memanggil anak itu dan langsung membunuhnya. Namun Nabi Musa AS marah dan berkata “Kenapa kamu membunuh anak kecil tak berdosa ? kamu telah melakukan perbuatan tercela”. Maka Nabi Khidir AS kembali menegur “Bukankah telah kukatakan kepadamu bahwa kamu tidak akan sabar atas perbuatanku”. Maka Nabi Musa AS sadar dan menyesal “Jika aku bertanya kepadamu lagi setelah ini, maka sudah cukup bagiku untuk berpisah denganmu”. Kemudian diteruskan perjalanan sehingga mereka merasa lelah dan lapar, maka masuklah mereka ke suatu desa dan minta makanan dari pintu ke pintu di desa itu, namun semuanya menolak dengan kasar. Kemudian ketika akan keluar dari desa itu, mereka melihat rumah yang dindingnya hampir roboh, maka Nabi Khidir memperbaiki dinding itu. Tapi sekali lagi Nabi Musa keberatan atas tindakan itu “Kenapa kamu menolong orang yang jelas-jelas telah mengusir kita, dengan memperbaiki dinding itu?. Kalau kamu mau, seharusnya kamu minta upah atas pekerjaan kamu ini untuk beli makanan”. Maka dengan sanggahan Nabi Musa ini berakhirlah pertemuan Musa AS dengan Khidir AS. Namun sebelumnya Nabi Khidir menjelaskan semua yang telah dilakukannya : “Adapun kapal tersebut milik orang miskin yang hanya memiliki harta kapal itu satu-satunya, dan aku telah mengetahui ada seorang raja yang akan merampas setiap kapal yang bagus dari pemiliknya, maka aku merusak kapal itu sedikit agar nanti tidak diambil oleh raja, dan lubang kapal itupun nantinya dapat ditutup kembali oleh pemiliknya. Adapun mengenai anak kecil, ia adalah anak yang sudah terlihat tanda-tanda kerusakan sejak kecilnya, sedangkan kedua orang tuanya telah beriman kepada ALLAH dan sangat soleh, mereka sangat sayang kepada anaknya itu, maka aku khawatir rasa sayang kedua orang tua itu akan menjerumuskan mereka kepada kekafiran, sehingga aku membunuh anak itu untuk menyelamatkan keimanan kedua orang tuanya, dan semoga ALLAH menggantinya dengan anak yang lebih baik kepada mereka. Adapun dinding yang aku perbaiki adalah milik dua anak yatim di desa itu, yang di bawahnya terpendam harta mereka, dan ayah mereka termasuk orang soleh, maka ALLAH ingin menjaga harta anak yatim itu sampai mereka dewasa dan mengeluarkannya. Semua yang aku lakukan itu bukanlah usahaku, melainkan wahyu dari ALLAH, inilah keterangan dari kejadian yang membuat kamu tidak sabar”.
http://apresiasi-rofiuddin.blogspot.com/2009/12/kisah-orang-soleh-nabi-khidir-as.html
http://apresiasi-rofiuddin.blogspot.com/2009/12/kisah-orang-soleh-nabi-khidir-as.html
Arti Cinta Dalam Islam
oleh Muhammad Iqbal Al-abror
Kata pujangga, cinta letaknya di hati. Meskipun tersembunyi, namun getarannya tampak sekali. Ia mampu mempengaruhi pikiran sekaligus mengendalikan tindakan. Sungguh, Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta (Jalaluddin Rumi).
Namun hati-hati juga dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya menjadi miskin, raja menjadi budak, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta palsu. Cinta yang tidak dilandasi kepada Allah. Itulah para pecinta dunia, harta dan wanita. Dia lupa akan cinta Allah, cinta yang begitu agung, cinta yang murni.
Cinta Allah cinta yang tak bertepi. Jikalau sudah mendapatkan cinta-Nya, dan manisnya bercinta dengan Allah, tak ada lagi keluhan, tak ada lagi tubuh lesu, tak ada tatapan kuyu. Yang ada adalah tatapan optimis menghadapi segala cobaan, dan rintangan dalam hidup ini. Tubuh yang kuat dalam beribadah dan melangkah menggapai cita-cita tertinggi yakni syahid di jalan-Nya.
Tak jarang orang mengaku mencintai Allah, dan sering orang mengatakan mencitai Rasulullah, tapi bagaimana mungkin semua itu diterima Allah tanpa ada bukti yang diberikan, sebagaimana seorang arjuna yang mengembara, menyebarangi lautan yang luas, dan mendaki puncak gunung yang tinggi demi mendapatkan cinta seorang wanita. Bagaimana mungkin menggapai cinta Allah, tapi dalam pikirannya selalu dibayang-bayangi oleh wanita/pria yang dicintai. Tak mungkin dalam satu hati dipenuhi oleh dua cinta. Salah satunya pasti menolak, kecuali cinta yang dilandasi oleh cinta pada-Nya.
Di saat Allah menguji cintanya, dengan memisahkanya dari apa yang membuat dia lalai dalam mengingat Allah, sering orang tak bisa menerimanya. Di saat Allah memisahkan seorang gadis dari calon suaminya, tak jarang gadis itu langsung lemah dan terbaring sakit. Di saat seorang suami yang istrinya dipanggil menghadap Ilahi, sang suami pun tak punya gairah dalam hidup. Di saat harta yang dimiliki hangus terbakar, banyak orang yang hijrah kerumah sakit jiwa, semua ini adalah bentuk ujian dari Allah, karena Allah ingin melihat seberapa dalam cinta hamba-Nya pada-Nya. Allah menginginkan bukti, namun sering orang pun tak berdaya membuktikannya, justru sering berguguran cintanya pada Allah, disaat Allah menarik secuil nikmat yang dicurahkan-Nya.
