Welcome to My Page

IMAN DAN AMAL SOLEH

Selasa, 29 Oktober 2013

28 USHUL DAKWAH

Dalam usaha dakwah perlu diperhatikan tertib-tertib dakwah atau ushul dakwah. Dakwah yang tidak dilaksanakan dengan tertib tidak akan menyatukan ummat, tetapi dakwah akan dilaksanakan menurut hawa nafsu dan kepentingan tertentu. Hasilnya ummat akan terpecah belah. Ushul Dakwah ada 28, yaitu :

4 perkara yang diperbanyak :
1. Da'wah Illallah
2. Ta'lim Wata'alum
3. Zikir lbadah
4. Khidmat

4 perkara yang dikurangi:
1. Masa makan dan minum
2. Masa tidur dan istirahat
3. Keluar masjid
4. Bicara yang sia-sia

4 perkara yang harus dijaga :
1. Jaga taat kepada Amir
2. Jaga amalan ijtima-i dibandingkan amalan infirodi
3. Jaga kehormatan masjid
4. Sifat sabar dan tahan uji

4 perkara yang ditinggalkan :
1. Mengharapkan kepada makhluk, dan mengharap hanya kepada Allah
2. Meminta kepada makhluk, dan meminta hanya kepada Allah
3. Memakai barang orang lain tanpa izin
4. Sifat boros dan mubadzir

4 perkara yang tidak boleh disentuh :
1. Masalah politik (dalam dan luar negeri)
2. Masalah khilafiyah(perbedaanpendapat mahzab/ulama)
3. Aib masyarakat
4. Sumbangan, pangkat, status dan jabatan

4 perkara yang dijauhkan :
1. Merendahkan
2. Melihat kekurangan/mengkritik
3. Membandingkan
4. Tidak menolak dan tidak menerima secara langsung

4 pihak yang dihargai/didekati :
1. Ahli Da'wah (mubaligh)
2. Ahli Ilmu (Kyai, Ustadz, Santri, dsb)
3. Ahli Dzikir (thariqot)
4. Ahli pengarang kitab (penulis buku, majalah, artikel, dsb).


PENJELASAN 4 PERKARA YANG DIPERBANYAK

Dakwah Illallah, terbagi 4:
1. Dakwah Umumi
2. Dakwah Khususi
3. Dakwah Ijtima'i
4. Dakwah Infirodi

Ta 'lim Wata'alum, terbagi 4:
1. Ta'lim Kitabi
2. Halaqah tajwid Al Qur'an
3. Mudzakarah 6 Si fat Sahabat
4. Mudzakarah Usul Da'wah

Dzikir Ibadah, terbagi 4:
1. Shalat sunnat
2. Tilawah Al Qur'an
3. Dzikir pagi petang
4. Do'a masnunah

Khidmat, terbagi 4:
1. Khidmat kepada Amir
2. Khidmat kepada Jama’ah
3. Khidmat kepada makhluk
4. Khidmat infirodi (diri sendiri)

8 Amalan Ijtima'i (Berjamaah) :
1. Musyawarah
2. Ta'lim
3. Jaulah
4. Bayan
5. Khidmat
6. Makan (ta'am)
7. Tidur
8. Safar(perjalanan)

8 Amalan infirodi (individu) :
1. Dakwah infirodi minimal 25 kali
2. Qiyamul Lail dan shalat sunnat lainnya
3. Baca Al Qur'an minimal satu juz
4. Dzikir pagi- petang
5. Do'a masnunah
6. Jaga fikir dari fikir dunia
7. Jaga mata dan jasad dari pandangan maksiat
8. Jaga hati dari lintasan penyakit hati (ujub, takabur, riya. dsb)

Pentingnya Ushul Dakwah adalah apabila ushul dakwah dilaksanakan maka hati menjadi lembut. Apabila hati menjadi lembut akan mudah tawajjuh kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa. Apabila tawajjuh kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa do'a akan terkabul. Apabila do'a terkabul pertolongan Allah subhaanahuu wa ta’aalaa akan datang. Apabila pertolongan Allah subhaanahuu wa ta’aalaa datang maka Agama Islam akan kuat (berjaya). Tanda kuatnya amalan Islam pada ummat manusia adalah hidup didasari kasih sayang, suka tolong menolong dan saling membantu dalam perkara keduniaan apalagi perkara agama (keakhiratan). Nampak dalam kehidupan bermasyarakat saling bersilaturrahim dan bermusyawarah dalam setiap urusan. Jauh dari sifat iri hati, dengki, hasud dan pertengkaran. Ummat dalam keadaan satu hati dan kasih sayang.

Apakah khuruj 3 hari, 40 hari, dan 4 bulan itu bid'ah??