Itu semua adalah bentuk cinta palsu, dan cinta semu dari seorang makhluk terhadap Khaliknya. Padahal semuanya sudah diatur oleh Allah, rezki, maut, jodoh, dan langkah kita, itu semuanya sudah ada suratannya dari Allah, tinggal bagi kita mengupayakan untuk menjemputnya. Amat merugi manusia yang hanya dilelahkan oleh cinta dunia, mengejar cinta makhluk, memburu harta dengan segala cara, dan enggan menolong orang yang papah. Padahal nasib di akhirat nanti adalah ditentukan oleh dirinya ketika hidup didunia, Bersungguh-sungguh mencintai Allah, ataukah terlena oleh dunia yang fana ini. Jika cinta kepada selain Allah, melebihi cinta pada Allah, merupakan salah satu penyebab do’a tak terijabah.
Bagaimana mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba yang merintih menengadah kepada Allah di malam hari, namun ketika siang muncul, dia pun melakukan maksiat.
Bagaimana mungkin do’a seorang gadis ingin mendapatkan seorang laki-laki sholeh terkabulkan, sedang dirinya sendiri belum sholehah.
Bagaimana mungkin do’a seorang hamba yang mendambakan rumah tangga sakinah, sedang dirinya masih diliputi oleh keegoisan sebagai pemimpin rumah tangga..
Bagaimana mungkin seorang ibu mendambakan anak-anak yang sholeh, sementara dirinya disibukkan bekerja di luar rumah sehingga pendidikan anak terabaikan, dan kasih sayang tak dicurahkan.
Bagaimana mungkin keinginan akan bangsa yang bermartabat dapat terwujud, sedangkan diri pribadi belum bisa menjadi contoh teladan
Banyak orang mengaku cinta pada Allah dan Allah hendak menguji cintanya itu. Namun sering orang gagal membuktikan cintanya pada sang Khaliq, karena disebabkan secuil musibah yang ditimpakan padanya. Yakinlah wahai saudaraku kesenangan dan kesusahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada hambanya yang beriman…
Dengan kesusahan, Allah hendak memberikan tarbiyah terhadap ruhiyah kita, agar kita sadar bahwa kita sebagai makhluk adalah bersifat lemah, kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas izin-Nya. Saat ini tinggal bagi kita membuktikan, dan berjuang keras untuk memperlihatkan cinta kita pada Allah, agar kita terhindar dari cinta palsu.
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang betul-betul berkorban untuk Allah Untuk membuktikan cinta kita pada Allah, ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan yaitu:
1) Iman yang kuat
2) Ikhlas dalam beramal
3) Mempersiapkan kebaikan Internal dan eksternal. kebaikan internal yaitu berupaya keras untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunah. Seperti qiyamulail, shaum sunnah, bacaan Al-qur’an dan haus akan ilmu. Sedangkan kebaikan eksternal adalah buah dari ibadah yang kita lakukan pada Allah, dengan keistiqamahan mengaplikasikannya dalam setiap langkah, dan tarikan nafas disepanjang hidup ini. Dengan demikian InsyaAllah kita akan menggapai cinta dan keridhaan-Nya.
Kata pujangga, cinta letaknya di hati. Meskipun tersembunyi, namun getarannya tampak sekali. Ia mampu mempengaruhi pikiran sekaligus mengendalikan tindakan. Sungguh, Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta (Jalaluddin Rumi).
Namun hati-hati juga dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya menjadi miskin, raja menjadi budak, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta palsu. Cinta yang tidak dilandasi kepada Allah. Itulah para pecinta dunia, harta dan wanita. Dia lupa akan cinta Allah, cinta yang begitu agung, cinta yang murni.
Cinta Allah cinta yang tak bertepi. Jikalau sudah mendapatkan cinta-Nya, dan manisnya bercinta dengan Allah, tak ada lagi keluhan, tak ada lagi tubuh lesu, tak ada tatapan kuyu. Yang ada adalah tatapan optimis menghadapi segala cobaan, dan rintangan dalam hidup ini. Tubuh yang kuat dalam beribadah dan melangkah menggapai cita-cita tertinggi yakni syahid di jalan-Nya.
Tak jarang orang mengaku mencintai Allah, dan sering orang mengatakan mencitai Rasulullah, tapi bagaimana mungkin semua itu diterima Allah tanpa ada bukti yang diberikan, sebagaimana seorang arjuna yang mengembara, menyebarangi lautan yang luas, dan mendaki puncak gunung yang tinggi demi mendapatkan cinta seorang wanita. Bagaimana mungkin menggapai cinta Allah, tapi dalam pikirannya selalu dibayang-bayangi oleh wanita/pria yang dicintai. Tak mungkin dalam satu hati dipenuhi oleh dua cinta. Salah satunya pasti menolak, kecuali cinta yang dilandasi oleh cinta pada-Nya.