Apakah khuruj 3 hari, 40 hari, dan 4 bulan itu bidah??
Mereka berkata, khurujnya ahli dakwah selama 3 hari, 40 hari atau 4 bulan adalah bidah, sebab nabi saw dan para shohabatnya tidak pernah melakukannya, para tabiin dan juga para imam??????
Khuruj 3 hari, 40 hari dan 4 bulan
Entah apa yang terjadi pada manusia hari ini, para penuduh yang berkata bahwa khuruj fisabilillah itu bidah, nampaknya lebih menyukai kondisi manusia yang tetap dalam kelalaian dan kemaksiatan serta jauh dari ketaatan, daripada berbongdong-bondongnya manusia bertaubat dan khuruj untuk mengishlah diri mereka serta tutut mendakwahkan agama pada manusia???? Dan senadainya seorang ahli maksiat berubah menjadi taat itu tidak diterima oleh mereka, sebab(menurut tanggapan mereka) pelaku bidah itu tidak dapat diharapakan taubatnya, berdasarkan hadits nabi saw ‖ Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam perkara (agama) kami ini
sesuatu yang bukan darinya, maka dia tertolak‖ (bukhari :III, kitab shulh, Ibnu Majah:1/7),berarti segala ketaatan orang tersebut sebagai hasil khurujnya atau melalui khuruj, sehingga ia dapat mengingglkan dosa-dosa besar dan berbagai kemaksiatan sertakerusakan adalah tertolak disisi mereka, sebab mereka menganggap segala sesuatu yang dibuat untuk sesuatu yang batil itu adalah batil.
Demikianlah tuduhan mereka kepada ahli dakwah dan tabligh serta orang-orang yang telah berubah menjadi baik dengan perantara dakwah dan khuruj fi sabilillah. Mereka menolak
taubatnya para pelacur, penzina, koruptor, pencuri, pemabuk dan sebagainya, yeng telah
bertaubat melalui usaha dakwah hanya karena mereka itu pernah khuruj bersama jamaah
tabligh…
Syaikh aiman abu syadzi katakan, ‖ Inilah yang terjadi, mereka para pendengki menganggap
baik para pelaku maksiat, yang diharapkan dapat bertaubat. Sebaliknya, mereka menjelekkan
dakwah dan amal-amal yang menyertainya yang dapat mendatangkan hidayah, hanya karena
tuduhan; bahwa penentuan waktu 3 hari, 40 hari dan 4 bulan adalah bidah, karena sesuatu yang
dilakukan untuk kebatilan adalah batil, dan barangsiapa yang menciptakan sesuatu yang baru
dalam perkara (agama) ini , yang bukan darinya, maka dia tertolak.
Bidah secara khusus bermakna telah keluar dari aturan yang telah dibuat oleh Dzat pembuat
syariat, yaitu Allah SWT. Dengan ketentuan seperti ini , maka segala sesuatu yang jelas dan
dilakukan untuk berhubungan dengan agama atau tidak keluar dari aturan syariat, tidak termasuk
bidah.
Lalu apakah dakwah ilallah yang bertujuan untuk membawa manusia ke dalam syurga atas dasar
kasih sayang dan berharap agar manusia terhindar dari neraka serta murka Alloh, itu keluar dari
syariat Alloh SWTdan Rasul-Nya???
Pasti tidak! Alloh dengan tegas telah memerintahkan Nabi SAW untuk berdakwah, yaitu dengan
firman-Nya., ―Serulah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan Mau‟idzah hasanah”
(An-Nahl-125)
Perintah diatas juga berlaku untuk umat ini, sebab kalimat itu merupakan perintah yang
muta‘addi (merembet) yang ditujukan kepada umat sekaligus Rasul-Nya yang mulia. Hal ini
diperjelas oleh firman Alloh Ta‘ala, ” Katakalanlah (wahai Muhamaad), ini (dakwah) adalah
jalan-Ku. Aku mengajak kepada Alloh menurut cara-Ku dan orang-orang yang mengikuti-Ku .
Dan Maha Suci Alloh, dan aku bukan sebagian dari kaum Musyrikin” (Yusuf:10 dan Firman
Alloh, “Dan hendaklah dari kalian ada segolongan umat yang mengajak kebaikan dan
memerintahkan kepada yang ma‟ruf dan mencegah kemungkaran. Dan merekalah orang-orang
yang beruntung.” (Ali-Imran: 104)
Dan nabi SAW pun telah memerintahkan berdakwah kepada seluruh umatnya dengan sabdanya,
“sampaikanlah kalian dariku walaupun satu ayat.” Dan sabda beliau, :Hendaklah yang hadir
dari kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Jika demikian, lalu mengapa ahli dakwah dicela? Apalagi memvonis mereka sebagai ahli
bidah????
Dinatara mereka ada yang berkata, bahwa masalahnya adalah; mengapa harus 3 hari, 40 hari,
atau 4 bulan?? Pembatasan waktu inilah yang menjadikan khuruj disebut bidah…
Kami menjawab, Apakah masalah pembatasan waktu ini tidak sesuai menurut dugaan kalian,
bahkan kalian menganggapnya bidah dan tertolak, maka kami menjawabnya demikian;
Terdapat banyak ucapan alim ulama dan hadits-hadits shohih yang mengesahkan pembatasan
dan pengkhususan waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan kewajiban syari. Dan penjelasan
akan hal itu adalah pada bab berikut ini (nazhrah ilmiyah fi ahli tabligh wad dakwah:1/41-42)
Pembatasan dan Pengkhususan Bilangan
Syaikh Aiman Abu Syadi selanjutnya berkata, Mari kita memperhatikannya menurut ilmu Ushul
Fiqih;
Kami tidak menerima seandainya bilangan-bilangan ini disebut bermakna pembatasan, sebab
masalah itu masuk dalam kaidah MAFHUM „ADAD (pengertian bilangan). Dan menurut jumhur
ahli ushul fiqih, pengertian bilangan bukanlah hujjah secara substansi. Dan tidak ada konotasi
pemahaman untuk bilangan, serta tidak bermakna peringkasan atas jumlah tersebut.
Definisi Mafhum ‗adad adalah ; Penunjukan lafadz yang diqaidi (disyariatkan) dengan suatu
bilangan untuk menafikan suatu hukum yang lebih atau kurang, atau untuk menetapkan suatu
opertentangan hukum yang diqoyyid (disyariatkan) dengan suatu bilangan ketika tidak adanya
realisasi bilangan ini dengan dikurangkan atau ditambahkan.
Apabila suatu hukum dikhususkan dengan bilangan tertentu dan dibatasi dengannya, seperti
firman Alloh SWT; “…..maka deralah mereka (yang menuduh itu) 80 kali dera.” (an-Nur:4).
Maka bilangan 80 ini tidak berarti menafikan hukum selain bilangan 80 tersebut, baik hukum
yang lain itu bertambah atau berkurang dari hukum yang telah dibatasi oleh bilangan tadi.
Definisi ini dibuat oleh Imam Al-Baidawi ra, Imam Al-Haramain, Abu Bakr Al-Bakilani, Imam
Al-Amandi, dan mayoritas madzab Imam Hanafi. Mereka berargumentasi bahwa setiap bilangan
, meskipun hakikatnya berbeda, namun tidak mengharuskan perbedaan dalam hukum-hukum
penggabungan (isytirak). Bilangan-bilangan yang berbeda dalam satu hukum itu tidak terlarang.
Selama permasalahannya adalah demikian, maka pengkhususan hukum dengan bilangan, tidak
mewajibkan hukum tersebut dinafikkan dari bilangan lainnya, sehingga lafadz tersebut
menunjukkan kepada yang lainnya.
Mari kita sesuaikan pendapat para ulama tersebut dengan beberapa hadits nabi SAW. Sebagai
contoh:
Contoh 1: Imam An-Nawawi di dalam Riyadhush Sholihin menyampaikan wasiat yang
disampaikan oleh para imam terhadap para pencari ilmu. Wasiat tersebut diawali oleh imam
Adz-Dzahabi dalam bab At-Taubah. Dari Abu hurairah ra, aku mendengar rasulullah saw
bersabda, ―Demi Alloh, sesungguhntya aku memohon ampun (beristighfar) kepada Alloh dan
bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih daripada tujuh puluh kali‖ (shohih bukhori:VII/83,
Musnad imam ahmad:II/341)
Imam Adz-Dzahabi pun menyampaikan dari Argharbin Yasar Al-Muzani ra, Rasulullah saw
bersabda, ‖ Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Alloh dan beristighfarlah kalian
kepadaNya, karena Aku berstighfar dalam sehari 100 kali‖ (musnad imam ahmad:iv/211).
Saya berkata, didalam hadits pertama disebutkan bahwa nabi saw beristighfar 70 kali dan
didalam hadits yang lain disebutkan 100 kali. Manakah dari kedua hadits ini yang dimaksud oleh
Nabi SAW?? Apakah kedua perintah hadits ini dapat digabungkan dan diamalkan?? Apakah
kedua hadits ini saling bertentangan satu sama lainnya??
Jawabannya, Pasti tidak bertentangan..
Maksud istighfar dalam kedua hadits tersebut adalah memperbanyak istighfar dan menghimbau
untuk bertaubat dan kembali ke jalan Alloh Taala. Tidak ada pertentangan dan tidak ada
perbedaan diantara kedua hadits tersebut, sebab perintah istighfar dalam kedua hadits tersebut
tidak dibatasi oleh substansi bilangan 100 atau 70 kali. Siapa yang menginginkan lebih daripada
jumlah tersebut, itu lebih baik dan diterima. Dan barangsiapa yang istighfarnya tidak sampai 100
atau 70 kali, iapun tidak berdosa dan tidak mengapa, sebab kedua jumlah ini hanyalah perintah
mandubah dan mustahabah (disukai), yang menjadikan pelakunya terpuji dan tidak tercela bagi
yang meninggalkannya..
Para pensyarah Riyadhush Sholihin, dalam Nuzhatul Muttaqin berkata, ‖ Hadits ini dan yang
sebelumnya menunjukkan bahwa tujuan dalam hadits-hadits tersebut adalah untuk
memperbanyak istighfar dan bersegera dalam bertaubat. Sementara penyebutan bilangan didalam
hadits ini tidak bermaksud membatasi jumlah, namun justru memperbanyak jumlah.‖ (Nuzhatul
Muttaqin:1/33)
Contoh ke 2: Imam bukhori ra meriwatkan sebuah hadits dari Abu hurairah ra, Nabi Saw
bersabda, ‖ Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila berbicara ia bohong; Apabila
berjanji ia ingkari; Apabila dipercaya dia berkhiatan‖ (shohih bukhori:1/15, muslim:1/44)
Lalu imam bukhori menyebutkan pula hadits datri Abdullah bin Amr ra, sesungguhnya nabi saw
bersabda,‖ Empat tanda, barangsiapa memiliki keempat tanda ini, berarti ia seoarang munafik
tulen. Dan barangsiapa memiliki salah satu tanda dari empat tanda tersebut berarti ia memiliki
sebagian dari sifat munafik hingga ia meninggalkannya, yaitu Apabila dipercaya ia berkhianat,
Apabila berbicara ia berdusta, Apabila berjanji ia mengingkari, Apabila berdebat ia berbuat
jahat‖ (shohih Bukhori: 1/15, muslim:1/43)
Imam an nawawi rah menyebutkan kedua hadits ini didalam Riyadhush Sholihin, bab Menepati
janji dan melaksankan janji.
Pada hadits yang pertama, Rasulullah saw menyebutkan tanda-tanda orang munafik ada 3.
Sedangkan pada hadits yang kedua disebutkan ada 4 tanda.
Jadi manakah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW?? Dan siapakan munafik yang nyata
kemunafikannya?? Apakah dengan 3 tanda ataukan dengan 4 tanda?? Seandainya tanda-tanda
orang munafik ini terbatas dan teringkas dalam 3 atau 4 tanda, maka mengapa nabi saw
mengkhutbahi umatnya demikian?? Apakah penjelasan tanda-tanda orang munafik itu terlambat
dari waktu yang sesuai???
Jawabnya, pasti tidak demikian.
Kita tidak menafikan kedua hadits tersebut. Dan tidak ada pertentangan diantara keduanya. Para
Pensyarah Riyadhush Shalihin berkata, ‖ Dalam hadits pertama, orang munafik memiliki 3
tanda, dan dalam hadits kedua disebutkan 4 tanda, tidak ada pertentangan diatara keduanya,
sebab mafhum adad tidak bermakna meringkas dan bukan suatu hujjah.‖ (nuzhatul
Muttaqin:1/56
Allamah Ibnu Allan Rah dalam pembahasan hadits mengenai tanda-tanda orang munafik,
berkata, ―Tidak ada pertentangan antara sabda nabi saw mengenai tanda-tanda orang munafik
yang empat dan sabda beliau yang sebelumnya, bahwa tanda-tanda orang munafik ada tiga.
Sebab, suatu yang satu memiliki banyak tanda. Setiap tanda dapat diketahui dengan sebuah
karakter. Dan dapat terjadi sebuah tanda itu adalah sesuatu yang satu, atau terkadang sesuatu
yang banyak.‖
Imam At-thibby rah, berkata. ‖ Kadangkala tanda-tanda itu disebutkan sebagian dan kadangkala
disebutkan semuanya, atau disebutkan mayoritasnya.‖
Imam Az-Zarkasyi rah berkata, sesungguhnya pengkhusussan dengan bilangan tidak
menunjukkan bertambah atai berkurangnya suatu bilangan (Dalilul Falihin:III/163-164)
Maksundya tidak menunjukkan penolakan hukum yang dikhususkan dengan bilangan itu, baik
bertambah atau berkurangnya bilangan tersebut.
Contoh ke 3: Imam muslim meriwayatkan hadits dari aisyah rha, rasulullah saw bersabda, ―tiada
seorang mayit yang disholati oleh kaum muslimin yang mencapai jumlah 100 orang yang
semuanya mensyafaatinya, kecuali pada hari kiamat mereka akan mensyafaatinya.‖ (shohih
muslim-Misykatul Mashobih, no 1661)
Lalu beliau juga menybutkan sebuah hadits Ibnu abbas ra, ―sesungguhnya seorang putranya
meninggal dunia di Qudaid atau di Usfan, lalu ia berkata, Ya Kuraib!! Lihatlah orang-orang yang
datang untuk mensholati mayit dan hitunglah! Kuraib berkata, lalu aku keluar dan tiba-tiba
orangsudah berkumpul. Akupun menghitungnya, lalu aku kukabarkan kepada Ibnu abbas, lalu
dia berkata, ‖ Apakah kamu berkta mereka 40 orang?‖ Kuraib menjawab, ―Ya‖. Ibnu abbas
berkata, ―Keluarkanlah mayitnya! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‖
Tidak ada seorang pria muslim yang meninggal dunia, lalu jenazahnya disholati oleh 40 orang
laki-laki yang tidak menyekutukan Alloh dengan apapun, kecuali Alloh akan memberi mereka
syafaat untuk mayit. ‖ (Shohih muslim-misykatul mashobih, no.1660).
Imam an nawawi rah dalam riyadhush sholihin, bab Disukai memperbanyak orang yang sholat
atas jenazah dan menjadikan shaf mereka menjadi 3 atau lebih, juga menyebutkan hadits
tersebut.
Murtsid bin abdillah al yazani berkata, Malik bin Hubairah ra, apabila mensholati jenazah, dan ia
menganggap jumlahnya sedikit, maka ia membaginya menjadi 3 shaf, lalu ia berkata, Rasulullah
saw bersabda, Apabila seorang mayit disholati oleh 2 shaf, maka mayit tersebut wajib masuk
syurga. “(Abu dawud, Tirmidzi-Kanzul Ummal. No. 42265)
Imam an nawawi rah dalam membahas hadits nabi saw tersebut menyatakan, ―Tiada seorang
mayit yang dihsolati oleh umat muslim yang mencapai seratus orang, yang semuanya
mensyafaatinya, kecuali mereka mensyafaatinya (pada hari kiamat).‖
Dan hadits, ―Tidak seorangpun yang meninggal dunia, lalu jenazahnya disholati oleh 40 orang
laki-laki yang tidak menyekutukan Alloh dengan apapun, kecuali Alloh akan mensyafaati
mereka untuk mayit tersebut.‖
Dan dalam hadits lain disebutkan, ―Tiga (3) shaf.‖ Qodhi iyadh rah berkata, ‖ Konon haditshadits
itu turun sebagai jawaban atas orang-orang yang bertanya mengenai mayit, lalu setiap
pertanyaan dijawab dengan hadits-hadits tersebut.‖ (syarah shohih muslim:VII/17)
Demikian pendapat Qodhi Iyadh rah, sehingga mungkin saja Nabi saw mengabarkan penerimaan
syaffat 100 orang, lalu mengabarkan penerimaan syafaat 40 orang, lalu hanya 3 shaf, meskpin
jumlahnya berkurang. Mungkin juga akan dikatakan bahwa ini adalah mafhum adad yang tidak
dapat dijadikan hujah bilangan tertentu menurut jumhur ulama ushul.
Dengan hasits adanya penerimaan syafaat 100 orang, maka tidak ada pengharusan syafaat hanya
diterima dengan 100 orang yang mensholatinya, dan menolak syafaat yang lebih rendah darinya.
Demikian juga jumlah 40 orang dan 3 shaff. Dengan demikian, semua hadits ini dapat diamalkan
dan syafaat tentu bisa didapatkan dengan kedua jumlah yang paling sedikity, yaitu 3 shaff dan 40
orang.
Allamah ibnu allan menjelaskan , ―Tidak ada pertentangan antara khabar (hadits) ini dengan
khabar sebelumnya, sebab mahfum ‗adad bukan sebagai hujah, menurut pendapat yang shohih,
sebab Alloh mengabarkan kepada Nabi saw dengan cukupnya jumlah seratus orang yang
mensholati mayit, lalu karunia ini ditambah oleh Alloh Ta‘ala dengan mengabarkannya cukup
akan mendapatkan syafaat terhadap mayit dengan orang yang mensholatinya sejumlah 40 orang.
Wallahu a‘lam (Dalilul falihiin, syarah riyadhush sholihin: III/416)
Di dalam nuzhatul muttaqin, para pensyarah berkata, ―hadits ini menunjukkan istihbab yaitu
disunnahkannya menjadikan 3 shaf atau lebih bagi orang -orang yang mensholati jenazah.
Meskpiun jumlahnya sedikit, tetapi mereka terlihat banyaknya dalam penerimaan mereka oleh
Alloh swt dan permohonan syafaat untuk saudara mereka. Tidak ada pertentangan antara haditshadits
ini, baik hadits yang menentukan 100 orang, 40 orang, dan 3 shaff, sebab ‗adad (bilangan)
tidak memiliki konotasi. Sedangkan tujuannya adalah al katsrah (banyak).‖ (Nuzhatul
Muttaqin:I/407).
Pendapat ini sama dengan perkataan alim ulama ushul fikih. Menurut pendapat yang shohih,
bahwa pengertian bilangan bukan merupakan dalil ketetapan dan tidak bermakna pembatasan.
Lalu apakah masuk akal, tuduhan orang yang mencela dan menganggap bahwa ahli dakwah dan
tabligh telah membatasi dakwah mereka dengan hitungan hari-hari tertentu dan khusus, seperti 3
hari, atau 40 hari, dan seterusnya…..???
Padahal 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan itu bukan hujjah dan tidak bermakna pembatasan dan
peringkasan dalam kewajiban dakwah.
Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ahli dakwah itu sendiri yang mutawatir, bahwa bilangan
hari-hari tersebut hanya untuk mempermudah tertib waktu yang digunakan oleh para ahli dakwah
dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya..
Waktu-waktu itu hanyalah untuk kemudahan tertib, bukan sebagai pembatasan. Siapa yang ingin
keluar di jalan Alloh Ta‘ala sehari, maka tidak ada jeleknya, bahkan terpuji. Dan barangsiapa
keluar dijalan Alloh 4 hari atau 5 hari, maka tidak ada dosa baginya. Bahkan pada dasarnya,
semua waktu itu adalah milik Alloh Ta‘ala, agamaNya, dan dakwah Rasul-Nya.
Hanya karena kelemahan para jamaah dakwah tersebut, mereka mendahulukan waktu-waktu
tersebut, karena waktu-waktu tersebut adalah waktu yang paling sedikit diatara yang sedikit.
Siapa yang ingin meluangkan waktunya lebih daripada waktu-waktu tersebut, maka pintu
dakwah tetap terbuka..
Bahkan di dalam Alquran, waktu untuk bersungguh-sungguh di dalam dakwah, tidak kami
temukan hitungan waktu yang sedikit ini, seperti 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan. Yang kami
temukan justru hitungan bilangan 950 tahun, siang dan malam, yaitu waktu dakwahnya nabi Nuh
as.
Konsep inilah yang diamalkan dan dijadikan pegangan oleh para ahli dakwah dan tabligh.
Berapa waktu dan cara apapun yang dilaksanakan oleh pelakunya untuk kepentingan dakwah, itu
dapat diterima dan terpuji, serta sangat disyukuri, baik sejam ataupun dua jam, satu atau dua hari,
sebulan, dua bulan, tiga bulan ataupun empat bulan.
Apabila ahli dakwah dan tabligh memberi semangat tentang fadhilah khuruj fi sabilillah selama 3
hari, 40 hari, 4 bulan, maka bilangan-bilangan tersebut tidak menunjukkan penafikan hukum,
bila khuruj (dakwah) dilakukan tidak dengan waktu-waktu tersebut. Baik waktu itu melebihi 3
hari, dari 40 hari, ataupun 4 bulan, ataupun kurang dari waktu-waktu tersebut.
Dengan demikian, -menurut konsep ini-, setiap jumlah bilangan hari ( 3 hari, 40 hari, 4 bulan)
yang disebutkan oleh para ahli dakwah atau yang tidak disebutkan oleh mereka di dalam tertib
waktu-waktu tertentu untuk berdakwah di jalan Alloh, tidak berarti menafikkan fadhilah dan
hukum bilangan-bilangan yang selainnya, baik yang bertambah atau berkurang.
Apabila ada yang keluar untuk berdakwah selama 2 hari, maka ia tetap akan medapatkan
fadhilah berdakwah dan pahalanya. Apabila ia keluar 38 hari sebagai ganti 40 hari, maka ia tetap
akan mendapatkan pahal dan balasan Alloh, karena ia merupakan anugerah Alloh yang diberikan
kepada orang yang Dia kehendaki..
Setiap waktu itu bukan bermakna pembatasan, sebab mahfum ‗adad bukanlah hujjah dan tidak
bermakna peringkasan.
Selanjutnya Imam Al -Izz bin Abdissalam di dalam Qowaa‟idil Ahkam memberi isyarat dengan
ucapannya tentang bidah-bidah wajibah, diantaranya yaitu:
Sesuatu yang kewajibannya tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya
wajib. Dan semua perantara yang dengannya Kalamullah dan sabda Rasulullah saw dapat
dipahami, maka hukumnya wajib. Seperti, sibuk mempelajari ilmu nahwu dan perkara lainnya
yang tidak sempurna kewajibannya kecuali dengannya.
Termasuk didalamnya pengkhususan waktu untuk mempelajari ilmu agama, sehingga dengan
pengkhususan tersebut, dapat diketahui apa maksud Alloh dan RasulNya, dan termasuk juga
pengkhususan waktu untuk berdakwah dan menyebarkan risalah Nabi saw. Dakwah ilallah serta
menyampaikan risalah adalah kewajiban yang keutamaannya telah disepakati oleh kaum
muslimin.
Demikian juga berbagai wasilah (perantara) yang mendorong untuk keberhasilan sesuatu
misalnya melalui penentuan waktu khusus untuk menjalankan kewajiban, dimana sempurnanya
kewajiban tersebutbergantung pada waktu-waktu tersebut dan secara akal tidak dianggap berhasil
kecuali dengan pengkhusussan waktu-waktu tersebut.
Waktu-waktu itu termasuk sebagai wasilah (perantara) untuk menunaikan kewajiban yang tidak
mngkin dapat dilaksanakan kecuali dengannya. Misalnya mempelajari ilmu fiqih adalah wajib,
karena melalui ilmu fiqih, hukum-hukum syariat dapat diketahui, dan mempelajari fiqih tidak
mungkin dapat dilaksanakan kecuali dengan mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk
mendapatkannya.
Dalam hal ini, hukum wasilah sama dengan hukum tujuan. Artinya, wasilah-wasilah itu
dihukumi wajib, karena tujuan kewajiban tadi tidak dapat sempurna kecuali dengannya.
Oleh sebab itu, tidak ada satu madrasah atau perguruan tinggi islampun, kecuali mengkhususkan
waktu untuk mempelajari ilmu syariat yang bermacam-macam itu. Kami menemukan bahwa di
fakultas-fakultas syariah di al azhar asy syarif di kairo mesir, menentukan 4 tahun untuk
mempelajari ilmu-ilmu syariat yang lurus. Demikian pula di fakultas-fakultas Ushuludin, dan
fakultas -fakultas dakwah di universitas islam di madinah munawarah, dan perguruan-perguruan
tinggi islam yang tersebar di seluruh dunia islam.
Kami tidak mengira, jika ada orang yang mengaku sudah mempelajari ilmu-ilmu agama , lalu ia
mengaku bahwa pengkhususan waktu itu adalah bidah dan sesat, karena tidak dilakukan pada
masa rasulullah saw..Astaghfirullah..
Selanjutnya Syaikh aiman abu syadi berkata mengenai ini, ―Disebut bidah wajibah, yaitu suatu
yang dibahas oleh kaidah-kaidah wajib dan dalil-dalilnya dari syariat, seperti pembukuan alquran
dan ilmu-ilmu syariat yang dikhawatirkan punah. Dan sesungguhnya tabligh bagi generasi
setelah generasi kami adalah wajib secara ijma‘ ulama dan membiarkannya adalah haram secara
ijma‘. Contoh semacam ini tidak pantas diperdebatkan kewajibannya…
Imam Al-Izz bin abdisallam menyatakan bahwa menyampaikan risaklah kepda generasi penerus
adalah wajib secara ijma‘. Dan kewajiban ini tidak sempurna, kecuali melalui wasilah yang dapat
mendatangkan, mendorong, dan menunjukkan kepadanya..
Apabila tabligh tidak sempurna kecuali dengan meluangkan waktu tertentu dan cara tertentu,
maka waktu dan cara tersebut adalah wasilah yang wajib untuk meraih kewajiban yang mesti
dilaksanakan sesuai dengan kadar kemampuannya..
Sesungguhnya bertabligh itu sah dengan cara dan wasilah yang telah disepakati dan diketahui
oleh para ahli dakwah selama cara dan wasilah itu masih dalam kerangka syariat..
Dalam hal ini tidak ada batasannya, sebagaimana imam syatibi rah telah berdalil didalam al
ihtisham dengan berkata, ―Perintah menyampaikan syariat, tidak ada pertentangan didalamnya,
karena Alloh berfirman,
“Wahai rasul, sampaikanlah sesuatu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu” (Al maidah:67)
Umatnyapun diwajibkan untuk menyampaikan risalah tersebut. Didalam hadits disebutkan,
‗Hendaklah yang hadir diantara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.‖ (shohih
Bukhori, no.6717).
Dan syaikh aiman abu syadi mengungkapan pernyataan imam syatibi rah tentang penggunaan
cara dalam mentablighkan risalah tanpa membatasinya, beliau mengesahkan setiap wasilah yang
berbeda-beda yang mendatangkan tujuan. Seperti menghafal, berceramah, dan menulis. Lalu
beliau memperluas setiap pernyataannya dengan kalimatnya sendiri,‖dan lain-lain‖. Artinya
kedangkala wasilah-wasilah tabligh selain yang disebutkan oleh beliau adalah sah.
Dengan demikian, termasuk dalam bab ini adalah khuruj fi sabilillah dan segala penyampaian
risalah yang telah dilaksanakan oleh para dai, sepanjang wasilah itu sesuai dengan syar‘i, nash,
dan maslahat umum, seperti mengarang buku dakwah, siaran radio dan televisi islam, kaset-kaset
dakwah, yang semua itu tidak pernah ditemukan pada masa dahulu..
Demikian pula jika adanya wasilah tertentu dalah hal ini menentukan waktu untuk mencapai
kepada yang wajib, maka tidaklah mengapa, sebagaimana ditentukan waktu-waktu khusus untuk
mempelajari alquran dan hadits, maka waktu-waktu tersebut, baik lama maupun sebentar,
berhari-hari, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun , semua itu termasuk dalam wasilah kepada
yang wajib; termasuk hukum meluangkan waktu untuk khuruj fi sabilillah demi meningkatkan
keimanan dan kesholihan..
Kami memohon kepada Alloh, agar memperlihatkan kepada kami kebenaran sebagai kebaran,
dan mengaruniakan taufik kepada kami untuk dapat mengikutinya. Dan Memperlihatkan kepada
kami kebatilan sebagai kebatilan, dan mengaruniakan taufik kepada kami untuk dapat
menjauhinya dengan anugerah dan rahmat-Nya..Amin ya rabbal ‗alamin. (Nazhrah ilmiah fi ahli
tabligh wad dakwah:1/45-59).
Penentuan waktu untuk tujuan syar‘i termasuk sunnah
Syaikh Aiman abu syadi bekrta, ―selanjutnya kami menyampaikan bahwa apabila kami
menerima bantahan tentang tahdid (pembatasan) dalam mahfum adad—yaitu khuruj 3 hari, 40
hari, 4 bulan, dsb—ini sebagai pembatasan waktu, maka siapakah diantara alim ulama muktabar
yang mengatakan bahwa pembatasan waktu untuk melakukan kewajiban-kewajiban syari itu
adalah bidah sehingga harus ditinggalkan?????
Berikut ini adalah dalil yang terdapat di dalam hadits shahih Bukhori, kitab ilmu, Bab: Nabi saw
memelihara (waktu) kepada mereka untuk memberi mau‘izhah dan ilmu agar mereka tidak
bubar‖
Ibnu Mas‘ud ra, meriwayatkan, ― Nabi saw mengatur (waktu) untuk kami dalam memberi
nasehat di (sela) hari-harinya untuk menghindari kejenuhan terhadap kami‖ (shohih bukhro:I/27,
msulim dalam bab taubat)
Ibnu hajar rah menulis, ―Ungkapan; Nabi saw memelihara waktu untuk mereka, ―lafdz At-
Takhawul berarti memelihara waktu untu mereka, Al mau‘izhah berarti nasehat dan peringatan,
lafadz al ilmu diathofkan kepada lafadz Al Mau‘izhah sehignga termasuk dalam bab ‗
Mengikutkan lafazh yang umum kepada yang khusus‘, karena Al ilmu mengandung Mau‘izhah
dan yang lainnya. Diathafkan demikian, karena Mau‘izhah terdapat dalam nash hadits dan lafazh
al ilmu disebutkan sebagai dasar pengambilan hukum‖ (fathul bari:I/195)
Perhatikanlah pendapat Imam hafizh Ibnu hajar rah, bahwa Al Mau‘izhah adalah nasehat dan
peringatan. Dan kita ketahui bahwa tidak ada aktivitas dakwah kecuali berupa nasehat dan
peringatan terhadap manusia tentang ajaran-ajaran agama mereka.
Lalu apakah nasehat dan peringatan termasuk dalam aktivitas dakwah atau tidak?? Bagaimana
Nabi saw memelihara waktu untuk mereka dalam waktu tertentu dan terbatas, sehingga mereka
tidak jenuh apabila dilakukan sehari-hari..
Dan perhatikalanlah, ucapan hafizh Ibnu Hajar rah, bahwa lafazh Al ilmu dikikutkan kepada
lafazh Al Mau‘izhah, termasuk dalam bab ‗Menngikutkan lafazh umum kepada yang khusus‘,
karena al ilmu mengandung mau‘izhah dan yang lainnya..
Dalil imam bukhori dengan judul hadits diatas tentang penentuan waktu, tidak dikhsusukan pada
mau‘izhah saja. Lafazh al ilmu bermakna umum, maka keumuman lafazh al ilmu ini memuat
semua cabangnya, seperti fiqih, hadits, tafsir, dakwah, ushul, fiqih, nahwu, ulumul lughoh,
ulumul quran dan lainya masih banyak.
Dalam mendengar dan mempelajari semua cabang ilmu tersebut, diperbolehkan mengadakan
pembatasan dan penetuan waktu, baik berupa harian, mingguan, bulanan, atau tahunan,
sebagaimana yang sudah berjalan di setiap perguruan tinggi islam yang tersebar di seluruh
penjuru dunia islam..
Mereka membatasi 4 atau 5 tahun untuk strata satu (S1), 4 tahun untuk mempelajari berbagai
cabang ilmu lainnya, ada yang lebih dari 5 tahun dan ada yang kurang dari itu, bergantung pada
aturan yang berlaku di masing-masing perguruan. Dan seluruh umat sepakat, bahwa hal tersebut
adalah baik, bahkan mereka berlomba-lomba untuk menambah Dauroh ilmu tertentu dan
mendukung system pengaturan tersebut..
Belum ada seorangpun, –sejak didirikannya system tersebut hingga sekarang ini–, yang