Di saat Allah menguji cintanya, dengan memisahkanya dari apa yang membuat dia lalai dalam mengingat Allah, sering orang tak bisa menerimanya. Di saat Allah memisahkan seorang gadis dari calon suaminya, tak jarang gadis itu langsung lemah dan terbaring sakit. Di saat seorang suami yang istrinya dipanggil menghadap Ilahi, sang suami pun tak punya gairah dalam hidup. Di saat harta yang dimiliki hangus terbakar, banyak orang yang hijrah kerumah sakit jiwa, semua ini adalah bentuk ujian dari Allah, karena Allah ingin melihat seberapa dalam cinta hamba-Nya pada-Nya. Allah menginginkan bukti, namun sering orang pun tak berdaya membuktikannya, justru sering berguguran cintanya pada Allah, disaat Allah menarik secuil nikmat yang dicurahkan-Nya.
Itu semua adalah bentuk cinta palsu, dan cinta semu dari seorang makhluk terhadap Khaliknya. Padahal semuanya sudah diatur oleh Allah, rezki, maut, jodoh, dan langkah kita, itu semuanya sudah ada suratannya dari Allah, tinggal bagi kita mengupayakan untuk menjemputnya. Amat merugi manusia yang hanya dilelahkan oleh cinta dunia, mengejar cinta makhluk, memburu harta dengan segala cara, dan enggan menolong orang yang papah. Padahal nasib di akhirat nanti adalah ditentukan oleh dirinya ketika hidup didunia, Bersungguh-sungguh mencintai Allah, ataukah terlena oleh dunia yang fana ini. Jika cinta kepada selain Allah, melebihi cinta pada Allah, merupakan salah satu penyebab do’a tak terijabah.
Bagaimana mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba yang merintih menengadah kepada Allah di malam hari, namun ketika siang muncul, dia pun melakukan maksiat.
Bagaimana mungkin do’a seorang gadis ingin mendapatkan seorang laki-laki sholeh terkabulkan, sedang dirinya sendiri belum sholehah.
Bagaimana mungkin do’a seorang hamba yang mendambakan rumah tangga sakinah, sedang dirinya masih diliputi oleh keegoisan sebagai pemimpin rumah tangga..
Bagaimana mungkin seorang ibu mendambakan anak-anak yang sholeh, sementara dirinya disibukkan bekerja di luar rumah sehingga pendidikan anak terabaikan, dan kasih sayang tak dicurahkan.
Bagaimana mungkin keinginan akan bangsa yang bermartabat dapat terwujud, sedangkan diri pribadi belum bisa menjadi contoh teladan
Banyak orang mengaku cinta pada Allah dan Allah hendak menguji cintanya itu. Namun sering orang gagal membuktikan cintanya pada sang Khaliq, karena disebabkan secuil musibah yang ditimpakan padanya. Yakinlah wahai saudaraku kesenangan dan kesusahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada hambanya yang beriman…
Dengan kesusahan, Allah hendak memberikan tarbiyah terhadap ruhiyah kita, agar kita sadar bahwa kita sebagai makhluk adalah bersifat lemah, kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas izin-Nya. Saat ini tinggal bagi kita membuktikan, dan berjuang keras untuk memperlihatkan cinta kita pada Allah, agar kita terhindar dari cinta palsu.
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang betul-betul berkorban untuk Allah Untuk membuktikan cinta kita pada Allah, ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan yaitu:
1) Iman yang kuat
2) Ikhlas dalam beramal
3) Mempersiapkan kebaikan Internal dan eksternal. kebaikan internal yaitu berupaya keras untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunah. Seperti qiyamulail, shaum sunnah, bacaan Al-qur’an dan haus akan ilmu. Sedangkan kebaikan eksternal adalah buah dari ibadah yang kita lakukan pada Allah, dengan keistiqamahan mengaplikasikannya dalam setiap langkah, dan tarikan nafas disepanjang hidup ini. Dengan demikian InsyaAllah kita akan menggapai cinta dan keridhaan-Nya.
Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan [Bag. IV]
oleh Sutarom 'Tarom' pada 07 Maret 2011
عوذ بالله من الشيطان الرجيم
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
لحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد, فيا عباد الله اوصيكم ونفسي الخاطئة المذنبة بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون. وقال الله تعالى في محكم التنزيل بعد أعوذ بالله من الشيطان الرجيم :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (ال عمران : 102)
..
Marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan...
Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam
Al-Qur’an :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad Saw). Wahai orang-orang beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad) Saw. (Al-Ahzab : 56)
Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan [Bag. IV]
Hari Pada Tahlilan Adalah Boleh Dalam Berbagai Tinjauan Hukum
Ini juga sering dipermasalahan oleh kalangan ahli-ahli bicara yaitu tentang tahlilan 7 hari, 40 hari, 100 hari, tahunan dan seribu harinya, tiap hari, sepekan sekali atau lain sebagainya. Padahal, kesemuanya itu tidak ada dalil yang melarangnya. Ada banyak tinjauan hukum yang membenarkan hal ini didalam tahlilan disamping tidak ada dalil larangannya
Pertama, dilihat dari aspek kebiasaan masyarakat.