mengklaim bahwa hal tersebut adalah bidah atau sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi
saw dan para sahabat ra dengan membatasi 4 tahun untuk mempelajari hadits, dakwah, ushul
fikih, fiqih, dan lain-lain..Seandainya ada seseorang yang mengatakan hal itu bidah, tentu orangorang
akan menertawakannya..Bahkan melalui system pengaturan waktu tersebut banyak yang
telah tamat dari pesantren-pensantren., sekolah-sekolah, dan perguruan-perguruan tinggi, para
imam agama..
Hafizh ibnu hajar rah berkata, ―Hadits ini menunjukkan istihbab (disukai) meliburkan rutinitas
amal sholeh untuk menghindari kebosanan. Rutinitas yang diperintahkan ada 2 macam. Pertama,
ada kalanya setiap hari, namun tanpa meletihkan. Kedua, ada kalanya sehari masuk dan sehari
libur untuk beristirahat, agar pada hari berikutnya dapat masuk dengan semangat, dan ada
kalanya libur sehari dalam sepekan bergantung pada situasi..
Yang penting ktia perlu menjaga semangat agar tetap wujud. Sikap ibnu mas‘ud rhu ini
menunjukkan bahwa ia mengikuti sikap nabi saw hingga hari terakhir ia melihatnya. Hadits ini
menunjukkan bahwa ia mengikuti nabi saw dengan hanya melihat selang waktu antara
mengamalkan dan meninggalkan, diungkapkan olehnya dengan takhawwu, yang berarti menjaga
dan memelihara waktu. Pendapat kedua ini lebih jelas. ―(Fathul bari:I/196)
Syaikh aiman berkata, perhatikanlah pendapat imam besar ini, yang menyatakan bahwa rutinitas
amal sholeh terkadang dilakukan setiap hari –sekiranya tidak melelahkan—dan terkadang sehari
jalan dan sehari tidak, dan terkadang sehari saja yang diliburkan dalam seminggu, bergantung
pada situasi dan kondisi masing-masing. Dan terkadang perlu libur dua hari dalam seminggu,
dua atau tiga hari dalam sebulan, bergantung pada situasi dan kondisi masing-masing..
Demikianlah para ahli dakwah dan tabligh pun tidak membatasi 3 hari dalam setiap bulan,
kecuali untuk menjaga rutinitas dakwah yang sesuai dengan masa, tempat, dan kondisi mereka
sekarang ini..
Penjelasan imam ibnu hajar rah, bahwa ibnu mas‘ud ra mungkin mengambil sikap berdasarkan
sikap nabi saw hingga hari terakhir ia melihatnya. Ibnu mas‘ud rahu mengikuti sikap nabi saw
hanya dengan melihat jeda waktu antara mengamlkan dan meninggalkan (takhawwul). Ia
mendunkung dan membatasi waktu untuk para shahabatnya yang biasa ia nasehati, karena
mengikuti cara nabi saw. Dan ia tidak mengganti dengan nama hari dan tidak pula menyebutkan
waktu yang telah digunakan oleh nabi saw dengan para sahabatnya, namun ia berpendapat bahwa
masalah ini adalah luas, bergantung pada situasi , kondisi individu, dan zaman pada saat itu..
Demkian pula yang dilakukan oleh para ahli dakwah, mereka mengikuti metode nabi saw dalam
menggunakan waktu yang mendukung untuk menasehati dan meningkatkan diri mereka dan
manusia. Mereka tidak membatasi bahwa waktu-waktu tersebut adalah yang dilakukan oleh nabi
saw, karena masalah ini sangat luas yang dapat diatur sesuai dengan kondisi dan siatuasi masingmasing
individu, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh imam ibnu hajar al atsqolani rah.
Demikian pula yang dipahami dan diamalkan oleh Ibnu Mas‘ud rhu. Beliau tidak menjadikan
kaedah dengan waktu yang telah dibatasi dan digunakan oleh nabi saw, Karena masalah ini
sangat luas‖ (Nazhrah ilmiah fi ahli tabligh wad dakwah:I/60-65).
Sahabat Rhu membatasi waktu
Apakah pembatasan waktu tidak pernah dilakukan oleh sahabat ra?? Mari kita simak
jawabannya:
Terdapat beberapa keterangan bahwa pasa sahabat ra pun mengadakan pemabtasan waktu dalam
hal-hal tertentu . Para imam hadits, diataranya imam bukhrori telah membuat judu dalam kitab
shohinya, bab: ―Seorang Ahli Ilmu Agama yang menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi
mau‘izhah‖
Di dalamnya terdapat hadits dari abi wail, ia berkata, ―Dulu Abdullah bin mas‘ud memberi
mauizhah untuk orang-orang setiap hari kamis‖. Lalu seoranglaki-laki berkata, Ya aba
Abdurrahman, sungguh senang hatiku apabila engkau memberi mauizhah kepada kami setiap
hari.‖ Jawabnya, :tidak , aku dilarang berbuat demikian, sungguh aku benci, bila aku membuat
kalian bosan..Dan sesungguhnya aku menjaga dan memelihara waktu kalian dalam memberi
mauizhah , sebagaimana nabi saw menjaga dan memelihara waktu kami dalam menasehati untuk
menghindari kebosanan kami‖ (shohih bukhori:I/27)
Di dalam hadits ini terdapat pengkhususan hari kamis dari setiap minggu untuk memberi nasehat
dan (meningkatkan) iman. Di dalam hadits ini juga terdapat pembolehan atas pemabtasan dan
penetuan waktu dalam rangka menasihati umat. Dan untuk mengerjakan semua cang ilmu,
seperti : fiqih, hadits, ilmu dakwah, tafsir, dan lain-lainnya, boleh dikiaskan kepadanya, baik
waktu yang dibatasi sehari, dua hari atau tiga hari..
Apabila kita mengenalisa judul bab atas hadits tersebut, sesungguhnya ilmu yang disebutkan
dalam judul hadits tersebut adalah umum, bermacam-macam dan bercabang-cabang , memuat
semua cabang ilmu, seperti fiqih, hadits, tafsir, bahasam bayan, balaghoh, dakwah, ulumul quran,
usuhul fiqih, mauizhah dan lain sebagainya..dan semua cabang ilmu itu sebagai obyek
pembahsan judul hadits. Hal ini bermakna, boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu utntuk
semua cabang ilmu tersebut.
Dan seandainya kami memerinci lagi judul hadits tersebt berdasarkan sifat umum jaudul hadits
diatas, dengan salah satu cabang ilmu, misalnya, fiqih, dan kami tulis judul tersebut demikian, ‖
Seseorang ahli fiqih menjadikan hari-hari tertentu untuk memberikan pelajarannya‖. Apakah ada
yang menentang judul tersebut?? Apakah ada yang menolak perkataan kami itu????
Jawabnya , pasti tidak ada
Oleh sebab itu, setiap ahli ilmu dan para ahli fiqih memabtasi waktu-waktu tertentu untuk muridmuridnya
dalam mempelajari ilmu fiqih, baik sehari dalam seminggu, sehingga dalam sebulan
bertjumlah 4 hari, atau dua hari dalam seminggu, sehingga sebluan menjadi delapan hari, atau
lebih banyak atau lebih sedikit dari waktu –waktu tersebut.
Tidak itu saja, sekarangpun seseorang dapat membatasi dengan mengkhususkan hari-hari
tertentu baik itu hari jumat, sabtu, ahad, atau hari-hari lainnya. Dan itu juga dapat membatasi dan
mengkhususkan waktu yang akan digunakan, misalnya: anatara maghrib dan isya, atau setelah
isya, atau setelah ashar, dan sebagainya..
Selanjutnya dalam waktu yang terbatas ini, ia pun dapat lebih mengkhususkan lagi waktu
penggunaannya, yaitu sejam atau setengah jam atau lebih atau berkurang dari waktu-waktu
tersebut.
Pertanyaaanya adalah, ―Apakah semua itu termasuk sunah atau bidah??????
Kami jawab dengan tegas bahwa semua itu termasuk sunah, tanpa ada keraguan sedikitpun
didalamnya, sebab hal tersbut telah dilakukan oleh nabi saw danpara sahabat rhum, para tabiin,
dan para imam, alim ulama mujtahidin pada abad ke III, dan juga oleh orang-orang yang
mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mempelajari ilmu yang mereka khususkan..
Dan apabila kami memberi judul, misalnya; ―Seorang ahli hadits menjadikan hari-hari tertentu
untuk memberi pelajarannya‖. Apakah ada yang menetang judul ini?? Apakah ada yang
menuduhnya bidah??
Jawabnya; hal tersebut justru sunah yang harus diikuti bahkan mempelajari hadits nabi saw
adalah fardhu kifayah. Meskpiun hal tersebut dilakukan dengan waktu-waktu terbatas dan
khusus..
Apabila kami menuliskan judulnya, ―Seorang ahli tafsir menjadikan hari-hari tertentu untuk
memberi mauizhah‖. Apakah ada yang menentangnya?? Jawabannya, tidak ada, bahkan hal ini
disukai oleh setiap orang, karena tafsir adalah cabang dari ilmu..
Demikianlah, karena alasan pengkhususan waktu tersebut adalah sesuai dengan kehidupan
manusia, sebagaimana pendapat alim ulama rah..
Dapat dibayangkan, apabila ada seorang ulama berkata kepada masyarakat;
Ulama: ‖Wahai manusia, aku akan mengajarkan ilmu tafsir, insyaAlloh dalam minggu-minggu
ini‖. Lalu orang-orang yang hadir bertanya; ―Waktunya kapan ya ustadz, agar kami bisa
menghadirinya?‖. Kemudian ulama tadi menjawab, ― Tidak, kami tidak membatasi waktu
tertentu, karena ini bidah. Namun datanglah kalian dalam minggu-minggu ini, dengan ijin Allah
swt pelajaran dan ceramah akan dimulai.‖
Kemudian mereka datang pada hari sabtu, namun syeikh yang mulia tidak datang. Mereka pun
berkata di dalam hatinya, ―Syaikh yang alim tidak datang‖
Syaikh tidak menentukan waktu belajarnya (karena beliau anggap membatasi waktu tertentu
adalah bidah). Dan sebaliknya ia datng pada hari yang mereka tidak datang. Misalnya hari Jumat,
maka ia tentu tidak dapat menemukan mereka..
Syaikhpun berkata dalam hatinya, ―Mereka itdak menyukai ilmu dan tidak menghendaki
pelajaran‖. Syaikh mencela masyarakatnya, dan masyarakatnya pun berbalik mencelanya.
Kemudian syaikh berkata lagi, ―kalau begitu datanglah lagi dalam minggu-minggu ini untuk
mendengarkan pelajaran‖. Lalu mereka bertanya, ―Hari apa ya ustadz??‖
Syaikh menjawab, ―Kami tidak menentukan hari karena hal itu adalah bidah, tetapi kalian datang
saja…‖. Mereka meminta kepastian dan berkata‖ Jangan demikian, kami telah banyak
kehilangan waktu, tentukanlah waktunya atau pelajaran tidak usah diadakan.‖
Perbincangan itu tidak akan berakhir, kecuali jika syaikh bersedia menetukan waktu khusus
untuk mereka, agar pelajaran bagi mereka dapat terlaksanakan.
Apakah dakwah terkeluar dan bukan dari salah satu cabang ilmu?? Dan apakah berlebih-lebihan ,
jika kami katakana bahwa dakwah adalah induk semua jenis ilmu syari?? Dari dakwahlah ilmu
menjadi bercabang-cabang, dari dakwalah cabang-cabang ilmu dipelajari..
Dan kaum muslimin sejak masa nabi saw hingga sekarang rajin membuat kelompok yang
mempelajari metode dakwah, teknik, dan tujuan-tujuannya. Inilah yang dipelajari oleh fakultas
dakwah, universitas al azhar di kairo mesir, fakultas dakwah di madinah al munawarah, dan
masih banyak di perguruan tinggi dunia islam lainnya..
Lalu sekarang menjadi aneh, jika judul dakwah secara khusus ditolak dan menerima yang
lainnya??
Alloh berfirman, ―Bahkan mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan
sempurna padahal belum datang kepada mereka penjesalannya.‖ (Yunus:39)
Apabila ditanya, apakah mengkhususkan waktu-waktu untuk mempelajari dakwah dan
menyebarkannya kepada umat, sunah atau bidah?? InsyaAlloh akan dijawab tanpa keraguan
didalamnya, Yaitu Sunnah. Bahkan dakwah itu sebagai kewajiban dan pengkhususan waktu
untuk mempelajari dan menyebarkan dakwah nabi saw itu dilakukan oleh sahabat ra,
sebagaimana disebutkan adanya judul dari shohih bukhrori..
Sesungguhnya para sahabat ra pun menentukan waktu untuk mencapai tujuan-tujuan syariat. Dan
dakwah tidak berbeda dengan judul-judul yang disebutkan, seperti ilmu fiqih, hadits, tafsir,
mau‘izhah, dan lain-lain. Sebagaimana pengkhususan waktu untuk mempelajari dan
menyebarkan cabang-cabang ilmu tersebut adalah sunnah—bukan bidah–, maka demikian pula
dakwah, karena semuanya memiliki satu tujuan umum, yaitu mempelajari ilmu dan
menyebarkannya.
Imam bukhori rah menetapkan bahwa penetapan waktu ini adalah jaiz (boleh), karena tanpa
mengadakan demikian, maka dapat mendatangkan kesulitan. Padahal menuntut ilmu hukumnya
wajib, tidak boleh ditinggalkan.
Demikian pula dakwah, maka tidak ada cara keculai dengan menetukan dan mengkhususkan
waktunya, yaitu pada hari yang dapat dihadiri oleh masyarakat, sehingga tidak menyulitkan
mereka serta kehidapanya. Dan tujuannyapun dapat tercapai.
Imam al kasymiri rah dalam faidhil bari, syarah shohih bukhori hal 170, dalam menjelaskan
judul hadits ini, berkata: ― Dia (imam bukhori) memaksudkan penentuan waktu seperti tidak
disebut bidah.
Demi Alloh, demikianlah perasaan setiap orang yang khuruj untuk berdakwah bersama ahli
dakwah dengan waktu-waktu yang telah ditentukan. Berbeda dengan dosa kesombongan yang
merasuk di dalam hati. Ketenangan inilah yang selalu kami lihat terhadapa orang-orang yang
telah diberi nikmat oleh Alloh SWT. Untuk menggunakan setiap tenaganya untuk khuruj dan
meluangkan waktunya untuk berkhidmat kepada agama Allah.
Namun tidak sedikit orang yang menentang, mencela dan mengkritik mereka dalam masalah
waktu-waktu mereka yang digunakan siang dan malam. Mereka juga dengan seenaknya
mengingkari hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban agama Alloh, dan dengan seenaknya
menolak dengan kekuatan mereka, padahal dibelakangnya mereka memiliki lembaran-lembaran
yang menghapus pahala amal mereka dan menyegel perkataaan mereka yang jujur dan hak,
bukan yang palsu dan dusta. (Nazhrah ilmiah fi ahli tabligh wad dakwah:1/67-75)
Perkataan para ulama tabligh tentang penentuan hari
Penyusun kitab ―kewajiban mengajak kepada kitab dan sunnah‖ berkata ― Aku bertanya kepada
syaikh zainul abidin, ― Apa pendapat kalian tentang khuruj 4 bulan dan 40 hari dalam setiap
tahun?? Dan apa dalilnya?? Beliau menjawab, ― Hal ini sekedar untuk (memudahkan
pelaksanaan) tertib.‖
Syaikh umar palanpuri di dalam penjelasannya disalah satu ijtima‘ berkata, ― kami tidak
menemukan didalam alquran dalil-dalil 4 bulan setahun dan juga jamaah jalan kaki. Bahkan yang
kami temukan adalah Alloh telah membeli semua kehidupan dan harta kaum mukmin, dengan
demikian, Alloh telah memerintahkan kami agar keluar (khuruj) setahun atau 4 bulan..Mengapa,
yaitu agar kami membiasakan diri mengorbankan harta dan diri di jalan Alloh.
Kemudian syaikh berkata, ― Baik, siapa yang siap khuruj fi sabilillah 40 hari??‖ lalu ada seorang
pemuda berdiri, dan berkata, ― ya syaikh kenapa hanya 40 hari??lalu syaikh menjawab, ―Baik
siapa yang siap 39 hari??‖ (sawanih syaikh Muhammad umar palanpuri: II/87).
Demikianlah pendapat jumhur ulama dan para ahli ushul fiqih, bahwa pembatasan dan
pengkhususan waktu untuk kepentingan agama tidaklah bertentangan dengan syariat, sehingga
tidak dapat dikatakan bidah.
Dan demikian pula ketetapan para ahli dakwah dan maksud penggunaan waktu-waktu tersebut,
Kami memohon kepada Alloh agar melapangkan dada kami dan membangkitkan semangat kami,
dan semoga syetan tidak menguasai kami atas syariat yang jelas untuk ikut andil dalam
pembahasan ini…
InsyaAlloh kesalahpahaman ini tidak akan bertambah lebar sehingga tidak akan menghambat
umat untuk bersungguh-sungguh dalam agama dan dakwah..amin yaa rabbal alamin…
Perkara Khuruj dan Jumlah Hari
Banyak pandangan yang berhubungan terhadap khuruj fisabilillah (yang dikenal melalui usaha
da‘wah atau lebih dikenal sebagai Jama‘ah Tabligh) dan juga jumlah hari yang dilakukannya,
bahkan terdapat pandangan yang mengatakan bahwa khuruj fisabilillah dan jumlah-jumlah hari
merupakan perkara Bid‘ah yang tidak ada contohnya.
Saudara-saudara,
Assalamu ‗alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kami sebagai bagian dari kaum muslimin tetap menghormati para ulama salafi yang
menyampaikan pandangan-pandangan tidak tepat terhadap usaha da‘wah yang berhubungan
dengan metoda yang dilakukan dalam usaha da‘wah itu sendiri. Tulisan ini merupakan bahasan
terhadap perkara ini, dan kami berusaha untuk tidak langsung pada Ulama salafi tertentu.
Sehingga rasa hormat kami dapat kami pertahankan terhadap kaum muslimin, apalagi terhadap
para ulama atau ustadz.
Sebelum kita sama-sama menelaah terhadap pandangan yang menjelaskan bahwa khuruj
fisabilillah dan jumlah harinya sebagai perkara bid‘ah atau bukan. Marilah kita telah terlebih
dahulu sama-sama memperhatikan beberapa firman Allah swt dan juga sabda Nabi Muhammad
SAW yang menjelaskan tentang kepentingan dan keutamaan amal da‘wah ini.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma‟ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS 3:110)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kita kaum muslimin sebagai ummat terbaik jika menunaikan
syarat-syaratnya yaitu beramar ma‘ruf dan nahi mungkar. Hari ini kita sangat lemah di berbagai
kehidupan karena kita belum tampil seluruhnya untuk menunjukkan bawa kita sebagai manusia
terbaik yang tampil dan memberikan manfaat kepada manusia lainnya. Oleh karena itu jika kita
ingin menjadi ummat terbaik kembali kita harus tampil sebagai pembawa kebenaran tidak hanya
dalam tulisan, tetapi dalam ucapan, hati dan juga amalan kehidupan itu sendiri, sehingga kaum
lain akan melihat terhadap kebenaran dan keberkahan Islam itu sendiri dalam bentuk yang nyata.
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik.” (QS 12:108)
Ayat di atas menjelaskan bahwa pengikut Nabi Muhammad SAW merupakan kaum da‘i, dan hal
ini dibuktikan oleh para shahabat RA semuanya, tidak ada dari mereka ini yang tidak tampil
sebagai da‘i. Dan amal da‘wah yang dilakukan saat itu sangat orisionil atau alami, sehingga
dialog-dialog da‘wah yang terjadi merupakan pelajaran yang sangat berharga kepada kita semua.
Kisah dialog Amar Bin Yasir RA dengan kedua orangtuanya sangat mengagumkan kita saat ini,
karena merupakan dialog yang sangat mudah dan jelas ketika patung sesembahan orangtuanya
hancur jatuh ke tanah.
Amal da‘wah yang sangat orisionil dan alami ini sudah mulai jarang dilakukan oleh kaum
muslimin, meskipun ada tetapi hanya jumlahnya sangat sedikit. Amal da‘wah ini memerlukan
pengorbanan waktu dan pikiran, karena terjadi komunikasi yang interaktif dan dinamis antara
da‘i itu sendiri dengan orang yang dida‘wahinya. Dan kadangkala amal da‘wah seperti ini
memerlukan kesabaran yang tinggi, karena boleh jadi akan mendapatkan kata-kata atau ucapanucapan
yang tidak tepat.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma‟ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-
Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (QS 9: 71)
Ayat ini menjelaskan untuk saling tolong-menolong atau bahu-membahu dalam amar ma‘ruf dan
nahi mungkar. Da‘wah merupakan tugas yang sangat mulia dan juga berat. Sehingga sudah
sepantasnya untuk saling membantu. Dan juga kita perlu memahami bahwa kadangkala ketika
kita terjun dalam lapangan da‘wah ini seringkali mengalami penurunan atau bahkan juga
kesalahan. Sehingga kita sendiri harus saling menasehati satu sama lain dalam perjuanan yang
panjang ini.
“Abu Abdurrahman (Zaid) bin Khalid Al-Juhaini RA berkata: bahwasanya Rasulullah SAW
berkata: Siapa yang menyediakan keperluan orang yang akan berjuang fisabilillah, berarti ia
telah berjuang. Dan siapa yang menjagakan hak-hak orang yang sedang berjuang dengan baik,
berarti ia telah ikut berjuang” (HR Bukhari, Muslim)
Rasulullah SAW sangat menekankan kepada kita kaum muslimin untuk saling membantu dalam
perjuangan Islam ini, meskipun kita tidak mampu ikut serta, tetapi menyiapkan keperluan
perjuangan atau juga menjaga hak-hak orang berjuang, kita sendiri dianggap sebagai bagian
perjuangan itu.
Oleh karena itu meskipun orang itu hanya bisa membantu memasak atau membelikan makanan
ketika menjalankan usaha da‘wah atau khuruj fisabilillah, maka tetap orang ini sedang dalam
berjuang sekalipun orang tidak sangat dalam tentang Islam karena pada prinsipnya adalah sedang
belajar kepada orang yang lebih mengetahui dan membantunya. Inya Allah, perkara ini akan
dibahas dalam tulisannya.
Dan masih banyak lagi sabda Rasulullh SAW yang menjelaskan kepentingan dan perkara yang
berhubungan dengan amal da‘wah ini. Sehingga kita semua perlu memberikan perhatian yang
sungguh-sungguh dengan hal ini. Termasuk juga dengan orang-orang yang mengambil usaha
da‘wah saat ini, sebagai bentuk perwujudan kesungguhan terhadap amal da‘wah dan disamping
juga untuk memperbaiki diri dan melatihan kebiasaan yang baik ketika khuruj fisabilillah.
Sarana dan Metoda Da’wah
Di atas kita sudah sama-sama memperhatikan kepentingan dan juga keutamaan amal da‘wah ini.
Untuk mewujudkan amal da‘wah ini kita membangun cara atau metoda sesuai dengan
kepahaman kita sendiri. Sarana komunikasi dan media cetak dipergunakan untuk mendukung
amal da‘wah ini, termasuk juga para ulama salafi dan juga teman-teman salafi saat ini
memanfaatkan sarana Internet, brosur kecil, majalah, radio untuk menyampaikan amal da‘wah
ini. Dan kita sekarang ini sudah mengetahui banyak terhadap sumber-sumber para salafi saat ini
melalui Internet, brosur kecil majalah ataupun radio.
Internet, Radio, sarana lainnya tidak ada di jaman Rasulullah SAW dan para Shahabat RA,
bahkan tidak ada di jaman generasi sesudahnya. Dan jika ditanyakan apakah sarana ini bid‘ah
karena tidak ada dijaman itu? Maka akan dijawab dengan jelas sekali bahwa sarana itu semuanya
memberikan manfaat yang banyak terhadap penyebaran Islam, dan hal itu tidak merupakan
syariat baru. Sehingga perkara penggunaan sarana komunikasi untuk penyebaran Islam bukan
merupakan bid‘ah.
Kira-kira apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para Shahabat RA untuk
menyampaikan da‘wahnya itu. Metoda atau cara penyampaian Islam di jaman itu sangat orisinil,
bahkan jika dipelajari semua sejarah para Nabi dan Rasul maka metoda ini tidak berubah. Nabi
Muhammad SAW menyampaikan Islam ini dengan cara bertemu langsung dengan orang yang
dida‘wahinya. Begitupun dengan para Shahabat RA ketika menyebarkan Islam.
Agama Islam ini sampai ke Indonesia di jaman dahulu melalui cara apa? Apakah dikirimkan
brosur-brosur atau majalah-majalah? Tidak ada satupun yang melakukan itu, tetapi kaum
muslimin sendiri yang perlu datang dan berkunjung sampai ke Indonesia. Dan selanjutnya adalah
melalui buku atau catatan-catatan untuk proses pengajaran Islam itu sendiri.
Sama halnya dengan khuruj fisabilillah sebagai sarana da‘wah ini. Khuruj fisabilillah lebih
menekankan pada sifat orisinilitas kerja itu sendiri, dimana kita bertemu langsung dengan kaum
muslimin yang lain untuk saling mengingatkan. Sehingga sangat jelas sekali bahwa penyebaran
Islam melalui khuruj fisabilillah atau silaturahmi yang dilakukan oleh orang-orang usaha da‘wah
juga tidak merupakan bid‘ah. Bahkan metoda da‘wah secara silaturahmi atau khuruj fisabilillah
sangat fundamental dan orisinil terhadap penyebaran Islam itu sendiri. Silaturahmi sangat
dianjurkan oleh Islam sendiri.
Disamping hal itu khuruj fisabilillah memberikan banyak manfaat kepada orang-orang yang
mengikutinya. Orang-orang yang lebih faqih dalam agama dapat memberikan penjelasanpenjelasan
Islam kepada yang belum paham dengan baik dalam rombongan itu. Orang-orang
yang sedang belajar Islam dapat berlatih dengan amal-amal Islam. Sehingga ketika kembali ke
rumah masing-masing, mereka dapat terus memegang amal Islam dan juga dapat mempunyai
dorongan untuk belajar lagi tentang Islam kepada ulama atau ustadz yang disekitarnya. Dan juga
khuruj fisabilillah juga dapat memberikan manfaat kepada kaum muslimin yang didatanginya
untuk mendorong memakmurkan masjid-masjid yang dikunjunginya.
Para ulama salafi dan juga teman-teman salafi menyatakan bahwa usaha da‘wah atau metoda
tabligh ini tidak ada di jaman salaf atau juga para ulama khalaf, sehingga beliau-beliau ini
menyatakan bahwa khuruj fisabilillah ini adalah Bid‘ah. Padahal sudah sangat jelas sekali bahwa
Silaturahmi atau khuruj Fisabilillah merupakan metoda untuk menyampaikan Islam itu sendiri
kepada manusia itu sendiri, sama halnya dengan sarana yang sekarang dipergunakan oleh ulama
salafi dan juga teman-teman salafi seperti Internet dan Radio.
Dengan penjelasan ringkas ini, maka pandangan yang menyatakan bahwa metoda khuruj
fisabilillah sebagai bid‘ah karena tidak ada di jaman itu, merupakan yang tidak tepat dan tidak
benar. Karena da‘wah dengan melalui sarana khuruj atau silaturahmi merupakan sebuah cara
atau metoda untuk menyampaikan penyebaran Islam itu sendiri, dan disamping itu juga
silaturahmi sendiri merupakan hal yang sangat dianjurkan oleh Islam sendiri.
Lama waktu Khuruj
Saat ini kita akan sangat mudah mendapatkan pandangan ulama salafi di Internet atau majalah
bahwa waktu lama khuruj fi sabilillah 3 hari, 40 hari dan 4 bulan di anggap sebagai bid‘ah,
dikarenakan tidak ada di jaman Rasulullah SAW dan juga para Shahabat RA, bahkan generasi
para ulama sesudahnya. Kerangka yang dipergunakannya selalu karena tidak ada di jaman
Rasulullah SAW dan para Shahabat RA, maka dikatakan sebagai Bid‘ah. Jelas kerangka ini tidak
dapat membangun kerangka berpikir kaum muslimin secara lebih jernih.
Kita sudah sepakat bahwa amal da‘wah merupakan amalan Islam yang sangat penting dan
fundamental untuk kebangkitan dan pertumbuhan ummat Islam sendiri. Hanya saja kadangkala
metoda dan cara sesuai dengan perkembangan ummat Islam itu sendiri. Untuk memberikan
penjelasan bahwa pandangan tentang jumlah hari untuk da‘wah dikatakan sebagai bid‘ah
merupakan pandangan yang tidak tepat. Kami akan berikan contoh yang sederhana saja.
Beberapa ulama salafi atau juga kaum muslimin saat ini banyak yang mengikuti program S1, S2
dan S3 untuk mendalami agama kita ini, Al-Islam, di perguruan tinggi atau universitas yang
cukup berbobot di dunia, seperti Universitas Islam di Saudi Arabia dan Mesir. Bahkan beberapa
ulama salafi sendiri mendapatkan gelar DR dalam bidang keislaman di universitas-universitas
itu.
Pola pendidikan S1, S2, S3 mempunyai waktu lama pendidikan yang sudah teratur sesuai dengan
pengelolaannya masing-masing universitas, misalnya untuk S1 selama 5 tahun, S2 selama 2
tahun, S3 selama 3 tahun. Pola pendidikan ini tidak ada di jaman Rasulullah SAW dan para
Shahabat RA untuk mendalami Al-Islam ini, bahkan tidak ada di jaman para ulama beberapa
generasi sesudahnya.
Pola pendidikan S1, S2, S3 merupakan pola pendidikan yang dikembangkan di dunia barat untuk
mendalami satu bidang tertentu. Kita tidak dapat mengatakan bahwa karena tidak ada di jaman
Rasulullah SAW dan para shahabat RA merupakan perkara bid‘ah, sama halnya terhadap pola
pendidikan S1, S2, dan S3 yang dipergukan untuk proses belajar-mengajar dalam keislaman.
Pola khuruj fisabilillah dengan waktu yang ditetapkan apakah 3 hari, 40 hari atau 4 bulan atau
waktu yang sesuai dengan kemampuan merupakan pola pengelolaan untuk memudahkan bagi
kita kaum muslimin. Sama halnya dengan pendidikan S1, S2 dan S3 tadi. Oleh karena itu, kita
juga tidak dapat mengatakan proses lama khuruj fisabilillah sebagai bid‘ah atau bertentangan
dengan syariat Islam itu sendiri, karena proses ini merupakan proses pengelolaan terhadap amal
da‘wah itu sendiri. Sama halnya dengan pengelolaan S1, S2, dan S3 sebagai sarana pengelolaan
pengajaran Islam itu sendiri.
Rasulullah SAW dan para Shahabat RA mempunyai pengorbanan yang luar biasa untuk
menyebarkan dan membangun Islam itu sendiri. Kisah Rasulullah SAW pergi ke Thoif. Kisah
Musyaib Bin Umair RA menyebarkan Islam di Madinah sebelum hijrah. Disamping itu para
shahabat RA kadangkala dikirim oleh Rasulullah SAW untuk menyampaikan Islam ke tempat
lain, dan beliau-beliau ini meninggalkan keluarga untuk menyampaikan Islam ini tidak dibatasi
waktu, karena saat itu kaum muslimin mempunyai kekuatan dan keteguhan yang sangat baik.
Para ulama yang mendalami usaha da‘wah ini sangat memahami bahwa perbedaan kemampuan
kaum muslimin saat ini dengan kaum muslimin di jaman Rasulullah SAW dan para Shahabat
RA. Saat ini kaum muslimin sangat lemah untuk belajar Islam, bahkan sangat terpengaruh
dengan kecintaan dunia yang melingkunginya. Oleh karena para ulama menyusun pola waktunya
dalam bentuk yang lebih standar dan mudah dilakukannya. Kisah-kisah di jaman Rasulullah
SAW dan para Shahabat RA memberikan banyak pelajaran tentang hal ini.
Pandangan beberapa ulama salafi dan teman-teman salafi terhadap lama waktu 3 hari, 40 hari
atau 4 bulan dalam khuruj fisabilillah sebagai bid‘ah atau bahkan disebutkan sebagai syariat
baru, merupakan pandangan yang tidak tepat.