‘Ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia sangat bijaksana dan luas keilmuannya dalam memahami syariat , termasuk mendudukan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, tahlilan dipergunakan oleh ulama sebagai salah satu sarana syiar agama Islam dengan masuk pada ranah adat (kebiasaan), namun bukan pada ranah ibadah masyarakat pada masa itu. Sebagian ahli bicara mengatakan tahlilan yang dilakukan kaum Muslimin saat ini adalah sesat, perkataan mereka ini sangatlah tercela sebab sama saja mengatakan ulama (wali songo) telah menyebarkan kesesatan atau mengajarkan kesesatan. Kemudian para ahli bicara akan berdalih bahwa itu bagian dari tahap dakwah wali songo yang belum tuntas yaitu menurut mereka wali songo (ulama) sesuatu saat akan menghapus tahlilan, namun karena mereka telah wafat maka tidak sempat menghapusnya. Sungguh, ini perkataan yang juga sama tercelanya, sebab itu sama saja mengganggap ulama tidak memiliki ketegasan dalam mendakwahkan Islam atau ulama telah mempergunakan cara yang sesat (haram) dalam menyebarkan Islam. Sedangkan tujuan yang baik tidak akan tercapai dengan cara-cara yang haram (cara yang sesat).
Pada saat ulama menyebarkan Islam di Indonesia, di wilayah Indonesia sudah ada kebiasaan (adat) yang isinya adalah ibadah (non-Islam) yang bertentangan dengan syariat Islam. Kebiasaan (adat) ini sudah mengakar dimasyarakat disaat itu, artinya telah menjadi adat masyarakat. Oleh karenanya, ulama yang mendakwah Islam kemudian mengubah hal-hal yang bertentangan dengan syara’ (yaitu yang berisi kemusyrikan) dengan menggantinya berupa amalan-amalan Islami seperti do’a, permohonan ampun (istighfar), pembacaan al-Qur’an dan dzikir-dzikir lainnya, tanpa mengubah kebiasaan (adat) yang tidak bertentangan dengan syariat. Tentunya semua itu bukan tanpa pertimbangan dengan syariat Islam, bahkan hal itu sudah dipertimbangan dan dipantau dengan kaca masa syariat Islam oleh para ulama dengan sangat bijaksana.
Kalau kita mengkaji, apa yang menjadi pertimbangan dan kebijaksaan ulama lebih mendapat maka kita akan menemukan banyak hal yang membenarkan hal itu, sebab adat (kebiasaan) itu hukumnya boleh dalam syariat Islam.
Oleh karena, diambilnya kebiasaan 7 harian, 40 hari, 100 hari, dan sebagainya adalah boleh, karena hanya sebuah sebuah adat (kebiasaan) semata dan tidak ada dalil yang melarangnya. Adapun isinya adalah amalan-amalan masyru’ yang memang dianjurkan didalam syariat Islam.
Seperti itulah kebijaksaan ulama dan thariqah dakwah ulama dalam menyebarkan syariat Islam, yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syariat , dan ini sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika mengganti kebiasaan jahiliyah, yang mana beliau hanya mengganti hal yang bertentangan semata, ini disebutkan dalam as-Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqiy asy-Syafi’i,
كنا في الجاهلية إذا ولد لاحدنا غلام ذبح شاة ولطخ رأسه بدمها فلما جاء الله بالاسلام كنا نذبح شاة ونحلق رأسه ونلطخه بزعفران
“Ketika kami (para sahabat) masih dalam keadaan jahiliyyah, apabila salah seorang diantara kami melahirkan bayi maka kami menyembelih seorang kambing dan melumuri kepalanya (bayi) dengan darah kambing, kemudian Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih seorang kambing, mencukur rambut bayi kami dan melumurinya dengan minyak za’faran”.[2]
Kedua, dilihat dari aspek kesesuaian dengan hadits.
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam az-Zuhd dan al-Hafidz Abu Nu’aim didalam al-Hilyah tentang anjuran memberi makan setelah kematian ;
قال الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه في كتاب الزهد له حدثنا هاشم بن القاسم قال ثنا الاشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام. قال الحافظ أبو نعيم في الحلية حدثنا أبو بكر بن مالك ثنا عبد الله بن أحمد ابن حنبل ثنا أبي ثنا هاشم بن القاسم ثنا الأشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام.
“Imam Ahmad bin Hanbal radliyallahu ‘anh berkata : “Menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, ia berkata, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy dari Sufyan, ia berkata : Thawus berkata, “sesungguhnya orang mati terfitnah (ditanya malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka mengajurkan supaya memberikan makanan (yang pahala) untuk mereka pada hari-hari tersebut”. Al-Hafidz Abu Nu’aim berkata : “Menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdulllah bin Ahmad Ibnu Hanbal, menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy dari Sufyan, ia berkata, Thawus berkata : sesungguhnya orang mati terfitnah didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka menganjurkan agar dibuatkan makanan yang pahalanya untuk mereka pada hari-hari tersebut”. [3]
Hadits lain yang bersesuaian sebagai pendukung hadits diatas,
قال ابن جريج في مصنفه عن الحارث ابن أبي الحارث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا، وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا.