Kami cukup lama mendalami usaha da‘wah ini tidak hanya terlibat ke dalam aktifitasnya, tetapi
juga kami berusaha mencari pendalaman terhadap usaha da‘wah ini. Sehingga beberapa
pandangan yang tidak tepat dilontarkan terhadap usaha da‘wa ini, kami cobakan berikan
penjelasan untuk saling membangun kaum muslimin di masa depan.
Kami sampaikan perkara ini agar kita semua memahaminya, bahwa beberapa ulama dan juga
teman-teman salafi yang mempunyai pandangan dengan metoda khuruj fisabilillah yang saat ini
sudah tersebar ke seluruh dunia sebagai perkara bid‘ah merupakan pandangan yang tidak tepat
dan keliru. Dan kami berikan alasan logis terhadap hal ini. Tetapi kita semua harus saling
menghormati di lingkungan kaum muslimin.
Dan tulisan ini bukan untuk saling berbantah-bantahan, tetapi untuk saling membangun kaum
muslimin di masa depan. Sehingga jika terdapat kalimat yang lancang dan tidak hormat kepada
kaum muslimin terutama terhadap para ulama dan penuntut ilmu, kami mohon maaf kepada
semuanya. Dan kami menganjurkan kepada teman-teman salafi untuk membawakan tulisan kami
ini kepada para ulama atau ustadz salafi.
Insya Allah, kami akan sampaikan kembali beberapa perkara untuk diketahui oleh kaum
muslimin. Terimakasih atas perhatiannya, mudah-mudahan pandangan hal ini memberikan
manfaat.
Para Sahabat Keluar ke Jalan Allah:
Sebanyak 150 jemaah telah dikeluarkan dari Madinah dalam masa 10 tahun tersebut. Baginda
s.a.w. sendiri telah menyertai 25 daripada jemaah-jemaah tersebut. Sebahagian jemaah tersebut
terdiri daripada 10,000 orang, ada yang 1,000 orang, 500 orang, 300 orang, 15 orang, 7 orang
dan sebagainya. Jemaah-jemaah ini ada yang keluar untuk 3 bulan, 2 bulan, 15 hari, 3 hari dan
sebagainya. 125 jemaah lagi sebahagiannya terdiri daripada 1000 orang, 600 orang, 500 orang
dan sebagainya dengan masa 6 bulan, 4 bulan dan sebagainya. Sekiranya kita menghitung
dengan teliti maka akan didapati purata masa yang diberikan oleh setiap sahabat untuk keluar ke
jalan Allah dalam masa setahun ialah antara 6 hingga 7 bulan.
(Petikan Bayan Maulana Yusuf: USAHA RASULULLAH SAW DAN SAHABAT RA DALAM
KEHIDUPAN MADINAH)
Sahabat r.hum keluar 5 tahun:
Pada tahun 627M satu rombongan sahabat-sahabat Nabi S.A.W yang diketuai oleh Wahab bin
Abi Qabahah telah mengunjungi Riau dan menetap selama 5 tahun di sana (sebelum pulang ke
Madinah)
(dipetik dari kitab ‗Wali Songo dengan perkembangan Islam di Nusantara‘,
oleh Haji Abdul Halim Bashah, terbitan Al Kafilah Enterprise, Kelantan, 1996, m/s 79, bab 9,
ISBN 983-99852-8-0)
Sahabat r.hum keluar 6 bulan:
Bara r.a meriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w telah mengutus Khalid ibne-Walid r.a kepada
penduduk Yamen untuk mengajak mereka masuk Islam. Bara berkata: Aku juga termasuk dalam
jamaah itu. Kami tinggal di sana selama 6 bulan. Khalid r.a kerap mengajak mereka untuk masuk
Islam, tetapi mereka menolak ajakannya.
Kemudian Rasulullah s.a.w mengutus ‗Ali ibne-Abi Talib r.a ke sana dan memerintahkan kepada
Khalid r.a. untuk kembali dengan seluruh jamaah kecuali salah seorang dari jamaah Khalid r.a.
yang mahu menemani Ali r.a, maka ia boleh ikut serta dengan Ali r.a. Bara r.a berkata: Akulah
yang menemani Ali r.a. selama di sana. Ketika kami betul-betul dekat dengan penduduk Yaman,
maka mereka keluar dan dan datang kehadapan kami. Lalu Ali r.a. mengatur saf mereka untuk
mengerjakan solah dan Ali yang menjadi imam dalam solah kami. Selesai solah, Ali r.a
membacakan isi surat Rasulullah s.a.w kepada mereka. Setelah mendengar isi surat Rasulullah
s.a.w itu maka seluruh Bani Hamdan masuk Islam.
Kemudian Ali r.a. menulis surat kepada Rasulullah s.a.w yang kandungannya memberitahukan
tentang keislaman mereka kepada baginda. Setelah isi surat tersebut dibacakan kepada
Rasulullah s.a.w, maka baginda langsung sujud syukur kepada Allah s.w.t. Setelah mengangkat
kepala, baginda berdoa: Keselamatan bagi Bani Hamadan. Keselamatan bagi Bani Hamadan.
(Bukhari, Baihaqi, Bidayah-wan-Nihayah)
(Dipetik dari kitab Muntakhab Ahadith, bab Dakwah dan Tabligh, hadith 108)
Keluar 4 bulan:
Ibn Juraij berkata: ―Ada seseorang yang menceritakan kepada saya bahwa pada suatu malam
ketika Umar r.a sedang berkeliling (ghast/jaulah) di sekitar lorong-lorong kota Madinah, tiba-tiba
beliau mendengar seorang wanita sedang mengungkapkan sya‘ir:
Betapa panjang malam ini dan betapa gelap di sekelilingnya. Daku tidak boleh tidur kerana tiada
yang tersayang yang boleh ku ajak bercumbu. Andai bukan kerana takut berdosa kepada Allah
yang tiada sesuatu pun dapat menyamaiNya, sudah pasti ranjang ini goyang oleh yang lainnya.
Ketika Umar r.a mendengar syairnya itu, maka dia bertanya kepada wanita tersebut, ―Apa yang
terjadi padamu?‖ Wanita itu menjawab, ―Saya sangat merindukan suami saya yang telah
meninggalkan saya selama beberapa bulan.‖ Umar r.a. betanya, ―Apakah kamu bermaksud
melakukan hal yang buruk?‖ Wanita itu menjawab, ―Saya berlindung kepada Allah.‖ Umar r.a.
berkata, ―Kuasailah dirimu! Sekarang saya akan mengutus orang untuk memanggil suamimu.‖
Setelah itu Umar r.a. bertanya kepada anak perempuannya Hafsah r.anha, ―Aku akan bertanya
padamu mengenai sesuatu masalah yang membingungkan aku, mudah-mudahan kamu boleh
memberi jalan keluar untukku. Berapa lama seorang wanita mampu menahan kerinduan ketika
berpisah dari suaminya?‖ Mendengar pertanyaan itu, Hafsah r.anha menundukkan kepala merena
merasa malu. Umar r.a. berkata, ― Sesungguhnya Allah tidak pernah merasa malu dalam hal
kebaikan.‖ Hafsah menjawab sambil berisyarat dengan jari tangannya, ―Tiga sampai empat
bulan.‖
Kemudian Umar r.a. menulis surat kepada setiap amir (pimpinan) pasukan tentera Islam supaya
tidak menahan anggota pasukannya lebih dari 4 bulan.‖
(Riwayat Abdur Razzaq dalam kitab Al-Kanz Jilidl VIII, m/s.308).
Ibnu ‗Umar r.a mengatakan bahawa pada suatu malam Umar r.a. keluar (untuk melihat ehwal
orang ramai), tiba-tiba beliau mendengar seorang wanita sedang bersya‘ir:
Betapa panjang malam ini dan betapa gelap di sekelilingnya. Aku tidak boleh tidur kerana tiada
yang tersayang yang boleh ku ajak bercumbu. Kemudian Umar r.a. bertanya kepada Hafsah
r.anha, ―Berapa lama wanita dapat bertahan tidak bertemu dengan suaminya?‖ Hafsah r.anha
menjawab, ―Enam atau empat bulan.‖ Maka Umar r.a. berkata,
―Untuk selanjutnya saya tidak akan menahan tentera lebih dari masa itu.‖
(Hr. Baihaqi dalam kitabnya jilid IX m/s 29)
[seperti yang dipetik dari kitab Hayatus Sahabah, bab Al-Jihad]
Keluar 40 hari:
―Seorang lelaki telah datang kepada Saiyidina Umar ibnu Khattab r.a. maka Saiyidina Umar r.a.
pun bertanya: Di manakah engkau berada? Dijawabnya: Saya berada di Ribat. Saiyidina Umar
r.a. bertanya lagi: Berapa hari engkau berada di Ribat itu? Jawabnya tiga puluh hari. Maka
berkata Saiyidina Umar r.a.: Mengapa kamu tidak cukupkan empat puluh hari?
(Kanzul Ummal, Juzuk 2 muka surat 288, dipetik dari kitab ‗Risalah ad Dakwah – Apa itu
Dakwah Tabligh‘, susunan Hj. Abdul Samad Pondok Al Fusani Thailand, terbitan Perniagaan
Darul Khair, 1988)
Keluar 3 Hari:
Daripada Ibnu Umar r.a. berkata: Nabi s.a.w telah memanggil Abdul Rahman bin Auf r.a. lalu
bersabda: Siap sedialah kamu, maka sesungguhnya aku akan menghantar engkau bersama satu
jama‘ah maka menyebut ia akan hadis dan katanya: Maka keluarlah Abdul Rahman hingga
berjumpa dengan para sahabatnya, maka berjalanlah mereka sehingga sampai ke suatu tempat
pertama bernama Daumatul Jandal, maka manakala ia masuk ke kampung itu ia mendakwah
orang-orang kampung itu kepada Islam selama tiga hari. Manakala sampai hari yang ketiga dapat
Islamlah Asbagh bin Amru al Kalbi r.a. dan adalah ia dahulunya beragama Nasrani dan ia ketua
di kampung itu.
(Hadith riwayat Darul Qutni, dipetik dari kitab ‗Risalah ad Dakwah – Apa itu Dakwah Tabligh‘,
susunan Hj. Abdul Samad Pondok Al Fusani Thailand, terbitan Perniagaan Darul Khair, 1988)
Fatwa Ulama:
Oleh Mufti Ebrahim Desai, Darul Ifta, Madrasah In‘aamiyyah, Camperdown, South Africa.
Istilah, ‗Tashkil‘ (yang biasa digunakan dalam Jamaah Tabligh), bermaksud menyeru orang
ramai kaum Muslimin untuk memberi masa mereka, untuk keluar ke Jalan Allah bagi tujuan
pengislahan diri dan membuat kerja dakwah dan tabligh dalam jangka masa tertentu, seperti 3
hari, 10 hari, 15 hari, 40 hari, 4 bulan, 7 bulan, 1 tahun dan sebagainya.
Jangkamasa tersebut bukan satu kemestian tapi ianya hanya dianjurkan seperti mana seseorang
yang mengikuti kursus kecemasan (first aid), misalnya, dianjurkan untuk mengikuti kursus
praktikal selama sebulan. Walaupun tidak bermakna yang dia terus akan jadi doktor pakar,
sekurang-kurangnya dia tahu apa yang perlu dia lakukan semasa kecemasan. Begitu juga,
seseorang yang keluar ke Jalan Allah selama 3 hari, atau 40 hari, atau 4 bulan dan sebagainya,
bukan bermakna dia telah menjadi seorang yang ahli atau pakar dalam Syariah, tapi sekurangkurangnya
dia tahu apa kehendak-kehendak asas dalam Syariah.
Lebih lama masa yang dia berikan untuk keluar ke Jalan Allah, lebih banyak dia akan belajar dan
menyempurnakan dirinya sebagai seorang Mukmin. Jangkamasa keluar tersebut bukanlah
kriteria yang diwajibkan mengikut Syariah.. Dan Allah Maha Mengetahui.
(Mufti Ebrahim Desai, FATWA DEPT, Jawapan No. 2611)
Mereka berkata: Orang-orang Tabligh membuat bida‘ah berupa keluar di jalan Allah secara
berjemaah dan membatasi masa keluar 3 hari, 40 hari dan 4 bulan.
Kami katakan:
Sesungguhnya keluar untuk memperbaiki diri adalah seperti keluar untuk menuntut ilmu dan
hidayah. Juga seperti keluar untuk mendakwah manusia kepada Allah dan mengajar mereka halhal
yang bermenafaat di dunia dan akhirat. Semuanya itu adalah keluar di Jalan Allah, apabila di
landasi niat yang benar dan untuk mengapai redha Allah s.w.t, bukan untuk memperolehi harta
dan penghormatan atau untuk hiburan, permainan dan kebatilan.
Adalah termasuk kelakuan bodoh atau pura-pura bodoh apabila ada orang yang mengingkari
keluarnya Jemaah Tabligh untuk kepentingan hidayah bagi manusia, mengajar mereka,
memperbaiki diri mereka dan mendidik rohani mereka.
Padahal Rasulullah s.a.w bersabda, ―Sepetang atau sepagi keluar di jalan Allah, lebih baik
daripada mendapatkan dunia dan segala isinya.
Juga sabda Rasulullah s.a.w, ―Barangsaiapa mendatangi masjid ini, semata-mata untuk kebaikan
yang ia ajarkan atau ia pelajari, laksana mujahid fi sabilillah.‖
Dan banyak lagi hadith sahih dan hassan yang mengajarkan dan memberi semangat untuk keluar
di Jalan Allah. Alangkah ajaibnya perkataan mereka bahawa keluarnya Jemaah Tabligh adalah
bida‘ah! Dan lebih ajaib lagi mereka berhujah terhadap ―keluar fi sabilillah secara berjemaah
adalah bida‘ah‖ dengan jangkaan mereka bahawa Rasulullah s.a.w mengirimkan Mu‘az r.a ke
Yaman bersendirian saja dan tidak berjemaah.
Mereka lupa atau tidak tahu bahawa Rasulullah s.a.w tidak mengirimkan Mu‘az r.a sendirian
tetapi mengirimkan Abu Musa Al Asy‘ary r.a bersamanya. Baginda s.a.w bersabda kepada
keduanya, ―Gembirakanlah mereka dan jangan kalian buat mereka lari. Mudahkan mereka dan
jangan kalian menyusahkan. Bertolong-tolonglah kalian dan jangan berselisih.‖
Juga beliau mengirimkan Ali bin Abi Talib dan Khalid bin Sa‘id bin al Ash r.huma. Bersama
mereka baginda s.a.w mengirimkan rombongan besar untuk dakwah, ta‘lim dan memutuskan
perkara diantara manusia.
Tentang pembatasan masa keluar yang mereka katakan sebagai Bidaah, adalah peraturan dakwah
sebagaimana peraturan sekolah dan universiti yang mengenal batasan masa belajar dan
kerehatan, untuk menyiapkan bekal dan perbelanjaan selama masa keluar. Apakah dengan
demikian, orang-orang Tabligh dianggap membuat bida‘ah kerena mereka mengatur hari-hari
untuk kepentingan dan khuruj fi sabilillah (keluar di jalan Allah)?
Alhamdulillah.
Ditulis oleh Sheikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy,
Mudir di Masjid Nabawi dan Universiti Madinah Al-Munawarrah
Dipetik dari buku ―Menyingkap Tabir Kesalahfahaman Terhadap Jemaah Tabligh
Abu Abil Hasan (bekas pelajar Darul Uloom Faisalabad Pakistan) menulis:
Dakwah dan Tabligh ialah kerja para Anbiya. Dan inilah juga usaha yang telah
dipertanggungjawabkan oleh Allah kepada seluruh umat Islam. Maksud kepada usaha ini ialah
supaya seluruh manusia dapat mengamalkan keseluruhan agama. Usaha untuk menghidupkan
agama ini tidak memadai dengan hanya memberi masa 3 hari 40 hari dan 4 bulan. Bahkan harus
berjuang dan berjihad seumur hidup kita.
Ini telah dijelaskan oleh Allah SWT didalam al-Qur‘an:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri mereka dan harta mereka
dengan (balasan) syurga untuk mereka (disebabkan) mereka berperang dijalan Allah: maka
(diantara) mereka ada yang membunuh dan terbunuh. (Balasan Syurga yang demikian ialah)
sebagai janji yang benar yang ditetapkan oleh Allah didalam Taurat Injil dan Al-Qur‘an; dan
siapakah lagi yang lebih menyempurnakan janjinya daripada Allah? Oleh itu bergembiralah
dengan jualbelinya itu dan (ketahuilah bahawa) jualbeli (yang seperti itu) ialah kemenangan yang
besar. (At-Taubah ayat 111).
Dalam ayat yang tersebut diatas Allah telah membeli dan meminta keseluruhan hidup orangorang
mukmin dan harta mereka untuk berjuang menegakkan agama Allah. Bukan setakat 4
bulan 40 hari sahaja. Tetapi malangnya pada hari ini umat Islam untuk melaksanakan satu
perintah Allah yang paling besar iaitu sembahyang yang hanya mengambil masa beberapa minit
sahaja pun sudah tidak ada masa kerana sibuk dengan fikir dan kerja-kerja dunia. Apa lagi untuk
keluar seumur hidup.
Umat hari ini telah jauh daripada agama. Kemampuan yang ada pada mereka juga berbeza-beza.
Melalui panduan Al-Qur‘an dan Hadith, para Ulama‘ dan masyaikh di dalam jemaah ini telah
menetapkan nisab yang mampu diikuti oleh setiap umat Islam. Memanglah tidak ada ayat Al-
Qur‘an yang memerintahkan untuk keluar bertabligh selama 4 bulan dan 40 hari tetapi bilangan
dan angka ini banyak terkandung didalam Al-Qur‘an dan hadith.
Kenapakah angka-angka ini tercatit didalam Al-Qur‘an dan Hadith? Sudah pasti ada hikmahnya
di sebalik angka itu. Disini saya nukilkan beberapa riwayat dan pandangan Ulama‘ betapa
hikmahnya bilangan hari-hari tersebut.
1. Hikmah keluar tiga hari
i. Suasana amat mempengaruhi seseorang itu. Seorang yang duduk di dalam suasana Iman dan
akhlak yang baik dan dipenuhi dengan ibadat dalam masa tiga hari sudah pasti akan
membenihkan satu suasana dan kejernihan hati didalam sanubari seseorang itu. Di zaman Nabi
s.a.w orang-orang kafir yang ditawan akan dikurung didalam masjid. Tujuannya ialah supaya
mereka dapat melihat amalan-amalan orang Islam didalam masjid.
Didalam Sahih Bukhari jilid kedua bab Maghazi dinukilkan bahawa seorang lelaki bernama
Sumamah bin Ausal dari banu Hanafiah telah ditawan dan diikat didalam masjid Nabawi.
Selama 3 hari beliau telah melihat amalan orang Islam yang sibuk dengan amalan dakwah.
belajar dan mengajar. beribadat dan berkhidmat diantara satu sama lain.
Hari yang pertama beliau ingkar untuk menerima Islam. Begitu juga pada hari yang kedua. Pada
hari yang ketiga baginda Rasulullah s.a.w telah membebaskannya. Setelah dibebaskan dari
tawanan beliau merasai sesuatu didalam hatinya lantas beliau mandi dan datang semula ke
masjid Nabawi dan bertemu dengan baginda Rasulullah s.a.w dan terus memeluk agama Islam.
Betapa besarnya perubahan pada diri Sumamah yang amat berkesan dengan amalan masjid pada
ketika itu. Dalam masa tiga hari menjadi sumber hidayat kepadanya.
ii. Jemaah-jemaah yang dihantar oleh baginda Rasulullah s.a.w atas maksud dakwah atau
berjihad akan diberi penerangan tertib dan usul bagaimana untuk berdakwah dan berperang.
Diantaranya ialah:
• Jangan memerangi mereka sebelum diberi dakwah selama 3 hari.
• Jangan membunuh kanak-kanak. wanita dan orang-orang tua yang lemah dikalangan mereka.
• Jangan membuat kerosakan pada harta benda. tanam-tanaman dan membunuh binatang
ternakan.
Kenapa baginda memberi tempoh selama 3 hari dengan memberikan dakwah terlebih dahulu
sebelum memulakan peperangan?
Ini ialah pengajaran daripada baginda Rasulullah s.a.w bahawa didalam Islam tidak ada
peperangan tanpa memberi dakwah terlebih dahulu. Melalui amalan dakwah selama 3 hari ini
orang-orang kafir akan melihat muamalah dan akhlak orang-orang Islam terhadap orang kafir
sendiri. Ini sudah pasti akan mempengaruhi jiwa mereka dan memeluk agama Islam.
Kisah ini terkandung didalam Hayatus Sahabah dimana baginda Rasulullah s.a.w telah
menghantar Abdul Rahman bin Auf r.a. ke satu tempat bernama Daumatul Jandal sebagaimana
berikut:
Sehingga beliau sampai ke Daumatul Jandal lantas beliau mendakwahkan kepada mereka
(penduduk Daumatul jandal) selama tiga hari supaya memeluk agama islam. Maka pada hari
yang ketiga Asbagh bin Amar Al Kalbi telah memeluk agama Islam. Beliau ialah seorang
nasrani dan ketua di kalangan mereka.
iii. Hadzrat Zakaria a.s seorang Nabi yang telah tua. Apabila Allah s.w.t mahu mengurniakan
anak kepadanya beliau bertanya ―Wahai Allah apakah tandanya yang engkau akan mengurniakan
anak kepadaku sedangkan aku telah tua? Allah s.w.t menjawab sebagaimana didalam Al-Qur‘an:
Tandanya bagimu kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari kecuali
dengan isyarat. Berzikirlah kepada Tuhanmu sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah diwaktu pagi
dan petang (Ali Imran ayat 41)
Para mufassirin berkata tanda diterimanya doa Hadzrat Zakaria a.s ialah dia tidak boleh bercakap
selama tiga hari kecuali dengan isyarat. Pada masa itu Allah s.w.t telah memerintahkan Hadzrat
Zakaria a.s supaya berzikir sebanyak-banyaknya dan meninggalkan perkataan-perkataan dunia
untuk menambah penghampirannya kepada Allah.
Daripada ayat ini para ulama‘ berpendapat bahawa sekiranya manusia dapat mengasingkan diri
keluar dijalan Allah selama tiga hari dengan membersihkan diri dari fakir dunia. meninggalkan
percakapan dunia dan menyibukkan diri dengan amalan dakwah. beribadah. belajar dan
mengajar dan duduk dalam suasana agama sudah pasti akan memberi kesan didalam hati
sanubari seseorang itu. Cinta pada agama akan datang. manusia akan membersihkan dir i
daripada dosa. bertaubat dan lebih hampir kepada Allah s.w.t.
Demikianlah hikmah yang terdapat didalam masa tiga hari. Isyarat dari Al-Qur‘an dan athar As-
Sahabah inilah yang menjadi saranan oleh ahli jemaah Tabligh supaya setiap orang dapat
melapangkan masa selama tiga hari. Disamping itu ia juga akan menimbulkan keghairahan untuk
belajar agama dan mengislahkan diri sendiri.
(Abu Abil Hasan Abn Musa – Soal Jawab Agama: Membahaskan Masalah Terkini Dalam
Fekah: Bahagian Pertama – Klang Book Centre – Cetakan Pertama 2004 – m/s 260 – 266)
Dalil dan hikmahnya keluar 40 hari
Ramai orang mempersoalkan masalah ini. Dari manakah orang-orang tabligh ini mengambil dalil
supaya keluar 40 hari. Sebenarnya bilangan 40 hari ini telah banyak disebut didalam al-Qur‘an
dan Hadith. Keberkatan yang ada padanya telah jelas apabila Allah s.w.t sendiri telah
memerintahkan Musa a.s supaya menambah bilangan hari untuk bermunajat kepada Allah
sebagaimana didalam al-Qur‘an.
Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa (memberi Taurat) sesudah berlaku 30 malam dan
Kami telah sempurnakan waktu yang telah ditetapkan oleh Tuhannya dengan sepuluh malam.
Maka genaplah dari Tuhannya selama empat puluh malam (Al A‘raf 142)
Begitulah juga didalam Surah al Baqarah ayat 51. Allah s.w.t menyebut dengan janji-Nya kepada
Nabi Musa a.s untuk mengurniakan Taurat setelah bermunajat selama empat puluh malam.
Didalam hadith baginda s.a.w banyak sekali menyebut tentang bilangan 40 ini. Diantaranya ialah
hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas‘ud r.a beliau berkata daku mendengar Rasulullah s.a.w
bersabda:
Sesungguhnya salah seorang daripada kamu dicipta didalam perut ibu selama 40 hari sebagai
nutfah kemudian 40 hari menjadi seketul darah kemudian menjadi segumpal daging kemudian
dihantar kepadanya seorang malaikat untuk meniupkan roh dan menulis kepadanya empat
kalimat… (HR Muslim)
Dalam hadith yang lain ada dinukilkan bahawa barangsiapa bersembahyang selama 40 hari
berjemaah tanpa ketinggalan takbiratul u-la akan mendapat dua jaminan. Satu keselamatan
daripada neraka dan kedua bebas dari nifaq.
Hazdrat Abdullah bin Abbas r.a berkata dihari kematian anak lelakinya, ―lihatlah berapa ramai
orang yang berada diluar‖. Hambanya berkata orang ramai telah berkumpul. ―Adakah telah
cukup empat puluh orang?‖ Mereka menjawab ―Ya, telah cukup‖. Abdullah bin Abbas r.a
berkata ―hadirilah sembahyang jenazah kamu aku mendengar baginda s.a.w bersabda manamana
orang Islam yang meninggal dunia dan disembahyangi oleh 40 orang yang tidak
melakukan syirik melainkan telah menjadi hak kepada si mayat bahawa jaminannya pasti
diterima‖.
Dalam hadith yang lain baginda s.a.w bersabda:
―Barangsiapa mengikhlaskan dirinya kepada Allah selama 40 hari akan zahir sumber-sumber
hikmah daripada hati melalui lidahnya‖.
Banyak lagi hadith yang seumpama dengan ini yang menunjukkan keberkatan dan keutamaan
pada tempoh atau bilangan 40 hari ini. Kita dapat melihat seorang yang keluar dijalan Allah
melatihkan dirinya dalam menjalani ketaatan selama 40 hari sudah pasti amalan ini akan terus
dilakukan ketika berada di rumah atau dikampungnya.
Daripada hadith-hadith dan pandangan nuraniah inilah maka masyaikh dan ulama‘ di dalam
usaha ini menyarankan supaya setiap orang dapat melapangkan masa selama 40 hari mempelajari
usaha dakwah dan mengislahkan diri masing-masing.
Sumber:
(Abu Abil Hasan Abn Musa – Soal Jawab Agama: Membahaskan Masalah Terkini Dalam
Fekah: Bahagian Pertama – Klang Book Centre – Cetakan Pertama 2004 – m/s 266 –)
Menurut Jamaah Tabligh, khuruj itu kewajiban bukan? Kalau dakwah, oke lah kewajiban
setiap mukmin. Tapi metode khuruj ini kewajiban bukan?
Da‘wah merupakan tanggung jawab kaum muslimin, dan metoda untuk menjalankan da‘wah ini
beragam untuk dilakukan. Tentunya orang-orang yang mempunyai akal dan berpikiran akan
bertanya-tanya kenapa jaman Rasulullah SAW dan para Shahabat RA bisa tersebar ke berbagai
lapisan dan daerah, padahal di jaman itu tidak ada media seperti yang sekarang, tidak ada TV,
tidak internet, tidak ada radio? Kenapa di jaman itu bisa tersebar dengan luas, padahal juga jika
dilihat di jaman itu awalnya sangat lemah dan jumlahnya sedikit? Kenapa hal itu terjadi?
Terus juga akan bertanya lagi kepada bangsa kita sendiri. Kenapa Al-Islam bisa tersebar di
Indonesia? Bukankah di Indonesia mayoritas bukan beragama Islam sebelumnya, melainkan
agama hindu ataupun anisme? Kenapa bisa tersebar di jaman itu? Islam tidak disebarkan melalui
burung ataupun berita-berita di media? Kenapa bisa tersebar ke seluruh nusantara? Kenapa hal
itu terjadi?
Kenapa meskipun media banyak, TV, Internet, Radio, tetapi kenapa banyak juga orang-orang
muslim yang berpindah ke dalam agama lain? Kenapa hal itu bisa terjadi? Begitupun dengan
orang Islam yang pergi ke Eropa, begitu pindah dulu-dulu banyak yang berubah, yang
menggunakan jilbab akhirnya menggunakan celana bikini seperti mereka yang ada di Eropa
kebanyakannya? Kenapa hal itu terjadi? Kenapa juga ada orang-orang Indonesia dari jawa yang
pergi ke Australia, awalnya mereka itu sholat, tetapi lama-lama turun-turunan mereka lupa
dengan agama Al-Islam yang mulia. Kenapa hal itu terjadi? Bukankah telah banyak kitab
dicetak?
Khuruj itu salah satu metoda penyebaran, dan juga menyebarkan da‘wah melalui media
cetak/elektronik itu metoda juga. Kedua-duanya mempunyai peran dalam penyebaran Islam,
tetapi tentunya kita harus memahami karakter-karakternya. Kita tidak mungkin melepaskan
metoda yang satu, dikarenakan ada metoda lainnya. Begitupun kita tidak mungkin meninggalkan
metoda yang asli, karena begitu banyak metoda pilihan lainnya. Metoda yang satu tentunya akan
bersifat menyeluruh untuk ummat, tetapi metoda lainnya hanya bisa dijalankan secara pribadipribadi
yang memang mampu.
Khuruj ini tentunya mempunyai pasangannya, oleh karena itu perlu juga memperhatikan
pasangannya yaito maqomi sebagai tempat kita membuat kerja da‘wah di tempat sendiri,
sedangkan Khuruj untuk melakukan penyebaran da‘wah Islam ke tempat lain. Khuruj ini jelas
merupakan pola penyebaran yang asli, karena di jaman Nabi dan juga para Shahabat RA ini
merupakan pola yang ada bahkan jika kita membaca kisah-kisah para Ulama, maka khuruj ini
merupakan hal yang biasa, seperti halnya ketika penyebaran Islam di nusantara, tentunya para
Ulama itu datang bukan dengan menyebarkan buletin ataupun media lainnya.
Tentunya aktifitas da‘wah itu sendiri beragam ketika dijalankan ketika khuruj ataupun maqomi,
tentunya juga perlu bertemu langsung dengan kaum muslimin khususnya ataupun manusia
lainnya. Cukup aneh kita mengajak kaum agama lain, sedangkan kita tidak mengingatkan ummat
kaum muslimin sendiri. Dalam da‘wah ini tentunya ada yang disampaikan melalui (1) penjelasan
umum secara ijtimaiyyah (ceramah umum), ada juga dalam bentuk (2) khususi bertemu ke
kalangan yang khusus seperti alim, ustadz, sesepuh, ataupun masyarakat yang perlu dikunjungi
(3) da‘wah umumi dimana kita bertemu dengan kaum muslimin secara langsung apakah di
rumahnya ataupun di jalanan, (4) da‘wah secara infirodhiyyah, dimana bisa dari hati ke hati
untuk menyampaikan agama ketika di masjid atau sedang tenang.
Khuruj dan aktifitas da‘wah baru akan bermakna jika dilakukan bertemu langsung serta juga
dengan biaya sendiri dan jiwa sendiri. Lalu kita berpikir, bagaimana dengan awalnya Al-Islam,
apakah langsung bertemu? Jelas kita akan menjawab bertemu dengan langsung, dan tersebarnya
melalui perjalanan itu sendiri.
Jadi Khuruj dan aktifitas da‘wah langsung itu merupakan metoda asli yang tidak boleh berhenti
untuk ummat Islam, tetapi bukan berarti metoda pilihan lainnya tidak perlu diperhatikan, seperti
TV, Radio, CD dsb, tetapi metoda pilihan ini juga tidak boleh dijadikan sebagai pengganti dari
metoda asli yang sebenarnya telah ada dari awal perjalanan da‘wah Nabi kita sampai
penyebarannya di Indonesia dulu.
Dan karena mulai ditinggalkan, maka begitu banyak kaum muslimin yang meninggalkan amalamal
agama kita sendiri. Sehingga jika banyak kaum muslimin menjalankan khuruj dan maqomi
ini kurang lebih 100.000 rombongan setiap tahun, diharapkan masjid-masjid akan makmur
dengan amal-amal agama dan banyak kembali kaum muslimin yang mengamalkan agama.
Fatwa Mufti Al Azhar Tentang Khuruj 3 Hari, 40 Hari atau 4 Bulan
Hukum Bepergian untuk Berdakwah (Khuruj) ala Jamaah Tablig
Pertanyaan
Apa hukum khuruj atau bepergian untuk berdakwah yang dilakukan oleh kelompok Jamaah
Tablig? Apakah perbuatan itu termasuk bid‘ah?
Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad
Khuruj yang dilakukan oleh Jamaah Tablig adalah perbuatan yang boleh dilakukan bagi orang
yang mampu untuk berdakwah dengan sikap lembut, penuh hikmah, dan mampu memberi
nasihat dengan baik serta bersikap ramah dan sopan kepada orang-orang. Selain itu, orang
tersebut juga harus mengetahui dengan baik apa yang dia sampaikan kepada orang-orang, tidak
menelantarkan keluarganya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Adapun penetapan masa khuruj selama 4 hari, 40 hari dan lain sebagainya, hanyalah merupakan
masalah teknis murni yang tidak ada hubungannya dengan masalah bid‟ah. Ini selama pelakunya
tidak meyakini bahwa penetapan jumlah hari itu adalah sesuatu yang disyariatkan.
Wallahu subhânahu wa ta‟âlâ a‟lam