“Ibnu Juraij didalam mushnafnya berkata, dari al-Harits Ibnu Abi al-Harits dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata ; dua laki-laki terfitnah yakni mukmin dan munafik, adapun orang mukmin terfitnah selama 7 hari, sedangkan orang munafik terfitnah selama 40 hari”. [4]
Pada hadits diatas, frasa “kanu yastahibbuna (mereka menganjurkan)”, ini bagian dari perkataan tabi’in yang mereka melakukannya, dan menurut ahli hadits dan ushul terdapat dua qaul ; mereka adalah para sahabat yang mengerjakannya pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, Rasulullah mengetahuinya dan taqrir terhadap kejadian ini, atau mereka yang dimaksud adlah para sahabat saja dan masyhur diantara mereka namun tidak sampai pada Rasulullah. Perselisihan terhadap khabar ini adalah mengenai apakah itu khabar dari seluruh sahabat (dinukil berdasarkan ijma’) atau sebagian shahabat saja, namun keduanya sama-sama sah. Bahkan dikatakan bahwa itu menunjukkan perbuatan seluruh umat, mereka mengerjakannya dan tidak mengingkarinya. Hukum syara’ dalam hadits ini menunjukkan anjuran (kesunnahan) bershadaqah dan memberikan makan yang pahalanya untuk mayyit pada masa 7 hari tersebut. [5]
Lebih jauh lagi, al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy menuturkan ;
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini, dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]
Imam al-Hafidz al-Kabir Ibnu Asakir didalam kitabnya Tabyin Kidzb al-Muftariy Fiymaa Nusiba Ilaa al-Imam Abul Hasal al-Asy’ariy menurutkan,
“Aku mendengar asy-Syaikh al-Faqih Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bin Abdul Qawiy al-Mashishiy mengatakan : “Telah wafat asy-Syaikh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisiy pada hari selasa 9 Muharram 490 Hijriyah di Damaskus, dan kami menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 malam, kami membaca al-Qur’an setiap malam dengan 20 kali khatam”. [7]
Dalam tahlilan yang dilakukan selama 7 hari pun berkesuaian dengan riwayat diatas, meskipun memberikan makan tidak hanya dilakukan dalam bentuk tahlilan namun boleh dengan yang lainnya. Riwayat ini sekaligus membantah klaim-klaim ahli bicara yang menyesatkan tahlilan 7 hari, bahkan amalan seperti ini masyhur, telah dilakukan sejak dahulu (salafush shaleh).
Dalam Nihayatuz Zain disebutkan :
“Memberi shadaqah yang pahalanya untuk mayyit berdasarkan pandangan syariat adalah dianjurkan namun tidak terikat dengan masa 7 hari baik lebih dari tujuh hari atau kurang dari tujuh hari, keterikatannya dengan sebagain hari hanya bagian kebiasaan-kebiasaan (adat istiadat) semata sebagaimana yang telah difatwakan tentang hal itu oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan sungguh telah menjadi kebiasaan manusia bershadaqah yang pahalanya untuk mayyit pada hari ke 3 dari wafatnya, 7 hari, 20 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya apa yang dilakukan setiap tahunnya (haul) pada hari wafatnya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikhuna Yusuf as-Sanbulawainiy. Adapun acara makan-makan yang masyarakat berkumpul disana pada malam hari ketika prosesi pemakaman yang dikenal dengan al-Wahsyah (berduka cita) maka itu makruh selama tidak ada harta anak yatim kecuali ada (harta anak yatim) maka itu haram, sebagaimana telah didalam kitab Kasyfu al-Litsam”.[8]
Syaikh an-Nawawi al-Bantaniy (beliau dijuluki sayyid Ulama Hijaz juga Imam an-Nawawi kedua) juga menuturkan bahwa itu hanya adat (kebiasaan) semata, artinya hal itu boleh. Dan shadaqahnya adalah sebuah anjuran (hukumnya sunnah).
Adapun yang kadang diselewengkan oleh ahli-ahli bicara yaitu tentang apa yang dihukumi makruh oleh Syaikh an-Nawawi. Untuk mengaburkannya, biasanya ahli-ahli bicara menyelewengkannya dengan mengatakan “dibenci”. Maka benar-benar menjadi kabur (tidak jelas) status hukum yang telah dikatakan Syaikh an-Nawawi dan terpenuhilah hawa nafsu mereka yaitu mengharamkan tahlilan. Padahal makruh yang dimakrudkan adalah ghairu mustahibbah[9] sebagaimana banyak dijelaskan ‘Ulama.
Kemudian, perihal hari-hari berikutnya, seperti 40 hari, 100 hari, setiap jum’at (sepekan sekali) dan sebagainya adalah terkait dengan kebiasaan yang hukumnya boleh sebagaimana penjelasan sebelumnya, dan pada penjelasan yang berikutnya.
Ketiga, kebolehan pengkhususan hari
Penentuan 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, setiap hari, sepekan sekali, tahunan atau lain sebagainya, juga bisa di pandangs sebagai bentuk pengkhususan hari untuk beramal shaleh, yaitu amal yang tidak memiliki keterikatan waktu dan rukun seperti shalat, puasa atau sejenisnya. Seperti pembacaan al-Qur’an, maka boleh mengkhususkan atau menentukan hari dalam menghatamkannya, misalnya melakukan tiap hari dan jumlah ayat yang dibaca di tentukan dan terus berkelanjutan hingga khatam, ini untuk keistiqamahan dan kemudahan. Atau seminggu sekali dalam mengkhatamkannya. Amalan seperti ini tidak memiliki keterikakan waktu maka boleh dibaca pada hari-hari apa saja atau menentukan harinya.
Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya, sebab pengkhususan hari-hari tertentu dalam melakukan amal-amal kebaikan adalah boleh. al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari hadits al-Bukhari no. 1118, sebagai berikut ;
“Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan) melakukannya”. [10]
Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya, wallahu a’lam.
Demikianlah beberapa penjelasan terkait dengan tahlilan, semoga apa yang telah disampaikan bermanfaat bagi kaum Muslimin dan bijaksana dalam menyikapi hal serta senantiasa berpegang teguh pada yang haq. Selesai !!
Catatan Kaki :
[1] Lihat ; Fiqh ad-Da’wah fiy Shahih al-Imam al-Bukhari (3/500) ; al-Fatawa al-Kubra (5/280) ;
[2] Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqiy asy-Syafi’i (9/303) ; Sunan Abi Daud no. 2460, hadits ini tidak beliau komentari, yang artinya boleh digunakan ; Musnad al-Jami’ (1876) ; Tuhfatul Ahwadiy (4/167), dikatakan “wal haditsu sakata ‘anhu Abu Daud” ; Asnal Mathalib (7/43), dikatakan diriwayatkan oleh Imam Hakim kemudian menshahihkannya ; dan lain-lain.
[3] Lihat : al-Hawi al-Fatawi lil-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy (2/164), sanadnya shahih dan Thawus adalah pembesar tabi’in. Hadits ini diriwayatkan dan tidak mungkin sebuah pendapat, adapun hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, juga sah dijadikan hujjah ; ad-Darul Mantsur lil-Hafidz as-Suyuthiy (6/61) ; Syarah Sunan an-Nasaa’i no. 2035 ;
[4] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/164) ; ad-Dural Mantsur (6/61) ; Mushnaf Abdurrazaq (3/590) ;
[5] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/169) ;
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) ;
[7] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) ;
[8] Nihayatuz Zain li-Syaikh an-Nawawi al-Bantaniy asy-Syafii’i.
[9] Lihat : Hawasyi asy-Syarwaniy (2/207) ; Tuhfatul Muhtaj (11/375); dan yang lainnya.
[10] Lihat : Fathul Bari syarah Shahih Bukhari (4/197).
إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْيَقُولُ
اللهم إني أعوذبك بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
"Ya Allah, aku berlindung kpd-Mu dari azab jahannam, & azab kubur, & fitnah kehidupan & kematian & dari jahatnya fitnah Al-Masih Ad-Dajjal" (HR Muslim
عوذ بالله من الشيطان الرجيم
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
لحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد, فيا عباد الله اوصيكم ونفسي الخاطئة المذنبة بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون. وقال الله تعالى في محكم التنزيل بعد أعوذ بالله من الشيطان الرجيم :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (ال عمران : 102)
..
Marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan...
Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam
Al-Qur’an :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad Saw). Wahai orang-orang beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad) Saw. (Al-Ahzab : 56)
Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan [Bag. IV]
Hari Pada Tahlilan Adalah Boleh Dalam Berbagai Tinjauan Hukum
Ini juga sering dipermasalahan oleh kalangan ahli-ahli bicara yaitu tentang tahlilan 7 hari, 40 hari, 100 hari, tahunan dan seribu harinya, tiap hari, sepekan sekali atau lain sebagainya. Padahal, kesemuanya itu tidak ada dalil yang melarangnya. Ada banyak tinjauan hukum yang membenarkan hal ini didalam tahlilan disamping tidak ada dalil larangannya
Pertama, dilihat dari aspek kebiasaan masyarakat.
‘Ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia sangat bijaksana dan luas keilmuannya dalam memahami syariat , termasuk mendudukan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, tahlilan dipergunakan oleh ulama sebagai salah satu sarana syiar agama Islam dengan masuk pada ranah adat (kebiasaan), namun bukan pada ranah ibadah masyarakat pada masa itu. Sebagian ahli bicara mengatakan tahlilan yang dilakukan kaum Muslimin saat ini adalah sesat, perkataan mereka ini sangatlah tercela sebab sama saja mengatakan ulama (wali songo) telah menyebarkan kesesatan atau mengajarkan kesesatan. Kemudian para ahli bicara akan berdalih bahwa itu bagian dari tahap dakwah wali songo yang belum tuntas yaitu menurut mereka wali songo (ulama) sesuatu saat akan menghapus tahlilan, namun karena mereka telah wafat maka tidak sempat menghapusnya. Sungguh, ini perkataan yang juga sama tercelanya, sebab itu sama saja mengganggap ulama tidak memiliki ketegasan dalam mendakwahkan Islam atau ulama telah mempergunakan cara yang sesat (haram) dalam menyebarkan Islam. Sedangkan tujuan yang baik tidak akan tercapai dengan cara-cara yang haram (cara yang sesat).
Pada saat ulama menyebarkan Islam di Indonesia, di wilayah Indonesia sudah ada kebiasaan (adat) yang isinya adalah ibadah (non-Islam) yang bertentangan dengan syariat Islam. Kebiasaan (adat) ini sudah mengakar dimasyarakat disaat itu, artinya telah menjadi adat masyarakat. Oleh karenanya, ulama yang mendakwah Islam kemudian mengubah hal-hal yang bertentangan dengan syara’ (yaitu yang berisi kemusyrikan) dengan menggantinya berupa amalan-amalan Islami seperti do’a, permohonan ampun (istighfar), pembacaan al-Qur’an dan dzikir-dzikir lainnya, tanpa mengubah kebiasaan (adat) yang tidak bertentangan dengan syariat. Tentunya semua itu bukan tanpa pertimbangan dengan syariat Islam, bahkan hal itu sudah dipertimbangan dan dipantau dengan kaca masa syariat Islam oleh para ulama dengan sangat bijaksana.
Kalau kita mengkaji, apa yang menjadi pertimbangan dan kebijaksaan ulama lebih mendapat maka kita akan menemukan banyak hal yang membenarkan hal itu, sebab adat (kebiasaan) itu hukumnya boleh dalam syariat Islam.