MUDZAKARAH NAFI ISBAT

Sesungguhnya :
1. Mahluk tidak dapat memberi manfaat dan mudhorrot, yang dapat memberi manfaat dan mudhorrot hanya Allah.
2. Mahluk dapat memberi manfaat dan mudhorrot berhajat kepada Allah.
3. Allah dapat memberi manfaat dan mudhorrot tidak berhajat pada mahluk.
4. Kalau Allah berkehendak mahluk dapat memberi manfaat dan mudhorrot dan kalau Allah berkehendak tanpa mahluk Allah dapat memberi manfaat dan mudhorrot.
" لاإله إلا الله"
Sesungguhnya :
1. Obat tidak dapat menyembuhkan yang dapat menyembuhkan hanya Allah.
2. Obat menyembuhkan butuh bantuan Allah.
3. Allah dapat menyembuhkan tidak butuh pada mahluk.
4. Kalau Allah berkehendak dengan obat penyakit dapat disembuhlkan dan jika Allah berkehendak tanpa obat penyakit dapat disembuhkan.
" لاإله إلا الله"
Sesungguhnya :
1. Api tidak dapat membakar, yang dapat membakar hanya Allah.
2. Api dapat membakar berhajat kepada Allah
3. Allah membakar tidak berhajat pada api
4. Kalau Allah berkehendak dengan api dapat membakar dan jika Allah berkehendak tanpa api dapat membakar.
" لاإله إلا الله"
Sesungguhnya :
1. Senjata tidak dapat melukai, yang dapat melukai hanya Allah.
2. Senjata dapat melukai berhajat kepada Allah
3. Allah dapat melukai tidak berhajat kepada senjata
4. Kalau Allah berkehendak tanpa senjata dapat melukai dan kalau Allah berkehendak tanpa senjata dapat melukai.
" لاإله إلا الله"
Sesungguhnya :
1. Pekerjaan tidak dapat mendatangkan rizki, yang mendatangkan rizki hanya Allah.
2. Pekerjaan bisa mendatangkan rizki berhajat kepada Allah
3. Allah mendatangkan rizki tidak berhajat kepada pekerjaan.
4. Jika Allah berkehendak dengan pekerjaan rizki dapat datang dan jika Allah berkehendak tanpa pekerjaan rezeki dapat datang.
" لاإله إلا الله"