Oleh karena, diambilnya kebiasaan 7 harian, 40 hari, 100 hari, dan sebagainya adalah boleh, karena hanya sebuah sebuah adat (kebiasaan) semata dan tidak ada dalil yang melarangnya. Adapun isinya adalah amalan-amalan masyru’ yang memang dianjurkan didalam syariat Islam.
Seperti itulah kebijaksaan ulama dan thariqah dakwah ulama dalam menyebarkan syariat Islam, yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syariat , dan ini sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika mengganti kebiasaan jahiliyah, yang mana beliau hanya mengganti hal yang bertentangan semata, ini disebutkan dalam as-Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqiy asy-Syafi’i,
كنا في الجاهلية إذا ولد لاحدنا غلام ذبح شاة ولطخ رأسه بدمها فلما جاء الله بالاسلام كنا نذبح شاة ونحلق رأسه ونلطخه بزعفران
“Ketika kami (para sahabat) masih dalam keadaan jahiliyyah, apabila salah seorang diantara kami melahirkan bayi maka kami menyembelih seorang kambing dan melumuri kepalanya (bayi) dengan darah kambing, kemudian Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih seorang kambing, mencukur rambut bayi kami dan melumurinya dengan minyak za’faran”.[2]
Kedua, dilihat dari aspek kesesuaian dengan hadits.
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam az-Zuhd dan al-Hafidz Abu Nu’aim didalam al-Hilyah tentang anjuran memberi makan setelah kematian ;
قال الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه في كتاب الزهد له حدثنا هاشم بن القاسم قال ثنا الاشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام. قال الحافظ أبو نعيم في الحلية حدثنا أبو بكر بن مالك ثنا عبد الله بن أحمد ابن حنبل ثنا أبي ثنا هاشم بن القاسم ثنا الأشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام.
“Imam Ahmad bin Hanbal radliyallahu ‘anh berkata : “Menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, ia berkata, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy dari Sufyan, ia berkata : Thawus berkata, “sesungguhnya orang mati terfitnah (ditanya malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka mengajurkan supaya memberikan makanan (yang pahala) untuk mereka pada hari-hari tersebut”. Al-Hafidz Abu Nu’aim berkata : “Menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdulllah bin Ahmad Ibnu Hanbal, menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy dari Sufyan, ia berkata, Thawus berkata : sesungguhnya orang mati terfitnah didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka menganjurkan agar dibuatkan makanan yang pahalanya untuk mereka pada hari-hari tersebut”. [3]
Hadits lain yang bersesuaian sebagai pendukung hadits diatas,
قال ابن جريج في مصنفه عن الحارث ابن أبي الحارث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا، وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا.
“Ibnu Juraij didalam mushnafnya berkata, dari al-Harits Ibnu Abi al-Harits dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata ; dua laki-laki terfitnah yakni mukmin dan munafik, adapun orang mukmin terfitnah selama 7 hari, sedangkan orang munafik terfitnah selama 40 hari”. [4]
Pada hadits diatas, frasa “kanu yastahibbuna (mereka menganjurkan)”, ini bagian dari perkataan tabi’in yang mereka melakukannya, dan menurut ahli hadits dan ushul terdapat dua qaul ; mereka adalah para sahabat yang mengerjakannya pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, Rasulullah mengetahuinya dan taqrir terhadap kejadian ini, atau mereka yang dimaksud adlah para sahabat saja dan masyhur diantara mereka namun tidak sampai pada Rasulullah. Perselisihan terhadap khabar ini adalah mengenai apakah itu khabar dari seluruh sahabat (dinukil berdasarkan ijma’) atau sebagian shahabat saja, namun keduanya sama-sama sah. Bahkan dikatakan bahwa itu menunjukkan perbuatan seluruh umat, mereka mengerjakannya dan tidak mengingkarinya. Hukum syara’ dalam hadits ini menunjukkan anjuran (kesunnahan) bershadaqah dan memberikan makan yang pahalanya untuk mayyit pada masa 7 hari tersebut. [5]
Lebih jauh lagi, al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy menuturkan ;
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini, dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]
Imam al-Hafidz al-Kabir Ibnu Asakir didalam kitabnya Tabyin Kidzb al-Muftariy Fiymaa Nusiba Ilaa al-Imam Abul Hasal al-Asy’ariy menurutkan,
“Aku mendengar asy-Syaikh al-Faqih Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bin Abdul Qawiy al-Mashishiy mengatakan : “Telah wafat asy-Syaikh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisiy pada hari selasa 9 Muharram 490 Hijriyah di Damaskus, dan kami menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 malam, kami membaca al-Qur’an setiap malam dengan 20 kali khatam”. [7]
Dalam tahlilan yang dilakukan selama 7 hari pun berkesuaian dengan riwayat diatas, meskipun memberikan makan tidak hanya dilakukan dalam bentuk tahlilan namun boleh dengan yang lainnya. Riwayat ini sekaligus membantah klaim-klaim ahli bicara yang menyesatkan tahlilan 7 hari, bahkan amalan seperti ini masyhur, telah dilakukan sejak dahulu (salafush shaleh).
Dalam Nihayatuz Zain disebutkan :
“Memberi shadaqah yang pahalanya untuk mayyit berdasarkan pandangan syariat adalah dianjurkan namun tidak terikat dengan masa 7 hari baik lebih dari tujuh hari atau kurang dari tujuh hari, keterikatannya dengan sebagain hari hanya bagian kebiasaan-kebiasaan (adat istiadat) semata sebagaimana yang telah difatwakan tentang hal itu oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan sungguh telah menjadi kebiasaan manusia bershadaqah yang pahalanya untuk mayyit pada hari ke 3 dari wafatnya, 7 hari, 20 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya apa yang dilakukan setiap tahunnya (haul) pada hari wafatnya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikhuna Yusuf as-Sanbulawainiy. Adapun acara makan-makan yang masyarakat berkumpul disana pada malam hari ketika prosesi pemakaman yang dikenal dengan al-Wahsyah (berduka cita) maka itu makruh selama tidak ada harta anak yatim kecuali ada (harta anak yatim) maka itu haram, sebagaimana telah didalam kitab Kasyfu al-Litsam”.[8]
Syaikh an-Nawawi al-Bantaniy (beliau dijuluki sayyid Ulama Hijaz juga Imam an-Nawawi kedua) juga menuturkan bahwa itu hanya adat (kebiasaan) semata, artinya hal itu boleh. Dan shadaqahnya adalah sebuah anjuran (hukumnya sunnah).
Adapun yang kadang diselewengkan oleh ahli-ahli bicara yaitu tentang apa yang dihukumi makruh oleh Syaikh an-Nawawi. Untuk mengaburkannya, biasanya ahli-ahli bicara menyelewengkannya dengan mengatakan “dibenci”. Maka benar-benar menjadi kabur (tidak jelas) status hukum yang telah dikatakan Syaikh an-Nawawi dan terpenuhilah hawa nafsu mereka yaitu mengharamkan tahlilan. Padahal makruh yang dimakrudkan adalah ghairu mustahibbah[9] sebagaimana banyak dijelaskan ‘Ulama.
Kemudian, perihal hari-hari berikutnya, seperti 40 hari, 100 hari, setiap jum’at (sepekan sekali) dan sebagainya adalah terkait dengan kebiasaan yang hukumnya boleh sebagaimana penjelasan sebelumnya, dan pada penjelasan yang berikutnya.
Ketiga, kebolehan pengkhususan hari
Penentuan 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, setiap hari, sepekan sekali, tahunan atau lain sebagainya, juga bisa di pandangs sebagai bentuk pengkhususan hari untuk beramal shaleh, yaitu amal yang tidak memiliki keterikatan waktu dan rukun seperti shalat, puasa atau sejenisnya. Seperti pembacaan al-Qur’an, maka boleh mengkhususkan atau menentukan hari dalam menghatamkannya, misalnya melakukan tiap hari dan jumlah ayat yang dibaca di tentukan dan terus berkelanjutan hingga khatam, ini untuk keistiqamahan dan kemudahan. Atau seminggu sekali dalam mengkhatamkannya. Amalan seperti ini tidak memiliki keterikakan waktu maka boleh dibaca pada hari-hari apa saja atau menentukan harinya.
Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya, sebab pengkhususan hari-hari tertentu dalam melakukan amal-amal kebaikan adalah boleh. al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari hadits al-Bukhari no. 1118, sebagai berikut ;
“Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan) melakukannya”. [10]
Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya, wallahu a’lam.
Demikianlah beberapa penjelasan terkait dengan tahlilan, semoga apa yang telah disampaikan bermanfaat bagi kaum Muslimin dan bijaksana dalam menyikapi hal serta senantiasa berpegang teguh pada yang haq. Selesai !!
Catatan Kaki :
[1] Lihat ; Fiqh ad-Da’wah fiy Shahih al-Imam al-Bukhari (3/500) ; al-Fatawa al-Kubra (5/280) ;
[2] Sunan al-Kubra lil-Imam al-Baihaqiy asy-Syafi’i (9/303) ; Sunan Abi Daud no. 2460, hadits ini tidak beliau komentari, yang artinya boleh digunakan ; Musnad al-Jami’ (1876) ; Tuhfatul Ahwadiy (4/167), dikatakan “wal haditsu sakata ‘anhu Abu Daud” ; Asnal Mathalib (7/43), dikatakan diriwayatkan oleh Imam Hakim kemudian menshahihkannya ; dan lain-lain.
[3] Lihat : al-Hawi al-Fatawi lil-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy (2/164), sanadnya shahih dan Thawus adalah pembesar tabi’in. Hadits ini diriwayatkan dan tidak mungkin sebuah pendapat, adapun hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, juga sah dijadikan hujjah ; ad-Darul Mantsur lil-Hafidz as-Suyuthiy (6/61) ; Syarah Sunan an-Nasaa’i no. 2035 ;
[4] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/164) ; ad-Dural Mantsur (6/61) ; Mushnaf Abdurrazaq (3/590) ;
[5] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/169) ;
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) ;
[7] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) ;
[8] Nihayatuz Zain li-Syaikh an-Nawawi al-Bantaniy asy-Syafii’i.
[9] Lihat : Hawasyi asy-Syarwaniy (2/207) ; Tuhfatul Muhtaj (11/375); dan yang lainnya.
[10] Lihat : Fathul Bari syarah Shahih Bukhari (4/197).
إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْيَقُولُ
اللهم إني أعوذبك بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
"Ya Allah, aku berlindung kpd-Mu dari azab jahannam, & azab kubur, & fitnah kehidupan & kematian & dari jahatnya fitnah Al-Masih Ad-Dajjal" (HR Muslim
Langganan:
Postingan (Atom)